Bagaimana Muhammadiyah Memandang Syiah?

Ini pandangan Muhammadiyah tentang Syiah.

Antara
Muhammadiyah.
Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Muhammadiyah merupakan gerakan Islam modernis terbesar di Indonesia. Berdiri sejak 8 Dzulhijjah 1330 H atau 18 November 1912 M, Persyarikatan yang dirintis KH Ahmad Dahlan ini terus melakukan kepeloporan pemurnian dan sekaligus pembaruan Islam di manapun beradanya.

Baca Juga


Dalam melaksanakan dakwah pencerahan, Muhammadiyah tentunya tidak abai terhadap tantangan dan fenomena yang melanda dunia Islam secara global. Salah satunya, friksi antara Sunni dan Syiah.

Berbicara tentang pandangan Muhammadiyah terkait Syiah, dalam rubrik tanya-jawab di majalah Suara Muhammadiyah edisi Desember 2021 dijelaskan sebagai berikut.

Pertama-tama, pembaca perlu mengetahui arti dan makna kata syiah secara kebahasaan. Secara literal, kata ini dapat ditemukan dalam kamus-kamus bahasa Arab. Begitu pula di Alquran dan hadis.

Menurut Ibnu al-Jauzi kata syiah berserta derivasinya mengandung setidaknya empat makna dengan berdasar pada konteks masing-masing. Pertama, syiah berarti 'kelompok yang berpecah-pecah' atau firaq.

Kedua, syiah berarti 'keluarga' dan 'keturunan'. Lihat, misalnya, surah al-Qashash ayat ke-15. Ketiga, syiah bermakna 'pemeluk agama' atau 'umat', yakni 'ahl al-millah.' Lihat, misal, surah Maryam ayat ke-69.

Keempat, syiah yang memiliki arti 'aneka ragam tendensi keliru' (al-ahwa’ al-mukhtalifah). Lihat, surah al-An‘am ayat ke-65.

Dalam hadis berikut, kata syiah (شِيعَةٌ) juga secara umum bermakna 'pengikut.'

عَنْ مِقْسَمٍ أَبِي الْقَاسِمِ مَوْلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ نَوْفَلٍ قَالَ خَرَجْتُ أَنَا وَتَلِيدُ بْنُ كِلَابٍ اللَّيْثِيُّ حَتَّى أَتَيْنَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ وَهُوَ يَطُوفُ بِالْبَيْتِ مُعَلِّقًا نَعْلَيْهِ بِيَدِهِ فَقُلْنَا لَهُ هَلْ حَضَرْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ يُكَلِّمُهُ التَّمِيمِيُّ يَوْمَ حُنَيْنٍ قَالَ نَعَمْ أَقْبَلَ رَجُلٌ مِنْ بَنِي تَمِيمٍ يُقَالُ لَهُ ذُو الْخُوَيْصِرَةِ فَوَقَفَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يُعْطِي النَّاسَ قَالَ يَا مُحَمَّدُ قَدْ رَأَيْتَ مَا صَنَعْتَ فِي هَذَا الْيَوْمِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجَلْ فَكَيْفَ رَأَيْتَ قَالَ لَمْ أَرَكَ عَدَلْتَ قَالَ فَغَضِبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ وَيْحَكَ إِنْ لَمْ يَكُنْ الْعَدْلُ عِنْدِي فَعِنْدَ مَنْ يَكُونُ فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا نَقْتُلُهُ قَالَ لَا دَعُوهُ فَإِنَّهُ سَيَكُونُ لَهُ شِيعَةٌ يَتَعَمَّقُونَ فِي الدِّينِ حَتَّى يَخْرُجُوا مِنْهُ كَمَا يَخْرُجُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ يُنْظَرُ فِي النَّصْلِ فَلَا يُوجَدُ شَيْءٌ ثُمَّ فِي الْقِدْحِ فَلَا يُوجَدُ شَيْءٌ ثُمَّ فِي الْفُوقِ فَلَا يُوجَدُ شَيْءٌ سَبَقَ الْفَرْثَ وَالدَّمَ قَالَ أَبُو عَبْد الرَّحْمَنِ أَبُو عُبَيْدَةَ هَذَا اسْمُهُ مُحَمَّدٌ ثِقَةٌ وَأَخُوهُ سَلَمَةُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَمَّارٍ لَمْ يَرْوِ عَنْهُ إِلَّا عَلِيُّ بْنُ زَيْدٍ وَلَا نَعْلَمُ خَبَرَهُ وَمِقْسَمٌ لَيْسَ بِهِ بَأْسٌ وَلِهَذَا الْحَدِيثِ طُرُقٌ فِي هَذَا الْمَعْنَى وَطُرُقٌ أُخَرُ فِي هَذَا الْمَعْنَى صِحَاحٌ وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْلَمُ.

Dari Miqsam Abu al-Qasim, budak Abdullah bin al-Harits bin Naufal, dia berkata: Aku keluar bersama Talid bin Kilab al-Laitsi hingga kami mendatangi ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash yang ketika itu sedang tawaf di Baitullah dengan menenteng kedua sandal di tangannya, lalu kami berkata kepadanya: "Apakah kamu hadir saat Rasulullah SAW diajak bicara oleh al-Tamimi pada perang Hunain?"

Ia lantas menjawab: "Ya, ketika itu ada seorang lelaki dari bani Tamim yang biasa dipanggil Dzu al-Khuwaishirah datang dan berdiri di depan Rasulullah SAW yang saat itu sedang memberikan sesuatu kepada orang-orang.

Kemudian, dia (Dzu al-Khuwaishirah) berkata, 'Wahai Muhammad, apa kamu melihat apa yang telah kamu perbuat pada hari ini?'

Rasulullah SAW menjawab, 'Ya, lalu apa yang kamu lihat?'

Ia menjawab, 'Aku tidak melihatmu berlaku adil.'"

Dia (‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash) lalu berkata, "Rasulullah SAW pun marah mendengar pernyataannya itu seraya berkata, 'Celakalah kamu, jika keadilan tidak ada pada diriku, lantas ada pada siapa?'"

Kemudian, ‘Umar bin Khattab berkata, "Wahai Rasulullah, tidakkah lebih baik kita membunuhnya saja?"

Beliau menjawab, "Tidak, biarkanlah ia, sebab sungguh ia akan mempunyai sebuah kelompok yang terlalu mendalam dalam urusan agama hingga mereka keluar daripadanya sebagaimana anak panah keluar dari busurnya, ia dicari-cari di bagian depannya tidak ada, di bagian tengahnya juga tidak ada, dan di bagian belakangnya juga tidak ada, dan ternyata ia telah meluncur menembus ulu hati dan mengucurkan darah segar" (HR Ahmad).

Menurut Ibnu Manzhur dalam Lisan al-‘Arab, salah satu makna syiah secara kebahasaan adalah 'pengikut' dan 'pembela seseorang.' Sejalan dengan ini, Raghib al-Ashfahani mendefinisikan syiah sebagai 'pendukung yang aktivitasnya memperkuat dan menyebarkan pengaruh seseorang'.

Syiah sebagai kelompok

Bagaimana pemaknaan Syiah secara historis? Dalam perkembangannya, istilah Syiah merujuk pada kelompok tertentu, yaitu mereka para sahabat Nabi Muhammad SAW yang berpihak kepada, mendukung, serta setia berjuang bersama Ali bin Abi Thalib. Itu tatkala dan selama pertikaian berlangsung pasca-wafatnya khalifah Utsman bin ‘Affan.

Setelah itu, dalam perjalanannya lagi, istilah Syiah mengalami pergeseran makna. Ia menjadi menunjuk pada keyakinan (akidah), cara pandang-menyeluruh (worldview), pola pikir (mindset) dan kerangka berpikir (intellectual framework) yang memengaruhi penerimaan atau penolakan seseorang terhadap suatu informasi dan mewarnai penafsiran terhadap fakta dan peristiwa.

Pada titik ini, Syiah tidak hanya satu macam, melainkan telah bermetamorfosis menjadi berbagai macam sekte. Dalam sejarah Islam hingga hari ini, kita mengenal banyak sekte Syiah, seperti Syiah Kaisaniyyah, Syiah Imamiyyah (Rafidhah), Syiah Ghulat, Syiah Ismailiyyah, Syiah Zaidiyyah, dan lain sebagainya.

Dari penjelasan di atas, tampak bahwa Syiah memiliki ragam yang banyak, bukan hanya satu jenis. Berkaitan dengan itu, dalam pandangan Muhammadiyah, ada beberapa kriteria yang menjadi tolok ukur, apakah suatu paham telah keluar dari koridor Islam atau belum.

Pertama, Muhammadiyah meyakini bahwa hanya Nabi Muhammad SAW yang memiliki predikat maksum.

Kedua, Muhammadiyah meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW tidak menunjuk siapa pun pengganti beliau sebagai khalifah. Kekhalifahan setelah beliau diserahkan kepada musyawarah umat, sehingga kekhalifahan Abu Bakar, ‘Umar bin Khattab, ‘Utsman bin ‘Affan, dan ‘Ali bin Abi Thalib adalah sah.

Ketiga, Muhammadiyah menghormati Ali bin Abi Thalib sebagaimana sahabat-sahabat Nabi yang lain, tetapi Muhammadiyah tidak mengultuskan salah satu atau lebih dari sahabat Nabi.

Terakhir, Muhammadiyah menerima al-Sunnah al-Maqbulah sebagai salah satu sumber ajaran Islam, selain Alquran, dan tidak terbatas pada hadis-hadis yang melalui jalur Ahlul Bait.

Dengan demikian, apabila ada orang atau kelompok yang tidak sesuai dengan tolok ukur di atas, maka orang atau kelompok itu telah berbeda dan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Demikian yang dipahami oleh Muhammadiyah.

Bagaimanapun, dalam konteks melihat Syiah, perlu diketahui juga bahwa Muhammadiyah dalam Muktamar ke-47 di Makassar tahun 2015 telah mengeluarkan beberapa rekomendasi penting. Di antaranya adalah, Persyarikatan mendorong adanya dialog intensif antara Sunni-Syiah untuk meningkatkan komitmen “saling memahami persamaan dan perbedaan."

Komitmen itu penting untuk memperkuat persamaan dan menghormati perbedaan, serta membangun kesadaran historis bahwa selain konflik, kaum Sunni dan Syiah memiliki sejarah kohabitasi dan kerja sama yang konstruktif dalam membangun peradaban Islam.

Rekomendasi ini menegaskan bahwa pintu dialog tetap terbuka meskipun ada perbedaan mendasar dan prinsipil antara Sunni dan Syiah.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler