Boikot Produk Israel Efektif, Fatwa MUI Dinilai Berhasil
Sales value 156 dari 206 brand yang diyakini terafiliasi Israel menurun.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Sekretaris Jenderal MUI Bidang Ukhuwah, KH Arif Fahrudin dalam forum mengungkapkan sejumlah data terkait aksi boikot terhadap produk-produk afiliasi Israel dalam Forum Ukhuwah Islamiyah yang digelar Komisi Ukhuwah MUI di Jakarta Barat, Rabu (31/7/2024). Menurut dia, aksi boikot yang telah dilakukan masyarakat Indonesia efektif.
“Berdasarkan data, kita bisa melihat boikot yang dilakukan masyarakat jelas efektif, terbukti dengan tergerusnya penjualan sejumlah perusahaan yang diyakini terafiliasi dengan Israel,” ujar Kiai Arif.
Hasi survei lembaga riset pemasaran Compas.co.id sepanjang periode 19 Mei-15 Juni 2024 menyebutkan bahwa sales value 156 dari 206 brand yang diyakini terafiliasi Israel menurun, sebaliknya manufaktur dalam negeri justru meningkat.
Total jumlah produk terjual (sales quantity) dari 206 merek terafiliasi Israel di Indonesia merosot tiga persen dibanding dua pekan sebelumnya, dan dari 6.884.802 jumlah produk terjual, turun ke angka 6.673.745 produk.
MUI sendiri telah mengeluarkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No 83 Tahun 2023, yang kemudian disusul dengab Fatwa No. 14/Ijtima'ulama/VIII/2023. Dalam fatwa ini, MUI mengimbau kepada masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam untuk memprioritaskan produk dalam negeri dan memboikot produk Israel.
Menurut Kiai Arif, fatwa MUI terbaru tersebut telah berhasil menggerakkan konsumen untuk beralih mengkonsumsi produk yang tidak terafiliasi Israel dan efeknya mendongkrak penjualan produk-produk dalam negeri.
Berlanjutnya boikot produk terafiliasi Israel diharapkan akan menghasilkan efek yang lebih besar, apabila diiringi dengan penguatan produk nasional, yang bisa dilihat dengan peningkatan penjualan.
Menurut dia, penguatan produk nasional akan memiliki banyak efek positif, karena meningkatnya konsumsi produk lokal akan menciptakan lapangan kerja dan memperkuat perekonomian dalam negeri, seiring juga dengan meningkatnya daya saing produk Indonesia di pasar internasional.
“Ini artinya, konsumen dapat berkontribusi langsung pada pertumbuhan ekonomi,” kata Kiai Arif.
Dengan memprioritaskan produk lokal yang bebas dari afiliasi Israel, tambah dia, maka keuntungan mayoritasnya akan beredar di Indonesia, di mana para pengendali serta pemegang posisi-posisi kunci pada perusahaan adalah WNI, bukan orang asing.
“Boikot harus tetap berlanjut, tidak boleh kendor,” katanya tegas, sambil mengingatkan bahwa konsumen Muslim harus mewaspadai manuver perusahaan asing terafiliasi Israel yang masih berusaha kuat membelokkan persepsi publik dengan berbagai cara, termasuk melakukan kampanye hitam atas produk lokal untuk mematahkan efektivitas gerakan boikot.
Anjuran boikot juga produk Prancis... (baca di halaman selanjutnya)
Tidak hanya memboikot produk-produk yang terafiliasi dengan Israel, menurut Kiai Arif, masyarakat Indonesia hendaknya juga memboikot produk atau perusahaan multinasional asal Prancis. Pasalnya, Prancis telah mengabaikan hak asasi manusia, termasuk hak umat Islam untuk menjalankan ajaran agamanya dengan benar.
Seperti diketahui, pada September tahun lalu, Menteri Olahraga Prancis, Amelie Oudea-Castera, mengonfirmasi hijab dilarang untuk semua tim Prancis di Olimpiade yang sedang berlangsung sekarang, di bawah prinsip-prinsip sekularisme Prancis, yakni laicite. Kebijakan tersebut dikritik oleh Kantor HAM PBB dan Komite Olimpiade Internasional (IOC).
Sebelumnya, pada 2012, atlet sepakbola wanita Prancis juga dilarang memakai jilbab saat bertanding, perempuan juga dilarang memakai jilbab di sekolah sejak 2004. Tapi, masih membolehkan untuk umat lain pemakaian kalung salib, bintang David, dan tangan Fatima dan larangan niqab di tempat umum pada 2010.
Prancis pun dikenal dengan sikapnya yang keras bahkan cenderung Islamofobia terhadap warga Muslim, seperti membiarkan penghinaan dengan karikatur yang mengejek Nabi Muhammad dengan dalih “kebebasan berekspresi”.
Dikaitkan dengan mayoritas masyarakat Indonesia yang Muslim, menurut Kiai Arif, maka boikot juga bisa ditujukan ke perusahaan multinasional Prancis yang beroperasi dan meraup profit besar dari sekitar 270 juta rakyat Indonesia.
"Pelarangan-pelarangan hak asasi seperti itu kan mengurangi hak asasi manusia yang sangat mendasar. Dan itu tidak boleh dilakukan. Maka dari itu, kalau sampai ada perusahaan yang jelas-jelas berasal dari kawasan atau negara manapun yang terlihat jelas melakukan pelanggaran HAM, apalagi pelanggaran hak dasar beragama, ya kita harus bersikap," kata Kiai Arif.
Artinya, kata dia, masyarakat Indonesia masih bisa menggunakan produk-produk lain yang bukan berasal dari negara yang Islamofobia. "Kenapa kita harus menjadi makmum kepada perusahaan yang berasal di negara yang Islamopobia? PBB sendiri sudah jelas, tegas, untuk melarang Islamopobia kan?" ucap dia.
Saat ditanya soal perusahaan multinasional asal Perancis yang saat ini beroperasi di Indonesia, Kiai Arif tidak menjawabnya secara gamblang. Dia hanya menyebutkan inisial perusahaannya.
"Ya, yang sudah sangat jelas itu nanti bisa kita lihat lagi perusahaan-perusahaan yang dari sana. Oh iya, inisialnya DN. Ini perusahaan ya. Pokoknya itu salah satunya ya," kata Kiai Arif.
Jika perusahaan tersebut juga terafiliasi dengan Israel, kata dia, maka sudah jelas umat Islam harus menolaknya. "Tolak, jelas itu. Sudah sangat jelas pandangan MUI dengan fatwa nomor 83 tahun 2023 itu dan juga fatwa keputusan Ijtima Ulama tahun nomor 14 bahwa menolak segala yang terafiliasi dengan Israel," jelas dia.
Partisipasi boikot meningkat... (baca di halaman selanjutnya)