Apakah Kita Benar-Benar Ada di Masa Ruwaibidhah Akhir Zaman? Ini Kata 3 Ulama Timur Tengah
Ruwaibidhah banyak muncul bermunculan tanda kiamat
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Apakah kita sekarang benar- benar berada di masa ketika Ruwaibidhah yang disebut Rasulullah SAW marak muncul pertanda kiamat?
Jawaban atas pertanyaan ini sudah pernah dikupas ulama dari Timur Tengah. Cendekiawan asal Aden Yaman, Dr ‘Iwad Ahmad al-Ilqamani, mengatakan pertanyaan ini memang kerap menganggu pikirannya dan membuat berpikir keras dan merenung mendalam. Dalam kesimpulannya, bahwa kita sekarang di zaman dimana para Ruwaibidhah bertebaran di banyak tempat dengan beragam levelnya.
“Bagaimana bisa mereka mengatur urusan orang banyak? Bagaimana mereka becus mengurus rakyat? Dan musibah besar, mereka berada di iklim penuh dengan kebodohan yang merajalela, dan orang bodoh biasanya melihat dirinya paling hebat, dengan pemikiran semacam ini dia mengurus masyarakat, rakyat. Ini yang paling bahaya bagi lingkungannya. Anti kritik, tidak percaya moralitas, dan enggan bercermin,” kata dia.
Hal yang sama juga diungkapkan Abdullah bin Sa’ad Al Mayuf, cendekiawan asal Arab Saudi. Dalam konteks politik, dia menafsirkan Ruwaibidhah adalah shahawiyyin (pengusung pemikiran politik Islam era awal) dan rajiyyin (pengusung pemikiran politik Islam puritan).
Di mata Abdullah, mereka adalah orang-orang yang tak mempunyai latar belakang ilmu logika dan kemanusian, dan tidak paham pembaruan atau maslahat. Mereka hanya berdalih melestarikan mazhab lama, lalu mengajak publik tanpa pemahaman dan ilmu. “Tahukah kalian mereka orang yang bodoh berbicara di perkara umum.”
Sementara itu, kondisi munculnya Ruwaibidhah ini juga diamini ulama Al-Azhar Mesir Dr Ramadhan Abdurrazaq. “Mereka yang tak memiliki kompetensi berbicara di banyak perkara yang mereka sendiri tak paham, sampai berada lah kita sekarang di masa Ruwaibidhah banyak cakap,” kata dia sembari mengutip hadits Abu Hurairah RA dari Ibnu Majah tentang tanda akhir zaman tentang munculnya fenomena Ruwaibidhah.
Ruwaibidhah adalah...
Ruwaibidhah adalah salah satu istilah yang muncul dalam hadits tentang tanda-tanda akhir zaman.
Menurut hadits tersebut, Ruwaibidhah adalah orang yang bodoh namun berbicara tentang urusan perkara umum. Hadis tersebut diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ
“Akan datang tahun-tahun penuh dengan kedustaan yang menimpa manusia, pendusta dipercaya, orang yang jujur didustakan, amanat diberikan kepada pengkhianat, orang yang jujur dikhianati, dan Ruwaibidhah turut bicara.” Lalu beliau ditanya, “Apakah al-ruwaibidhah itu?” Beliau menjawab,“Orang-orang bodoh yang mengurusi urusan perkara umum.” (HR Ibnu Majah).
BACA JUGA: The Story of Samson in Islam
Hadits ini menggambarkan keadaan di mana nilai-nilai kebenaran dan kejujuran terbalik, serta orang-orang yang tidak layak malah memegang kendali dan berbicara tentang urusan yang penting.
Kata Ruwaibidhah sendiri berasal dari akar kata rabadha dengan banyak makna dalam bahasa Arab, di antaranya bermakna berlutut dan bersandar. Kata rabadha sebagai kata kerja menjadi rabidha atau rabidha sebagai subyek, lalu menjadi kata ruwaibidhah.
Imam Al-Suyuthi menjelaskan, kata al-ruwaibidhah di dalam hadits tersebut merupakan bentuk tashghir (pengecilan) dari al-rabidh yang berarti berlutut. Lalu kata al-rabidh yang makna aslinya berlutut, dipinjam penggunaannya (isti’arah) menjadi makna yang lain, yaitu posisi rendah (inferior).
Seolah-olah...
Seolah-olah hal itu menggambarkan bahwa orang yang berlutut itu sebagai orang yang rendah kemampuan dan keilmuannya, namun banyak berbicara dan mengeluarkan statement tanpa didasari oleh ilmu yang memadai dan dipandang baik oleh para pengagumnya, sehingga memiliki pengaruh dan dampak yang luas.
Sementara itu, Wakil Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, KH Abdul Muiz Ali mengatakan, makna al-Ruwaibidhah dalam hadis di atas menjelaskan tentang peringatan kepada umat Islam agar tidak mudah berbicara atas suatu masalah/mengomentari masalah, padahal ia tidak mempunyai ilmu tentang hal tersebut.
"Contoh (Ruwaibidhah) sekarang, banyak para netizen yang mudah membicarakan soal agama, padahal ia tidak tidak kompeten soal agama," ujar Kiai Muiz saat dihubungi Republika.co.id, Senin (8/7/2024).
Padahal, menurut dia, dalam Alquran Allah SWT juga telah menegaskan:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ ۗاِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا
“Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak punya ilmu tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, itu semua akan dimintai pertanggung-jawabannya.” (QS Al-Isra' [17]:36)
Allah SWT juga berfirman dalam Alquran, yang artinya: “Hai umat manusia, makanlah sebagian yang ada di bumi ini yang halal dan baik, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan, sesungguhnya dia adalah musuh yang nyata bagi kalian. Sesungguhnya dia hanya akan menyuuh kalian kepada perbuatan dosa dan kekejian, dan agar kalian berkata-kata atas nama Allah dalam sesuatu yang tidak kalian ketahui ilmunya.” (QS al-Baqarah : 168-169).
Hadits di atas, menurut Kiai Muiz, juga menunjukkan tentang pentingnya kejujuran dan mengandung peringatan dari bahaya kedustaan. Rasulullah SAW bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًاوَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِوَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
“Wajib atas kalian untuk bersikap jujur, karena kejujuran akan menuntun kepada kebaikan, dan kebaikan itu akan menuntun ke surga. Apabila seseorang terus menerus bersikap jujur dan berjuang keras untuk senantiasa jujur maka di sisi Allah dia akan dicatat sebagai orang yang shiddiq. Dan jauhilah kedustaan, karena kedustaan itu akan menyeret kepada kefajiran, dan kefajiran akan menjerumuskan ke dalam neraka. Apabila seseorang terus menerus berdusta dan mempertahankan kedustaannya maka di sisi Allah dia akan dicatat sebagai seorang pendusta.” (HR Muslim).
Tidak hanya itu..
Tidak hanya itu, hadits di atas juga menunjukkan pentingnya menjaga amanah dan memperingatkan dari bahaya mengkhianati amanah. Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ بَيْنَمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَجْلِسٍ يُحَدِّثُ الْقَوْمَ جَاءَهُ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ مَتَى السَّاعَةُ فَمَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَدِّثُ فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ سَمِعَ مَا قَالَ فَكَرِهَ مَا قَالَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ لَمْ يَسْمَعْ حَتَّى إِذَا قَضَى حَدِيثَهُ قَالَ أَيْنَ أُرَاهُ السَّائِلُ عَنْ السَّاعَةِ قَالَ هَا أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَإِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ
Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, dia berkata bahwa ketika Nabi Muhammad SAW berada dalam suatu majelis membicarakan suatu kaum, tiba-tiba datanglah seorang Arab Badui lalu bertanya, "Kapan datangnya hari kiamat?"
Namun Nabi SAW tetap melanjutkan pembicaraan beliau. Sebagian orang berkata, "Beliau mendengar perkataannya akan tetapi beliau tidak menyukai apa yang dikatakannya itu." Dan ada pula sebagian yang berkata, "Beliau tidak mendengar perkataannya."
Hingga akhirnya Nabi SAW menyelesaikan pembicaraannya, seraya berkata, "Mana orang yang bertanya tentang hari kiamat tadi?" Orang (yang bertanya) itu berkata, "Saya, wahai Rasulullah!"
Maka Nabi SAW bersabda, "Bila sudah hilang amanah, maka tunggulah terjadinya kiamat". Orang itu bertanya, "Bagaimana hilangnya amanah itu?" Nabi SAW bersabda, "Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah terjadinya kiamat." (HR Bukhari).
“Apabila amanah telah disia-siakan maka tunggulah datangnya hari kiamat.” Lalu ada yang bertanya, “Bagaimana amanah itu disia-siakan?”. Maka beliau menjawab, “Apabila suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya maka tunggulah kiamatnya.” (HR Bukhari dari Abu Hurairah RA).