Piagam Madinah dan Contoh Teladan Toleransi
Rasulullah SAW menunjukkan keteladanan utama dalam hal toleransi.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada masa Nabi Muhammad SAW, kondisi umat Islam mulai membaik sejak peristiwa hijrah dari Makkah ke Yastrib (Madinah). Di sana, Rasulullah SAW diangkat menjadi pemimpin masyarakat yang majemuk, di samping pembimbing kaum Muslimin. Sejak saat itu, beliau dapat lebih aktif menerapkan syariat Islam, termasuk dalam hal toleransi.
Setelah menyatukan kaum Anshar dan Muhajirin dalam ikatan persaudaraan dan iman, Rasulullah menjalankan Piagam Madinah. Perjanjian itu mengakomodasi kepentingan bukan hanya umat Islam, melainkan juga kaum Yahudi dan penyembah berhala yang tinggal di kota tersebut. Tujuannya, agar masing-masing komunitas dapat hidup berdampingan secara damai dan saling tolong menolong.
Namun, mulai muncul upaya-upaya untuk merusak Piagam Madinah. Contohnya adalah satu peristiwa yang kemudian menjadi asbabun nuzul surah al-Baqarah ayat ke-256. Hamka menerangkan, Bani Nadhir berkali-kali melanggar poin-poin penting dalam Piagam Madinah. Bahkan, suku yang mayoritasnya Yahudi itu terbukti berencana membunuh Nabi SAW. Oleh karena itu, Bani Nadhir diusir dari Madinah.
Namun, kaum Muslimin terkendala suatu tradisi setempat yang sudah berlaku sebelum kedatangan Islam. Saat kota itu masih bernama Yastrib, penduduk setempat merasa kehidupannya lebih jahil daripada komunitas Yahudi. Mereka mengagumi kepandaian kaum cendekiawan Yahudi dalam mendidik generasi penerus. Oleh karena itu, sebagian dari mereka menitipkan anak-anaknya untuk dididik dengan cara-cara Yahudi.
Sekarang, anak-anak kaum Anshar yang dititipkan ke Bani Nadhir sudah mulai dewasa. Beberapa di antaranya bahkan menjadi orang Yahudi yang taat lantaran sejak kecil dibesarkan dengan kepercayaan itu. Akhirnya, banyak orang tua Anshar yang memohon kepada Rasulullah SAW agar anaknya ditarik menjadi Muslim, kalau perlu dengan cara paksaan, lantaran khawatir buah hatinya kelak masuk neraka.
Turunlah ayat ke-256 surah al-Baqarah yang menegaskan, Tidak ada paksaan dalam agama. Menurut riwayat Ibnu Abbas, Rasulullah hanya memanggil anak-anak itu. Mereka kemudian diminta memilih. Apakah mau memeluk Islam atau bertahan dengan Yahudi. Banyak yang memutuskan untuk menjadi Muslim. Ada pula yang mantap meneruskan kepercayaan lamanya, sehingga mengikuti Bani Nadhir untuk meninggalkan Madinah.
Sehubungan dengan peristiwa itu, Buya Hamka mengutip apresiasi dari Prof Philip Khuri Hitti. Penulis History of the Arabs tersebut menilai, al-Baqarah ayat ke-256 patut menjadi rujukan hubungan antarumat beragama.
Kasus lainnya adalah ketika Rasulullah SAW menerima utusan Kristen dari Bani Najran di Masjid Nabawi. Saat itu, para sahabat kaget lantaran keputusan yang tidak disangka-sangka itu.
Nabi SAW ingin menunjukkan bahwa prinsip toleransi berlaku bagi hubungan antarumat beragama. Biarkan mereka bersilaturahim kepada kita, demikian sabda beliau, seperti dikutip Zuhairi Misrawi dalam bukunya, Madinah: Kota Suci, Piagam Madinah, dan Teladan Muhammad SAW.
Rasulullah SAW jelas memilah antara persoalan politik dan keyakinan pribadi. Dalam contoh sebelumnya, Bani Nadhir yang terbukti melanggar Piagam Madinah tidak dipaksa berpindah agama, tapi semata-mata menjalani hukuman politik berupa pengusiran dari dalam negeri.
Anak- anak Anshar yang dibesarkan dalam tradisi Yahudi juga tidak dipaksa seagama dengan orang tuanya yang Muslim. Masjid Nabawi yang terbuka bagi umat agama lain menampilkan keramahan Islam yang agung.
Menurut Zuhairi, Nabi SAW menjadikan Madinah sebagai laboratorium toleransi yang paling autentik. Nilai-nilai tenggang rasa memang lebih mudah diterapkan di kota itu, alih-alih Makkah, lantaran besarnya kekuasaan politik yang dipegang Rasulullah selama di Madinah.
Umat Islam, lanjut Zuhairi, tidak hanya menjadi unsur pelengkap, tetapi juga perintis di garda terdepan dalam rangka membangun kota yang damai dan toleran.