Mengapa Iran Belum Juga Serang Israel? Ini Pandangan Para Analis Timur Tengah
Sudah dua pekan sejak pembunuhan Ismail Haniyeh, Iran belum juga menyerang Israel.
REPUBLIKA.CO.ID, Iran hingga kini belum juga melancarkan serangan seperti yang mereka janjikan sebelumnya sebagai pembalasan atas pembunuhan pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh pada 31 Juli 2024 lalu. Sudah dua pekan sejak janji diikrarkan bahkan oleh Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei, Iran membuat dunia bertanya-tanya mengapa apakah serangan sekadar ditunda atau malah dibatalkan.
"Saya pikir mereka (Iran) menikmati itu (penundaan), melihat Israel terjebak dalam periode menunggu, sambil merasakan dampak ekonomi dan psikologis," ujar peneliti senior dari Institut Studi Keamanan Nasional di Tel Aviv, Raz Zimmt, dikutip Oil Price, Jumat (16/8/2024).
Namun, menurut analis lain, antisipasi dari serangan Iran seperti pedang bermata dua yang juga bisa membuat Iran dan sekutunya merugi. "Dampak negatif di Israel, yang terjadi di garis depan, mobilisasi militer, dan bahkan konsekuensi ekonomi tidak terbatas pada Israel, tapi juga mempengaruhi Iran dan Lebanen, kata Michael Horowitz, kepala konsultan intelijen yang bermarkas di Bahrain, Le Beck International.
Analis menilai, ide Iran menunda serangan balasan lantaran dampak psikologis yang ditimbulkan dapat lebih diterima baik secara domestik dan internasional. Menurut analis, keraguan Iran juga disumbang oleh perbedaan pendapat di kalangan internal Iran, koordinasi dengan sekutu yang kompleks, penghitungan risiko akibat serangan.
Menurut Zimmt, Iran menghadapi dilema karena di saat Khamenei dan Pasukan Garda Revolusi Iran (IRGC) ingin mengembalikan kedaulatan dengan cara menyerang langsung, ada elemen di internal Iran yang khawatir serangan berskala besar bisa menyeret Iran ke dalam perang besar dengan Israel bahkan dengan Amerika Serikat (AS).
Bahkan jika keputusan soal bagaimana merespons pembunuhan Haniyeh telah dibuat, koordinasi dengan Hizbullah dan sekutu lain yang tergabung dalam poros perlawanan, memerlukan waktu yang tidak sedikit. Faktor lain yang munckin mempengaruhi keputusan Iran adalah langkah AS yang belakangan terus menambah kehadiran pasukan militer di Timur Tengah.
"Kita melihat sebuah reaksi yang besar dari AS dibandingkan pada April lalu, yang mungkin ditujukan untuk menyamakan kekuatan ancaman serangan Iran ke Israel yang lebih besar dibandingkan pada April lalu," kata Horowitz.
"Pesan yang dikirim AS adalah mengirim aset pertahanan sekaligus potensi menyerang, adalah salah satu pereda dan mungkin satu-satunya pesan yang penting dikirimkan pada tahap ini," kata Horoqitz menambahkan.
Teheran pun telah menolak permintaan negara-negara Barat untuk menahan diri dengan tidak menyerang Israel, dengan menegaskan bahwa, mereka memiliki hak untuk merespons pembunuhan Haniyeh yang dilakukan di wilayah kedaulatan mereka. Namun, banyaknya panggilan telepon kepada Presiden Masud Pezeshkian dan pelaksana tugas Menteri Luar Negeri Ali Baqeri-Kani, memunculkan spekulasi bahwa upaya diplomatik beberapa negara membantu menunda atau bahkan berpotensi membatalkan rencana Iran menyerang Israel.
"Saya ragu bahwa upaya diplomasi itu cukup untuk benar-benar mengubah kalkulasi Iran," kata Horowitz.
"Iran akan melakukan apa yang mereka pikir baik untuk kepentingan mereka, terlepas dari desakan-desakan untuk menahan diri."
Peneliti senior dari Institut Genewa, Farzan Sabet, berspekulasi, Iran "mungkin mencari jalan pintas" untuk menjustifikasi penundaan respons, dan kesepakatan gencatan senjata di Gaza bisa jadi "kemenangan diplomatik".
Namun bagi Zimmt, gencatan senjata di Gaza bisa jadi tidak penting bagi Iran, tapi memberikan Teheran, "sebuah pemakluman atau penjalasan penundaan serangan, untuk kalangan domestik dan internasional."
Menurut Zimmt, sebuah kesepakatan gencatan senjata di Gaza bisa membuat Iran mengurangi skala serangan ke Israel atau memilih metode serangan lain yang bukan berupa serangan langsung ke teritori Israel.
CBS News dilansir Antara pada Jumat (16/8/2024) dalam laporannya mengklaim, bahwa Pemerintah Iran masih memperdebatkan apakah akan mengambil tindakan serangan militer terhadap Israel atau meluncurkan operasi intelijen rahasia. Hassan Nasrallah, ketua gerakan Hizbullah Lebanon, dilaporkan bersikap berhati-hati dalam mengambil tanpa persetujuan Iran dan bertujuan untuk menghindari konflik besar dengan Israel.
Namun, Amerika Serikat percaya bahwa serangan bisa terjadi tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Sementara itu, seorang pejabat AS yang dikutip mengatakan bahwa Israel berada di balik kematian pemimpin politik Hamas Ismail Haniyeh.
Sementara itu, Kedutaan Besar Iran di Lebanon pada Jumat menegaskan, Iran memiliki kemampuan teknis untuk menyerang semua musuhnya dari mana saja di dalam wilayahnya jika diperlukan. Pada hari yang sama, gerakan Hizbullah merilis sebuah video berjudul "Our Mountains, Our Strongholds," yang menampilkan fasilitas rudal bawah tanah yang disebut Imad 4.
Fasilitas ini mencakup jaringan terowongan bawah tanah, di mana truk-truk besar yang dilengkapi dengan sistem artileri roket berat dapat bergerak dengan bebas. Berdasarkan rekaman video tersebut, fasilitas ini dibangun sedemikian rupa sehingga rudal dapat diluncurkan langsung dari poros tanpa perlu membawa artileri ke permukaan.
"Republik Islam Iran dapat menyerang musuh-musuhnya dari mana saja di wilayahnya, jika diperlukan," demikian pernyataan kedutaan tersebut di platform X.
Iran pun memiliki fasilitas rudal bawah tanah yang serupa dengan Imad 4 di seluruh wilayahnya, tambahnya, dengan menyebut fasilitas-fasilitas ini sebagai "kota rudal."
Utusan khusus Kementerian Luar Negeri Israel, Fleur Hassan-Nahoum, dalam sebuah wawancara dengan surat kabar Newsweek, pun mengatakan perang skala besar antara Israel dan Iran "tak terelakkan,". Untuk itu, Amerika Serikat perlu membantu Israel dengan melancarkan serangan terhadap infrastruktur nuklir Iran, karena Tel Aviv tidak mampu melakukannya sendiri.