Jamaah Wajib Tahu! Cara Lontar Jumrah Hingga Sejarah Warisan Nabi Ibrahim
Jika kerikil melesat melewati bibir sumur, lontaran dianggap tidak sah.
REPUBLIKA.CO.ID, MAKKAH -- Setelah melaksanakan wukuf di Arafah, jamaah haji akan diberangkatkan ke Muzdalifah untuk mengambil batu yang akan digunakan melontar jumrah. Bagi jamaah risiko tinggi, disabilitas dan lansia, mereka hanya akan melewati Muzdalifah tanpa berhenti atau murur, demi keselamatan jiwa jamaah.
Lontar jumrah adalah kegiatan melontar dengan batu kerikil pada jumrah (marma) Ula, Wusta, Aqabah. Pada tanggal 10 Dzulhijah yang dilontar hanya Jumrah Aqabah saja dengan 7 kerikil. Sementara itu, pada tanggal 11, 12 dah 13 Dzulhijah melontar ketiga jumrah masing-masing dengan 7 batu kerikil dan harus masuk ke dalam lubang Marwa.
Jika lontaran mengenai tugunya dan kerikil melesat melewati bibir sumur, maka lontaran dianggap tidak sah dan wajib diulang.
Di antara sunah lontar jumrah yakni mandi dahulu (masuk waktunya ketika terbit fajar Subuh, afdalnya bakda zawal). Besar batu seperti biji buncis. Bertakbir ketika melempar. Menghadap kiblat. Berdoa setelah melempar Jumrah Ula dan Wustha saja.
Sunah pelemparan jumrah Aqabah (10 Dzulhijjah) adalah melempar sebelum mencukur, thawaf, dan penyembelihan. Melempar setelah matahari meninggi setinggi tombak dan sebelum zawal (sebelum Dzuhur). Melempar pada saat pertama kali sampai di Mina. Menjadikan Mina di sebelah kanan dan Makkah di sebelah kiri.
Berdasarkan sejarahnya, lokasi lontar jumrah adalah tempat Nabi Ibrahim akan melaksanakan perintah Allah SWT menyembelih putranya Ismail AS.
Sebelum sampai di tempat yang dituju, Nabi Ibrahim digoda iblis untuk membatalkan niatnya melaksanakan perintah Allah tersebut. Iblis menggoda Nabi Ibrahim di tiga tempat, dan di setiap tempat iblis menggoda itu Nabi Ibrahim melontarkan batu kepada iblis.
Iblis akan selalu menggoda manusia untuk tidak mentaati perintah Allah SWT. Betapa pun kecilnya kadar kebajikan yang dilakukan manusia, godaan iblis pasti senantiasa mengadang.
Melontar jumrah mengingatkan jamaah haji bahwa iblis selalu berusaha menghalangi orang mukmin yang akan melakukan kebaikan. "Sungguh syetan mengalir pada manusia sebagaimana jalannya darah". (HR Bukhori).
Hikmah melempar jumrah adalah untuk mengikuti jejak Nabi Ibrahim. Lemparan jumrah dilaksanakan di tempat Nabi Ibrahim, Siti Hajar istrinya dan Nabi Ismail melempari setan.
Mengikuti jejak mereka melemparkan bafu kerikil, seolah-olah kita juga ikut melempari iblis yang dikutuk Allah SWT. Prosesi itu juga menghinakan iblis yang dilaknat Allah sehingga putuslah harapannya yang ingin menjadikan jamaah haji tunduk dan taat kepadanya.
Berapa ukuran batu untuk melontar?...
Meski ditampilkan sebagai alat menimpuk syetan, ukuran batu untuk jumroh tidak besar. Batu ini diambil dari Muzdalifah ketika mabit (bermalam) pada tanggal 10 Dzulhijjah, atau bisa juga sebagian diambil dari Muzdalifah dan selebihnya diambil dari sekitar Mina.
"Adapun besar ukuran batunya adalah sebesar biji asam dan tidak runcing," kata Gus Arifin dalam bukunya Ensikloped Fiqih Haji dan Umrah.
Karena para ulama fiqih memberikan gambaran tentang ukuran batunya adalah lebih besar dari kacang humus (kacang arab) tapi lebih kecil dari kacang kenari atau sebesar ruas jari kelingking. Melempar jumrah tidak boleh dengan besi, tembaga atau sejenisnya.
"Dai Abu Zubair, dari Jabir ra, bahwasanya saya melihat Rasulullah SAW melempar jumroh dengan kerikil kecil seukuran kacang. (Abu Isa At-Tirmidzi) berkata: Hadits semakna diriwayatkan dari Sulaiman bin Amr bin al-Ahwash dari ibunya, yaitu Ummu Jundub Al-Azdiyan, Ibnu Abbas, Al-Fadhl bin Abbas, Abdurrahman bin Utsman Al-Taimi dan Abdurrahman bin Muadz, Abu Isa berkata, “Ini merupakan hadits hasan sahih dan merupakan pendapat yang dipilih oleh para ulama, yaitu hendaknya melempar jumroh dengan kerikil sebesar kacang." (HR Tirmidzi).