Harapan Syahid yang tak Tercapai

Khalid bin Walid begitu sedih bahwa dirinya akan mati bukan di medan jihad.

officeboots
Khalid bin Walid (ilustrasi)
Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Khalid bin Walid adalah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang berjulukan Saifullah (Perang Allah). Baik pada masa kafir maupun Islamnya, tokoh Quraisy itu masyhur akan keahliannya di medan tempur.

Baca Juga


Masuk Islamnya Khalid tidak terjadi begitu saja, tapi setelah pergulatan batin yang panjang. Hal itu dimulai ketika kekuatan umat Islam semakin terkonsolidasi di Madinah.

Enam tahun setelah peristiwa hijrah, Perjanjian Hudaibiyah terjadi antara Rasulullah SAW dan pemimpin Quraisy. Dalam pada itu, kedua belah pihak menyepakati masa damai 10 tahun lamanya.

Adanya kesepakatan Hudaibiyah memungkinkan, antara lain, orang-orang Quraisy Makkah bebas masuk dan keluar Madinah. Selama di kota itu, mereka menyasikan langsung, bagaimana Nabi Muhammad SAW memimpin masyarakat. Akhirnya, banyak yang menyadari bahwa kehadiran Rasulullah SAW sungguh-sungguh menebar maslahat. Tidak ada pamrih duniawi pada diri beliau.

Khalid bin Walid pun mengamati langsung, betapa besar dampak hijrah pada kekuatan umat Islam. Yang paling membuatnya terkesan adalah kepemimpinan Rasulullah SAW. Ia akhirnya menginsafi, Nabi SAW mengutamakan kepentingan syiar agama tauhid dan kemaslahatan umat.

Di sinilah Khalid merasa bahwa apa yang diperjuangkan Nabi Muhammad bukanlah fanatisme kesukuan atau harta benda, melainkan sesuatu yang lebih luhur, yakni keimanan pada Allah SWT. Dengan kata lain, Rasul SAW tidak sedang menyusun kekuatan di Madinah untuk, katakanlah, melampiaskan dendam pada orang-orang Makkah yang dahulu telah mengusirnya.

"Lelaki itu (Nabi Muhammad SAW) benar-benar utusan Allah. Lantas, sampai kapan aku memeranginya? Demi Allah, aku akan pergi menghadapnya dan masuk Islam!" katanya membatin pada suatu hari.

Walau dikecam banyak tokoh musyrik, Khalid bin Walid tidak peduli. Bersama Utsman bin Thalhah dan Amr bin al-Ash, ia pun menuju Madinah. Ketiganya lalu menemui Rasulullah SAW dan menyatakan dua kalimat syahadat.

Sejak menjadi Muslim, Khalid bin Walid selalu membersamai perjuangan syiar Islam, termasuk di medan jihad. Perang pertama yang diikutinya sebagai umat Rasulullah SAW ialah Pertempuran Mut'ah.

Sejarah mencatat, tidak ada satu pun perang yang di dalamnya Khalid bin Walid menjadi komandan Muslim, melainkan Muslimin meraih kemenangan. Salah satu yang fenomenal adalah Perang Yarmuk, yang di dalamnya pasukan Islam bertarung melawan tentara Romawi.

Walau secara jumlah tidak sebanding, pasukan Muslimin berhasil merebut kemenangan. Hasil dari Perang Yarmuk memuluskan jalan bagi perluasan daulah Islam hingga ke seluruh Syam.

Sesal Khalid bin Walid ....

Bagaimanapun, Khalid bin Walid tidak menemui akhir hayat yang sebagaimana dicita-citakannya. Sebagai seorang panglima jihad Muslimin, ia begitu sedih menyadari bahwa ajal datang tatkala dirinya berbaring di atas kasur, bukan saat berjuang di medan perang.

Padahal, ia telah menghabiskan hampir seluruh masa hidup di atas punggung kuda, di bawah kilatan pedang, dan berhadap-hadapan dengan musuh Allah dalam jihad fii sabilillah.

"Sungguh, aku telah mengikuti banyak perang. Tidak ada satu jengkal pun pada tubuhku melainkan padanya terdapat bekas sabetan pedang dan lemparan anak panah. Akan tetapi, sekarang aku mati di atas dipan bagaikan seekor unta tua," katanya di detik-detik terakhir hayatnya.

Dalam hidupnya, Khalid bin Walid berupaya sungguh-sungguh meneladani Rasulullah SAW, suri teladan sederhana dan mencintai orang-orang miskin.

Saat nyawa lepas dari jasadnya, Khalid hanya meninggalkan harta berupa seekor kuda, sebilah pedang, dan seorang budak.

Khalifah Umar bin Khattab berkata mengenangnya, "Semoga Allah merahmati Abu Sulaiman (Khalid bin Walid). Keadaannya persis seperti apa yang kami sangkakan."

Sang Saifullah wafat pada tahun ke-21 Hijriyah di Syam.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler