Dirjen HAM akan Temui Kemendikbud Soal Tunarungu Diminta Copot Alat Bantu Dengar Saat UTBK
Peristiwa peserta UTBK tunarungu diminta copot alat bantu dengar viral.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Dhahana Putra menyoroti kasus peserta Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) diminta mencopot alat bantu dengar (ABD). Padahal siswa tersebut berstatus tunarungu.
Baru-baru ini, Naufal Athallah diminta melepaskan ABD saat UTBK di Universitas Indonesia pada 14 Mei 2024. Pengalaman tersebut Naufal bagikan melalui cuitan di akun media sosial X atau Twitter, @naunathz pada Ahad (16/6/2024) dan kemudian menjadi viral. Dalam unggahannya, Naufal menceritakan ada orang yang mengira dirinya joki UTBK karena memakai alat bantu di telinganya.
"Apa yang menimpa Naufal ini tentu menjadi perhatian kami untuk selanjutnya akan kami komunikasikan bersama Kemendikbudristek (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi), sehingga kejadian serupa tidak perlu terulang kembali," kata Dhahana dalam keterangan pers pada Ahad (23/6/2024).
Dhahana sangat menyayangkan adanya peristiwa yang menimpa Naufal saat mengikuti UTBK pada 14 Mei 2024. Menurut dia, penggunaan ABD bukan dimaksudkan untuk bertindak curang dalam ujian seleksi masuk perguruan tinggi.
"Dapat kami sampaikan, pencopotan ABD Naufal tidak senapas dengan komitmen dan semangat pemerintah untuk mendorong pemenuhan serta penghormatan HAM bagi para penyandang disabilitas di dunia pendidikan tanah air," ujar Naufal.
Dhahana mengingatkan Indonesia termasuk negara yang turut serta dalam Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD). Sehingga Indonesia wajib mendorong terlaksananya sistem pendidikan yang inklusif.
"Pelarangan penggunaan ABD membatasi akses penyandang disabilitas tunarungu untuk mendapatkan hak pendidikan yang setara dan inklusif," ujar Dhahana.
Dhahana menyebut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, dan beragam regulasi bertujuan meningkatkan pemenuhan HAM bagi penyandang disabilitas. Salah satu bentuknya dengan masuknya penyandang disabilitas ke dalam kelompok sasaran di Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia.
Walaupun demikian, Dhahana mengakui masih terdapat sejumlah tantangan secara teknis dalam mendorong pemenuhan HAM bagi penyandang disabilitas. Pasalnya, kata dia, pemenuhan HAM bagi penyandang disabilitas di sektor publik, termasuk di dunia pendidikan berkaitan dengan anggaran dan tingkat pemahaman terkait hak penyandang disabilitas.
Oleh sebab itu, Dhahana menilai apa yang menimpa Naufal menunjukkan masih adanya kalangan masyarakat yang belum dengan baik memahami pentingnya penghormatan HAM bagi penyandang disabilitas. Sehingga, Dhahana meyakini pentingnya menggencarkan diseminasi HAM terkait penyandang disabilitas kepada berbagai lapisan masyarakat, tidak terkecuali di dunia pendidikan.
"Langkah ini penting dilakukan agar berbagai elemen di dunia pendidikan termasuk penyelenggara UTBK dapat memiliki kesadaran yang lebih baik tentang pendidikan yang inklusif dan penghormatan hak-hak para penyandang disabilitas," ujar Dhahana.