Hamas tak akan Pernah Mati Meski Tokohnya Satu Per Satu Dibunuh Israel, Ini Alasannya

Hamas merupaka sebuah gerakan yang lahir dari ide.

AP Photo/Vahid Salemi
Warga Iran mengawal jenazah pemimpin Hamas Ismail Haniyeh saat upacara pelepasan di Teheran, Iran, Kamis, 1 Agustus 2024.
Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Pembunuhan terhadap Ismail Haniyeh dinilai tidak akan mematikan gerakan Hamas. Kelompok perjuangan Palestina itu merupakan sebuah gerakan yang lahir dari sebuah 'pemikiran'.

Baca Juga


"Hamas adalah gerakan yang berdasarkan pada sebuah ide, dan ide tersebut tidak akan mati apapun yang terjadi," ujar akademisi Inggris Palestina Azzam Tamimi dalam tulisannya di Middle East Eye.

Bagi gerakan terafiliasi Hamas, dan banyak warga Palestina yang setuju dengan mereka, kesyahidan bukanlah suatu kerugian. Dalam doktrin Islam, kesyahidan adalah salah satu dari dua hasil sukses dalam perjuangan kebenaran dan keadilan yang lainnya adalah kemenangan.

Ketika gerakan perlawanan Islam, Hamas, lahir dari rahim organisasi Ikhwanul Muslimin Palestina pada Desember 1987, Haniyeh adalah seorang kader muda yang akan menginjak usia 25 tahun.

Namun, seperti banyak rekan Islamnya, ia terlahir sebagai pemimpin. Sejak lahir pada 23 Desember 1962 dari keluarga pengungsi yang meninggalkan tanah airnya di Palestina, dekat kota Ashkelon pada masa Nakba tahun 1948, ia dibesarkan dan tinggal di kamp pengungsi Al-Shati di utara Jalur Gaza.

Pendidikan dasar dan menengahnya berada di sekolah Unrwa di Gaza. Ia memperoleh ijazah sekolah kedua dari Institut Al-Azhar dan kemudian bergabung dengan Universitas Islam di Gaza. Selama berada di universitas, tempat ia belajar Sastra Arab, ia bergabung dengan Ikhwanul Muslimin.

Kelulusannya dari universitas pada musim panas tahun 1987 segera diikuti dengan meletusnya Intifada Palestina dan lahirnya Hamas. Dia ditahan oleh pasukan pendudukan Israel selama beberapa waktu singkat pada 1987 dan 1988.

Setahun kemudian, dia ditangkap kembali dan dijatuhi hukuman tiga tahun penjara. Setelah dibebaskan, Israel menahannya lagi pada musim dingin tahun 1992 dan mendeportasinya bersama lebih dari 400 pemimpin senior dan aktivis Hamas ke Lebanon Selatan.

Sosok pemersatu

Rekan-rekan dan kawan-kawan Haniyeh akan setuju bahwa ia adalah sosok pemersatu. Di kalangan Hamas, ia tidak dipandang kontroversial, melainkan mewakili aliran tengah yang moderat dan arus utama dalam gerakan tersebut.

Inilah yang dengan cepat mengangkatnya ke jajaran teratas gerakan ketika serangkaian pembunuhan melenyapkan seluruh generasi pendiri dan pemimpin termasuk Imad Aqil pada 24 November 1993; Yahya Ayyash pada tanggal 5 Januari 1996; Jamal Salim dan Jamal Mansur pada tanggal 31 Juli 2001; Mahmud Abu Hannud pada tanggal 23 November 2001; Salah Shehadah pada 22 Juli 2002; Ibrahim al-Maqadma pada 8 Maret 2003; Isma'il Abu Shanab pada 21 Agustus 2003; Syekh Ahmad Yassin pada 21 Maret 2004; Abd Al-Aziz al-Rantisi pada 17 April 2004; dan yang terbaru, Saleh al-Arouri pada 2 Januari 2024.

Ketika Israel mencoba membunuh Syekh Yassin untuk pertama kalinya pada tanggal 6 September 2003, Haniyeh bersamanya dan keduanya menderita luka ringan. Syekh Yassin terbunuh dalam upaya kedua enam bulan kemudian setelah salat subuh saat dia meninggalkan masjid.

Nasib perundingan

Pembunuhan ini pasti akan menimbulkan pertanyaan tentang nasib perundingan gencatan senjata dengan Israel.

Menurutnya, Sangat kecil kemungkinannya Hamas akan memutuskan untuk menutup saluran yang ada, karena kemungkinan besar inilah yang ingin dicapai oleh Netanyahu.

 

Kepemimpinan Hamas, baik di Gaza maupun di diaspora, menyadari bahwa pendirian Israel kini lebih terpecah belah dalam perang di Gaza dibandingkan beberapa bulan terakhir.

Netanyahu jelas tidak ingin perang berakhir sampai Hamas tidak ada lagi dan Gaza berada di bawah kendali langsung pemerintah koalisinya.

"Dia tidak, dan tidak pernah peduli dengan para sandera. Hamas masih bertaruh akan terjadinya keretakan lebih lanjut di kalangan Zionis terkait perang tersebut," ujarnya. 

Sebelum pembunuhan, Haniyeh memiliki dua wakil, Mousa Abu Marzouq dan Khalil al-Hayya. Diperkirakan dalam waktu dekat salah satu dari kedua orang tersebut akan diberi tanggung jawab menjalankan biro politik.

Gerakan ini seharusnya bersiap untuk putaran pemilu berikutnya tahun ini jika bukan karena perang. Jika kesepakatan gencatan senjata tercapai dalam waktu dekat, penyelenggaraan pemilu mungkin bisa dilakukan.

Para pesaingnya mungkin tidak hanya terbatas pada tokoh-tokoh sejarah, namun Khaled Meshaal tetap menjadi salah satu tokoh yang paling karismatik dan lebih mungkin mengumpulkan suara bulat dalam gerakan tersebut.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler