Respons Isu Paskibraka Lepas Jilbab, Ini Kata Jokowi Soal Apakah Kepala BPIP akan Disanksi
Jokowi merespons aturan BPIP yang halangi Paskibraka putri berjilbab saat bertugas.
REPUBLIKA.CO.ID, IKN (ANTARA) - Presiden Joko Widodo akhirnya merespons aturan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang secara tidak langsung menghalangi Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) putri memakai jilbab saat bertugas di Istana Negara Ibu Kota Nusantara, Kalimantan Timur. Seusai mengikuti upacara penurunan bendera 17 Agustus 2024, Presiden menegaskan bahwa keberagaman harus dihormati.
"Kita harus hormati keberagaman, kita harus hormati kebhinekaaan karena negara ini negara besar, suku berbeda, rasnya berbeda, agamanya berbeda, adat istiadat berbeda, jadi tidak bisa diseragamkan," kata Presiden Joko Widodo di Istana Negara, IKN, Kalimantan Timur, Sabtu (17/8/2024).
Jokowi menekankan perbedaan dan keberagaman merupakan anugerah dan kekayaan yang patut disyukuri untuk persatuan, bukan untuk perbedaan Saat ditanya ada tidaknya sanksi bagi Kepala BPIP, Presiden menyatakan, "Ya nanti dilihat."
Sebelumnya, polemik terjadi setelah Paskibraka putri diketahu tidak berjilbab saat dikukuhkan Presiden di Istana Negara IKN dan menuai kritik publik. Kepala BPIP Yudian Wahyudi menegaskan pakaian, atribut, dan sikap, tampang Paskibraka sebagaimana terlihat pada saat pelaksanaan tugas kenegaraan yaitu pengukuhan Paskibraka, adalah kesukarelaan para Paskibraka dalam rangka mematuhi peraturan yang ada, dan hanya dilakukan pada saat pengukuhan Paskibraka dan pengibaran Sang Merah Putih pada upacara kenegaraan saja.
Yudian menyampaikan saat proklamasi, Indonesia terdiri dari berbagai kebhinekaan. Dalam rangka menjaga kembali persatuan maka dibuatlah Paskibraka dalam bentuk seragam, untuk menjaga kebhinekaan itu dalam rangka kesatuan.
"Untuk menjaga dan merawat tradisi kenegaraan tersebut, BPIP telah menerbitkan Peraturan BPIP Nomor 3 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2022 tentang program Paskibraka yang mengatur mengenai tata cara pakaian dan sikap tampang Paskibraka," ujar Yudian.
Dia mengatakan aturan tersebut untuk tahun 2024 telah ditegaskan dalam Surat Keputusan Kepala BPIP Nomor 35 Tahun 2024 tentang standar pakaian, atribut, dan sikap, tampang Pasukan Pengibar Bendera Pusaka.
"Pada saat pendaftaran, setiap calon Paskibraka Tahun 2024 mendaftar secara sukarela untuk mengikuti seleksi administrasi dengan menyampaikan surat pernyataan yang ditandatangani di atas materai Rp10.000," ujar Yudian.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia (Dirjen HAM) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) RI Dhahana Putra mengatakan, Paskibraka yang mengenakan jilbab justru menunjukkan semangat keberagaman Indonesia sesuai dengan filosofi Bhinneka Tunggal Ika. Oleh karena itu, Dirjen HAM meyakini penggunaan jilbab bagi Paskibraka putri dalam upacara pengibaran bendera di IKN tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai ideologi bangsa.
"Justru adanya Paskibraka yang mengenakan jilbab ini menunjukkan keberagaman atau semangat Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi filosofi kehidupan berbangsa kita," kata Dhahana dalam siaran pers diterima di Jakarta, Kamis lalu.
Terkait dengan polemik aturan ketiadaan opsi penggunaan jilbab atau hijab bagi perempuan yang menjadi anggota Paskibraka pada 2024, Dirjen HAM mengakui hal tersebut memang menimbulkan pertanyaan.
"Adanya aturan itu membuat tujuh putri anggota Paskibraka memilih melepas hijab secara sukarela sebagaimana yang kita lihat pada pengukuhan saat itu. Harus diakui, ini membuat masyarakat bertanya-tanya mengapa seragam Paskibraka tidak memperkenankan penggunaan hijab," ujarnya.
Dhahana menegaskan, bahwa pengibaran bendera tahun-tahun sebelumnya yang memperkenankan Paskibraka mengenakan jilbab merupakan praktik baik penerapan nilai-nilai HAM bagi perempuan di Tanah Air. Dirjen HAM mengingatkan bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) sejak empat dekade silam. Konvensi tersebut menjadi pijakan bagi negara untuk menjamin penghapusan diskriminasi perempuan.
"Sebagai negara pihak dalam CEDAW, pemerintah berkomitmen untuk menghapus praktik-praktik diskriminatif terhadap perempuan," ujarnya.