Kisah Kehidupan Warga Pulau Pari yang Terdampak Perubahan Iklim

Krisis iklim juga menyebabkan banjir rob semakin sering terjadi di Pulau Pari.

Republika/Putra M. Akbar
Wisatawan berjalan saat tiba di Pulau Pari, Kabupaten Kepulauan Seribu, Jakarta, Rabu (12/7/2023).
Rep: Lintar Satria Red: Satria K Yudha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Krisis iklim memicu banyak jenis ikan laut seperti ikan kerapu dan ikan cakalang sulit ditemukan karena temperatur laut yang semakin menghangat. Akibatnya, banyak wisatawan yang membatalkan kunjungan wisatanya.

Baca Juga


“Situasi tersebut menjadi pukulan keras bagi ekonomi kami yang tergantung pada sektor perikanan dan pariwisata yang selama ini menjadi income utama Pulau Pari,” kata Ketua Forum Peduli Pulau Pari Mustaghfirin yang biasa dipanggil  Bobi, Ahad (8/7/2024).

Warga Pulau Pari di Pantai Bintang, Arif Pujiyanto mengatakan Pulau Pari sering diserang banjir rob pada malam hari.  Ia mengatakan banyak anak-anak yang trauma karena banjir rob yang intensitasnya terus meningkat sejak tahun 2020.

“Tak sedikit anak-anak di Pulau Pari mengalami ketakutan dan trauma akibat banjir rob. Mereka tak bisa masuk sekolah karena kesehatan fisik dan psikisnya terganggu,” katanya.

Banjir yang datang pada malam hari merusak rumahnya secara permanen. Ia harus memperbaiki rumahnya sendiri dan mengeluarkan uang sekitar Rp 3 juta untuk memulihkan kerusakan rumahnya. Keluarga Arif juga harus membeli lebih banyak air, karena air sumur yang ada di rumahnya telah terintrusi air laut.

“Untuk mandi, mencuci pakaian, untuk membersihkan kami tidak dapat menggunakan air sumur akibat banjir rob yang merendam selama beberapa hari. Sejak itu, kami harus membeli lebih banyak air dari penyulingan, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” tegasnya.

Sementara itu, nelayan sekaligus pelaku pariwisata Edi Mulyono menyatakan ia bersama kawan-kawan lainnya seringkali mengalami kerugian ekonomi karena banjir rob. Ratusan wisatawan yang akan datang ke Pulau Pari mendadak membatalkan rencana kunjungannya karena situasi yang tidak memungkinkan.

Edi Mulyono mengatakan ia kehilangan pendapatan dari homestay dan pendapatan pariwisata. Para wisatawan telah membatalkan perjalanannya karena khawatir akan terjadi banjir rob. “Saya mengalami kerugian jutaan rupiah akibat banjir rob pada November dan Desember 2021,” kata Edi. Banjir rob juga membuatnya tidak bisa menangkap ikan dan harus membersihkan pulau.

Seorang perempuan nelayan sekaligus ketua dewan Pulau Pari, Asmania mengatakan krisis iklim memaksa perempuan di Pulau Pari memiliki beban berlapis karena harus bekerja lebih keras memenuhi kebutuhan keluarga. Ia mengakui mengalami kerugian besar pada sektor perikanan budi daya akibat pemanasan air laut.

“Dulu saya biasanya panen itu Rp 30-50 juta tapi sekarang tidak bisa menghasilkan yang banyak panen ikan kerapunya, karena air laut yang terjadi sekarang itu cukup panas jadi ikan-ikan banyak yang mati, itu juga yang membuat perekonomian saya keluarga semakin turun,” katanya.

Selain menghadapi ancaman krisis iklim, Pulau Pari juga menghadapi ancamannya lainnya yaitu perampasan pulau yang dilakukan suatu perusahaan yang mengeklaim kepemilikan pulau sebesar 90 persen.

Perusahaan itu melakukan intimidasi selama kurun waktu 2016. Intimidasi yang dimaksud, antara lain, somasi kepada warga, larangan warga mendirikan/merenovasi rumah, memaksa warga menandatangani surat pernyataan, dan menyurati warga untuk bekerja sama.

Bahkan, tiga orang warga Pulau Pari, yaitu Mustaghfirin alias Bobi, Mastono alias Baok, Bahruddin alias Edo, mengalami kriminalisasi dan dipenjara akibat melawan perusahaan tersebut.

“Dengan demikian, kerja sama antara WALHI dan DMC Dompet Dhuafa diharapkan akan memperkuat masyarakat Pulau Pari dalam menghadapi ancaman krisis iklim dan perampasan ruang hidup oleh perusahaan,” kata Bobi.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler