Ortu Protes Anaknya Dinikahi Pengasuh, Apa Hukumnya Pernikahan tanpa Wali?

Mayoritas ulama berpendapat seorang perempuan tak dibenarkan menikah tanpa wali.

ANTARA/Arnas Padda
Pasangan pengantin mengikuti sidang isbat pernikahan yang dilaksanakan secara massal di SMP Negeri 13 Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (2/11/2020). Sebanyak 413 pasangan pengantin mengikuti sidang isbat pernikahan massal yang diadakan oleh Dinas Sosial Makassar dalam rangka memperingati hari jadi Kota Makassar ke-413 dengan menerapkan protokol kesehatan guna mencegah penularan COVID-19.
Red: A.Syalaby Ichsan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Polisi mulai mengusut kasus dugaan persetubuhan anak di bawah umur yang terjadi akibat pernikahan siri antara seorang santriwati berusia 16 tahun dengan pengasuh Pondok Pesantren Hubbun Nabi Muhammad berinisial ME. Kasus tersebut diduga terjadi pada 15 Agustus 2023.

Baca Juga


Orang tua korban tidak mengetahui terjadinya pernikahan siri pada anaknya. Pernikahan tersebut terungkap setelah orang tua korban mendengar isu anaknya yang tengah hamil. Kabar itu kemudian ditelusuri, dan didapati bahwa korban anak telah dinikahi pengurus ponpes. Orang tua korban kemudian melaporkan kasus ini ke polisi.

Orang tua korban yang seharusnya menjadi wali nikah ternyata tidak mengetahui adanya pernikahan tersebut. Lantas, bagaimana sebenarnya Islam mengatur tentang keberadaan wali nikah  yang dikenal sebagai bagian dari syarat akad nikah?

Mayoritas ulama berpendapat bahwa seorang perempuan tidak dibenarkan mengawinkan dirinya sendiri ataupun orang lain. Tetapi mereka harus melalui seorang laki-laki yang bertindak sebagai walinya.

Muhammad Bagir dalam buku Muamalah Menurut Alquran, Sunah, dan Para Ulama menjelaskan, mayoritas ulama termasuk Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa seorang perempuan tidak dibenarkan menikahkan dirinya ataupun perempuan selainnya. Dengan demikian, pernikahan tidak dapat berlangsung dengan tindakan atau ucapan perempuan itu sendiri.

Sebab, perwalian merupakan syarat yang harus terpenuhi demi keabsahan akad nikah. Dan bahwa yang mengakadkan itu haruslah seorang wali yang berhak. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam Alquran Surah An-Nur ayat 32: “Wa ankihu al-ayama minkum wa as-shaalihina min ibadikum wa imaanikum in yakunu fuqara-a yughnihumullahu min fadhlihi, wallahu wasi’un alimun."

Pernikahan harus disiapkan secara baik dan pada usia yang cukup. - (Republika)

Yang artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan mengampunkan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Mahamengetahui,”.

Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa—kata mereka—Allah SWT menunjukkan firman-Nya tentang pernikahan kepada kaum laki-laki—tidak kepada kaum perempuan yang hendak menikah. Seolah-olah hendak berkata kepada mereka: “Janganlah kalian, wahai para wali, menikahkan perempuan-perempuan yang berada di bawah perwalian kalian, kepada kaum musyrik.

Imam Bukhari merawikan bahwa Ma’qil bin Yasar berkata: “Aku pernah mengawinkan adik perempuanku dengan seorang kaki-laki yang tidak lama kemudian menceraikannya. Lalu ketika lewat masa iddahnya, laki-laki itu datang lagi untuk meminangnya kembali. Maka kukatakan kepadnya, ‘Aku telah mengawinkanmu dan memuliakanmu, namun kamu menceraikan istrimu itu. Dan kini kamu datang lagi untuk meminangnya? Tidak! Demi Allah, kamu takkan menikahinya kembali”. (Laki-laki itu sebetulnya cukup memadai, sementara si mantan istri masih ingin dia kembali lagi kepadanya).

Maka Allah SWT mewahyukan kepada Nabi Muhammad SAW dalam Surah Al-Baqarah penggalan ayat 232: “Falaa ta’dhuluhunna an yankihna azwaajahunna idza taradhuu bainahum bil-ma’ruf,”. Yang artinya: “Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf,”.

Mendengar itu, Ma’qil segera berkata: “Sekarang aku akan mengawinkannya, Ya Rasulullah! (Berkaitan dengan riwayat ini, Imam Ibnu Hajar memberikan komentarnya: “Sebab turunnya ayat ini merupakan dalil paling jelas tentang kewajiban adanya wali dalam perkawinan. Seandainya tidak demikian, penolakan Ma’qil tersebut tidak ada artinya. Dan sekiranya si perempuan dibenarkan mengawinkan dirinya sendiri, niscaya dia tak memerlukan saudaranya,”.

Sedangkan Sayyidah Aisyah merawikan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: “Siapa saja perempuan yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya itu batal, nikahnya itu batal, nikahnya itu batal,”. Hadis ini diriwayatkan Imam Ahmad, Imam Abu Daud, Imam Ibnu Majah, dan Imam Tirmidzi seraya mengomantarinya sebagai hadis hasan. Sedangkan Imam Al-Qurthubi berkata bahwa hadis ini shahih.

Selain dalil-dalil di atas, para ulama juga menyatakan bahwa perkawinan memiliki berbagai macam tujuan kebaikan. Sedangkan (kebanyakan) perempyan sering kali hanya tunduk kepada perasaan (emosi) hatinya. Sehingga kurang mampu memilih yang terbaik secara rasional.

Sebagai akibatnya, dia akan kehilangan banyak di antara tujuan-tujuan yang baik ini. Karena itulah, dia perlu dicegah dari melakukan sendiri akad nikahnya, dan harus menyerahkan persoalan pernikahannya itu kepada walinya agar lebih banyak manfaat yang dapat diraih secara keseluruhan.

 

 

Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid menjelaskan, para ulama saling berselisih pendapat apakah wali termasuk syarat sah nikah atau tidak. Menurut Imam Malik, yang dikutip oleh Asyhab, sesungguhnya tidak ada nikah tanpa wali dan sesungguhnya wali adalah salah satu syarat sah nikah. Imam Syafii setuju dengan pendapat tersebut. 

Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, Zufar, asy-Syu'bi, dan az-Zuhri, boleh hukumnya seorang wanita melakukan akad tanpa wali asalkan calon suaminya sekufu dan sepadan. Sementara, Imam Dawud membedakan antara wanita yang berstatus gadis dengan wanita yang berstatus sudah janda. 

Menurut Imam Dawud, untuk wanita yang masih berstatus gadis disyaratkan harus ada wali dan untuk wanita yang berstatus janda tidak disyaratkan ada wali. Ibnu Qasim mengutip versi pendapat yang keempat dari Imam Malik tentang masalah wali, persyaratan wali hukumnya sunah, bukan fardhu.

Menurut Imam Malik, waris mewarisi antara pasangan suami istri tanpa perlu syarat wali. Seorang wanita boleh diwakilkan kepada seorang lelaki untuk menikahkannya.

Namun, Imam Malik juga menganjurkan agar seorang janda meminta kepada walinya untuk menikahkan dirinya. Ini artinya, menurut Imam Malik, dalam pernikahan wali hanya sebagai syarat kesempurnaan saja, bukan syarat sah.

 

 

Silang pendapat ini karena tidak ada satu pun ayat atau hadis yang secara tegas mensyaratkan adanya wali dalam pernikahan, apalagi berupa nash yang menyatakan demikian. Bahkan, ayat-ayat dan hadis-hadis yang biasa dijadikan argumen oleh para ulama yang mensyaratkan wali masih mengandung kemungkinan-kemungkinan.

Begitu juga ayat-ayat dan hadis-hadis yang biasa dijadikan dasar oleh para ulama yang tidak mensyaratkan wali juga mengandung kemungkinan-kemungkinan. Selain itu, hadis tersebut kesahihannya juga diperselisihkan oleh para ulama, kecuali hadis Ibnu Abbas. 

Di antara alasan yang paling jelas mengacu pada Alquran tentang disyaratkannya wali dalam firman Allah di surah al-Baqarah ayat 232, "Apabila kamu hendak menalak istri-istrimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu menghalangi mereka nikah lagi dengan calon suaminya." 

Kata “mereka” dalam ayat tersebut ditujukan kepada para wali. Jika dianggap tidak memiliki hak perwalian, tentu mereka tidak dilarang untuk menghalanginya. Dalam firman Allah surah al-Baqarah ayat 221 disebutkan, “Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum kamu beriman.”

Kata “mereka” dalam ayat tersebut ditujukan kepada para wali. Dan di antara hadis-hadis terkenal yang dijadikan dasar oleh mereka ialah hadir yang diriwayatkan az-Zuhri bersumber dari Urwah dari Sayyidah Aisyah yang berkata bahwa Rasulullah bersabda, "Setiap wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal. Dan kalau ia sudah digauli, maka maskawinnya adalah berdasarkan apa yang telah didapat darinya. Dan kalau mereka berselisih, maka penguasa adalah wali wanita yang tidak punya wali sama sekali." 

Adapun ulama yang berpendapat tidak mensyaratkan wali mengemukakan dalil dari Alquran surah al-Baqarah ayat 234, “Tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut." Berdasarkan pandangan mereka, ayat ini merupakan dalil bahwa seorang wanita boleh menikahkan dirinya sendiri.

 

sumber : Pusat Data Republika
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler