Saat Gen Z Membaca Koran Era Kemerdekaan 1945
Dandy menilai keberadaan surat kabar masih penting.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Kamran Dikarma
Siang itu, Dandy Novrizal (20 tahun), fokus mengamati dan membaca halaman muka surat kabar Suara Baru yang terbit di Semarang, Jawa Tengah, pada 20 Agustus 1945. “Alhamdulillah! Pemerintah Republik Indonesia Telah Lahir”, demikian judul yang terpampang pada koran tersebut. Ada perasaan takjub ketika Dandy menyimak kepingan informasi tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia dari koran yang diterbitkan hampir delapan dekade lalu itu.
Halaman muka surat kabar Suara Baru yang disimak Dandy merupakan satu dari puluhan koran lawas yang ditampilkan dalam “Pameran Koran Langka: Pers dalam Lorong Waktu & Penyelamatan Arsip”. Pameran tersebut diselenggarakan di Rumah Pohan yang berlokasi di Jalan Kepodang 64, kawasan Kota Lama, Kota Semarang. Dalam penyelenggaraannya, Rumah Pohan bekerja sama dengan Dinas Arsip dan Perpustakaan Kota Semarang.
Dalam pameran tersebut, dipamerkan koran-koran lawas pada era pemerintahan Hindia-Belanda, Jepang, termasuk era awal pasca kemerdekaan Indonesia. “Ini pameran yang unik sekali,” kata Dandy Novrizal ketika ditemui Republika di Rumah Pohan pada Selasa (13/8/2024).
Dandy, yang merupakan mahasiswa Universitas Negeri Semarang, mengaku jarang menemukan pameran arsip seperti yang diselenggarakan di Rumah Pohan. “Bagi saya pribadi, ketika membaca satu per satu (surat kabar yang dipamerkan), saya mendapatkan hal-hal yang tidak saya dapatkan di sekolah. Sangat membuka wawasan,” ujarnya.
Dia mengakui bahwa saat ini eksistensi surat kabar sudah mulai terpinggirkan akibat pesatnya perkembangan teknologi digital yang melahirkan berbagai platform media sosial. Media cetak, ucapnya, tidak lagi menjadi sumber atau referensi utama untuk mencari dan memperoleh informasi. "Mungkin kalau zaman sekarang mau relevan dibaca oleh anak-anak muda, korannya harus koran Hogwarts, misalnya, yang bisa gerak gambarnya," ucap Dandy berseloroh mengacu pada koran dalam seri film Harry Potter.
Kendati demikian, Dandy menilai keberadaan surat kabar masih penting. “Menurut saya masih penting keberadaan koran, sebagai bukti langgam zaman,” katanya.
Generasi Z lainnya yang sempat ditemui Republika saat berkunjung ke “Pameran Koran Langka: Pers dalam Lorong Waktu & Penyelamatan Arsip” adalah Annisa Shafinah (23 tahun). “Saya datang ke pameran ini karena penasaran dengan arsip-arsipnya,” ujar Annisa kepada Republika.
Setelah menyaksikan pameran di Rumah Pohan, Annisa mengaku memperoleh cukup banyak pengetahuan baru. Salah satu yang membuatnya kagum adalah keberagaman bahasa pada surat kabar masa silam. “Ternyata banyak sekali keberagaman. Kan koran sekarang tuh mayoritas bahasa Indonesia ya. Ternyata zaman dulu koran-korannya bahasanya macam-macam,” ucapnya.
Seperti disinggung sebelumnya, pameran Pers dalam Lorong Waktu, menampilkan koran-koran lawas pada era pemerintahan Hindia-Belanda, Jepang, termasuk era awal pasca kemerdekaan Indonesia. De Locomotief, Sinpo, Nederlandsch Indie, Kung Yen, Bataviasche Courant, Kung Yung Pao, Sinar Baru, Warta Indonesia, dan Suara Merdeka adalah sejumlah surat kabar yang halaman mukanya dipamerkan.
Semua surat kabar tersebut merupakan koleksi pribadi dari Pohan dan Sylvie Probowati. Mereka adalah pemilik Rumah Pohan, tempat diselenggarakannya pameran Pers dalam Lorong Waktu. Republika sempat berbincang dengan pasangan suami-istri yang sudah lebih dari 20 tahun menjadi kolektor tersebut. Pohan dan Sylvie mengaku memang hobi mengoleksi barang-barang kuno atau langka. Namun mereka hanya mengumpulkan barang cetak. “Di antaranya perangko, buku-buku lama, koran, foto-foto lama, dokumen-dokumen. Pokoknya yang bersifat kertas,” ungkap Sylvie.
Terkait koran-koran kuno yang dipamerkan di Rumah Pohan, Sylvie dan Pohan mengaku memperolehnya dengan beberapa cara. Salah satunya dari tukang loak. “Karena saya sudah lama berkecimpung di dunia ini, mereka (tukang loak) suka datang ke rumah. Nanti mereka bawa buku (lawas), bawa apa. Nanti saya sortir,” kata Sylvie.
Karena ingin agar koleksinya bisa dinikmati dan diakses khalayak, Sylvie dan Pohan akhirnya menggelar pameran Pers dalam Lorong Waktu. Mereka memilih sejarawan sekaligus Ketua Seksi Literasi Kebudayaan Satupena Jawa Tengah, Johanes Christiono, sebagai ketua tim panitia.
“Saya ikut membantu mengarahkan pemilihan koleksi yang hendak dipamerkan. Jadi era Hindia-Belanda, era Jepang, kemudian era republik, sampai tahun 60-an supaya tidak melebar. Karena ini bulan Agustus, saya minta ada koran yang menerbitkan berita proklamasi,” kata Johanes ketika ditemui di Rumah Pohan.
Dia mengungkapkan, terdapat dua koran dalam pameran Pers dalam Lorong Waktu yang mempublikasikan berita proklamasi kemerdekaan, yakni Sinar Baru dan Kung Yung Pao. Kedua surat kabar itu eksis pada zaman penjajahan Jepang. Sinar Baru terbit di Semarang, sedangkan Kung Yung Pao di Jakarta.
Menurut Johanes, hanya terdapat lima surat kabar di Indonesia yang mempublikasikan berita proklamasi pada 1945. “Di Jakarta Kung Yung Pao, kemudian ada koran Tjahaja, di Bojonegoro ada satu koran berbahasa Jawa, Bojonegoro-Syuu, kemudian Sinar Baru, dan satu lagi koran Matahari di Jawa Barat. Jadi ada lima (yang menerbitkan berita proklamasi),” ucapnya.
Dia mengatakan, meski pameran Pers dalam Lorong Waktu hanya bisa menampilkan dua surat kabar yang menerbitkan berita proklamasi kemerdekaan, hal itu sudah istimewa. Johanes berpendapat, karena saat ini keberadaan surat kabar semakin tersisihkan, pameran Pers dalam Lorong Waktu cukup menarik minat masyarakat. “Karena ini memiliki nilai sejarah,” ujarnya.