Sejarah Fatayat NU, Banom Tempat Pemudi Nahdliyin
Fatayat NU berdiri pada 1950 yakni sejak Muktamar NU ke-18.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lima orang muda Nahdliyin sowan dengan Presiden Israel Isaac Herzog baru-baru ini. Kunjungan mereka itu sontak saja menuai reaksi dari publik Indonesia, termasuk jajaran Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Umumnya mengecam tindakan kelima Nahdliyin itu karena dilakukan ketika Israel sedang melancarkan genosida atas penduduk Palestina di Jalur Gaza.
Salah satu dari kelima orang Indonesia yang berfoto dengan Isaac Herzog itu adalah Nurul Bahrul Ulum. Perempuan tersebut, ketika mengunjungi entitas zionis tersebut, masih berstatus sebagai anggota Pimpinan Pusat Fatayat Nahdlatul Ulama (NU). Adapun sejak Senin (22/7/2024) lalu, yang bersangkutan telah menyatakan mundur dari organisasi tersebut serta meminta maaf.
Dilansir dari situs resmi Nahdlatul Ulama, Fatayat adalah sebuah badan otonom (banom) di bawah naungan NU untuk kalangan perempuan muda. Banom ini berdiri sejak 7 Rajab 1369 H/24 April 1950 M. Nama fatayat berasal dari bahasa Arab yang berarti 'pemudi.'
Masa perintisan Fatayat NU dimulai ketika NU menyelenggarakan Muktamar ke-15 di Surabaya (Jawa Timur) pada 1940. Sejumlah pelajar putri madrasah tsanawiyah (MTs) NU Surabaya bergabung dalam kepanitiaan acara tersebut. Mereka bersama dengan para perempuan dari banom NU Muslimat (NUM, kini Muslimat NU).
Dalam muktamar-muktamar NU berikutnya, keterlibatan para pelajar putri MTs terus eksis. Mereka tidak sekadar tampil dalam kepanitiaan, melainkan juga sudah menyebut dirinya mereka Putri NUM, Pemudi NUM, dan Fatayat. Pada 1946, NUM sudah memasukkan perempuan-perempuan muda Nahdliyin ini ke dalam jajaran pengurus.
Sekitar tahun 1948, terdapat tiga orang perempuan yang sangat aktif mengoordinasikan pemudi-pemudi NU di Surabaya dan sekitarnya. Mereka adalah Murthosiyah (Surabaya), Ghuzaimah Mansur (Gresik), dan Aminah (Sidoarjo). Cabang Fatayat NU yang mereka dirikan berada di Surabaya, Gresik, Sidoarjo, dan Pasuruan.
Dengan dukungan dari ketua umum Pengurus Besar NU saat itu, KH Mochammad Dahlan, mereka membentuk Dewan Pimpinan Fatayat NU. Dalam sebuah rapat PBNU, pengurus Fatayat NU diundang. Tidak lama kemudian, pengakuan resmi terhadap Dewan Pimpinan Fatayat pun terbit. Ini terwujud dalam Surat Keputusan (SK) PBNU NO 574/U/Feb tertanggal 26 Rabiuts Tsani 1369H/14 Februari 1950 M.
Akhirnya, Muktamar NU ke-18 di Jakarta pada 1950 memutuskan, antara lain, Fatayat NU menjadi sebuah banom NU. Istilah dewan pimpinan pun diganti dengan pucuk pimpinan.
Sepak terjang Fatayat NU, suarakan bela Palestina ....
Begitu resmi terbentuk, Fatayat NU melakukan konsolidasi di pelbagai kota. Di Malang, hadir perwakilan tiga cabang di Jawa Timur. Di Solo, forum diikuti representasi enam cabang di Jawa Tengah. Kemudian, di Bandung hadir wakil lima cabang Jawa Barat. Selanjutnya, pada Juli 1951, Fatayat NU menerbitkan majalah Melati sebagai wadah komunikasi antar-kader.
Hingga tahun 1961, cabang-cabang Fatayat NU menyebar sampai ke Pulau Jawa, Sumatra, dan Kalimantan. Setahun kemudian, dibentuklah Fatayat NU Serbaguna (Fatser), seiring dengan pembentukan Barisan Ansor Serbaguna (Banser) oleh GP Ansor. Mereka dapat gemblengan fisik dan mental untuk mengimbangi gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) kala itu.
Muktamar NU ke-24 pada 1967 diikuti Fatayat NU sebagai salah satu partisipan. Namun, Fatayat dan Muslimat NU menyelenggarakan kongres secara terpisah tiga bulan kemudian. Beberapa rekomendasi penting dari kongres tersebut adalah desakan kepada pemerintah agar membersihkan aparatur pusat hingga daerah dari oknum G-30-S/PKI. NU pun mengimbau agar anggota PKI tak disertakan dalam Pemilu 1971.
Fokusnya tidak hanya di dalam, melainkan juga luar negeri. Fatayat NU antara lain meminta PBNU agar mendeklarasikan dukungan kepada bangsa Arab, khususnya Palestina, yang sedang menghadapi agresi Israel.
Sejak Muktamar NU di Semarang, Jawa Tengah, pada 1979, Fatayat NU semakin menggiatkan konsolidasi organisasi. Kongres ini menghasilkan kepengurusan yang baru dari kader-kader muda. Para kadernya yang sebelumnya memimpin Fatayat banyak ditarik masuk dalam Muslimat NU.
Upaya konsolidasi kepengurusan cukup berhasil. Fatayat NU tercatat mempunyai lebih dari 69 ribu anggota dari sekitar 300 cabang. Cakupannya tersebar mulai dari Sumatra, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat, Maluku, hingga Papua.
Fatayat NU juga terus menguatkan kerja sama, baik dengan pihak-pihak di dalam maupun luar negeri. Banom NU ini tercatat pernah berkolaborasi dengan Kementerian Agama, Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, Kementerian PPPA, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Selain itu, Fatayat NU juga bermitra dengan Woman International Club (WIC), UNICEF, dan Ford Foundation. Pernah pula mengirimkan utusannyauntuk pertukaran pemuda Indonesia-Malaysia.
Berikut daftar ketua umum PP Fatayat NU dari masa ke masa.
- Murtasiyah, Chuzaiman Mansur, dan Aminah Mansur (1950-1952)
- Nihayah Bakri (1952-1956)
- Hj Aisyah Dahlan (1956-1959)
- Nihayah Maksum (1959-1962)
- Hj Malichah Agus Salim (1962-1979)
- Hj Mahfudhoh Aly Ubaid (1979-1989)
- Hj Sri Mulyani Asrori (1989-2000)
- Hj Maria Ulfah Anshor (2000-2010)
- Hj Ida Fauziyah (2010-2015)
- Anggia Ermarini (2015-2022)
- Margaret Aliyatul Maimunah (2022-2027)