Kemenangan Nicolas Maduro dan Sikap Konsisten Venezuela yang Lantang Mendukung Palestina
Nicolas Madura pada Senin diumumkan sebagai pemenang Pemilu Presiden Venezuela.
REPUBLIKA.CO.ID, CARACAS -- Nicolas Maduro dinyatakan menang dalam pemilihan presiden Venezuela oleh badan pemilihan umum setempat usai meraih 51 persen suara. Ia mengalahkan calon presiden dari kubu oposisi, Edmundo Gonzales, yang mendapat 44 persen suara.
Pengumuman itu disampaikan Ketua Dewan Pemilihan Umum Nasional (CNE) Elvis Amoroso pada Senin (29/7/2024) pagi waktu setempat. Ia menyatakan bahwa hasil tersebut adalah berdasarkan pada catatan hasil pemilu di 80 persen TPS.
Dalam pernyataannya usai dinyatakan menang pemilu, Maduro, sang petahana sejak 2013, berjanji kemenangannya akan membawa perdamaian dan menegaskan bahwa fasisme "tak akan menang" di Venezuela.
"Suara rakyat menang hari ini, dan saya pastikan di Venezuela hanya akan ada perdamaian, perdamaian, dan perdamaian," ucap Maduro.
Sementara itu, kubu oposisi Venezuela yang dipimpin Maria Corina Machado menyatakan menolak hasil pemilu tersebut. "Ini adalah penghinaan terhadap kebenaran," kata dia.
Pihak oposisi mengeklaim bahwa hasil pemilu yang diumumkan CNE tak sesuai dengan jumlah suara yang diberikan. Mereka juga mengkritik penundaan pengumuman penghitungan suara yang terjadi selama enam jam.
Selain itu, mereka menyebut beberapa jajak pendapat yang digelar pada hari pemungutan suara mengindikasikan kemenangan calon presiden Gonzales. Machado pun menyatakan bahwa Gonzales meraih hingga 70 persen suara dalam pemilu itu.
"Kami mau seluruh dunia tahu bahwa kami menang di setiap bagian dan setiap negara bagian di negeri ini. Kami tahu apa yang terjadi saat ini," kata Machado.
Ia mengatakan bahwa pihaknya akan mengumpulkan dan melaporkan semua informasi yang ada untuk menunjukkan hasil pemilu seharusnya yang "tak terbantahkan".
Sementara, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken, begitu mengetahui hasil pilpres yang diumumkan otoritas Venezuela, menyatakan bahwa pihaknya memiliki kekhawatiran besar bahwa hasil pemilu tersebut tidak akurat.
"Kami amat khawatir hasil yang diumumkan tersebut tak mencerminkan kehendak atau pilihan rakyat Venezuela," kata Blinken.
Selain AS, sejumlah negara Amerika Latin, seperti Brazil, Argentina, dan Chile sebelumnya turut menegaskan pentingnya pemilu yang bebas dan jujur di Venezuela.
Pada Ahad (28/7/2024), rakyat di Venezuela berbondong-bondong menuju tempat pemungutan suara (TPS) untuk memilih presiden baru mereka. Ada lebih dari 21 juta pemilih terdaftar di negara Amerika Selatan tersebut, di mana TPS dibuka pada pukul 6 pagi dan berakhir pada pukul 6 sore waktu setempat.
Dengan 10 kandidat yang bersaing, persaingan utama mempertemukan Presiden Nicolas Maduro, yang mencalonkan diri untuk masa jabatan ketiga, dan Edmundo Gonzalez, yang didukung oleh koalisi oposisi. Masa jabatan presiden baru selama enam tahun akan dimulai pada 10 Januari 2025.
Maduro, yang berusia 61 tahun yang telah memerintah Venezuela sejak 2013, berjanji untuk menjaga "perdamaian dan stabilitas". Urrutia, yang adalah mantan diplomat, diusung oleh koalisi oposisi utama negara itu, yakni Platform Kesatuan Demokratik, setelah kandidat sebelumnya, Maria Machado, didiskualifikasi. Urrutia berjanji akan memprivatisasi industri minyak Venezuela dan mencoba merestrukturisasi utang nasional negara tersebut.
Lebih dari 380 ribu tentara dan polisi dikerahkan di seluruh negeri untuk memastikan hukum dan ketertiban. Pemungutan suara pada Ahad juga di bawah pengawasan ketat oleh kalangan kelompok oposisi negara tersebut, masyarakat sipil, dan pengamat internasional.
Lebih dari 635 pengamat internasional, termasuk tim ahli serta 65 profesional dari komisi pemilihan di seluruh dunia memantau pemilihan tersebut.
Di bawah kepemimpinan Nicolas Maduro, Venezuela dikenal sebagai negara Amerika Latin yang mendukung Palestina dan mengecam aksi genosida Israel di Jalur Gaza. Pada akhir Mei lalu misalnya, Menteri Luar Negeri Venezuela Yvan Gil mengecam keras tindakan Israel di Palestina dan menggambarkannya sebagai 'genosida'.
Gil menegaskan kembali sikap negaranya terhadap Palestina. "Venezuela dengan tegas mengakui Palestina sebagai negara yang merdeka dan bebas. Kami menentang genosida yang dilakukan terhadap rakyat Palestina dan menuntut pertanggungjawaban atas kejahatan ini," kata Gil.
Dalam konferensi pers yang digelar seusai pertemuan keempat Komisi Kerja Sama Turki-Venezuela itu, Gil menyoroti dukungan yang telah lama diberikan Venezuela terhadap otonomi dan kemerdekaan Palestina.
"Kami percaya Palestina harus diakui sebagai negara otonom," kata Gil seraya mendesak tindakan internasional untuk menjamin keadilan dan perdamaian bagi Palestina. Gil juga berharap negara-negara di dunia bergerak untuk mengakhiri kekerasan di Gaza dan mencapai perdamaian bagi rakyat Palestina.
Saat Israel menggelar operasi militer di Rafah, Venezuela bersama Pemerintah Brazil juga segera mengutuk. Venezuela, juga meminta komunitas internasional untuk menegakkan kembali legalitas dan keadilan internasional di wilayah Jalur Gaza.
“Venezuela dengan tegas mengutuk pengeboman Rafah di Jalur Gaza selatan, oleh negara Zionis Israel yang melanjutkan kebijakan kriminal sistematis dan ekspansionis di wilayah tersebut,” kata Kemenlu Venezuela melalui pernyataan.