Kedudukan Putusan MK dalam Pembahasan RUU tentang Pilkada

Putusan MK padahal bersifat final dan mengikat

Republika/Prayogi
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) memimpin jalannya sidang pendahuluan pengujian materiil Undang-Undang tentang Pemilihan Umum di Ruang Sidang MK, Jakarta, Kamis (7/8/2024). Direktur Eksekutif Yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (NETGRIT) Hadar Nafis Gumay dan pegiat kepemiluan Titi Anggraini menggugat Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu perihal ambang batas pencalonan presiden ke Mahkamah Konstitusi. Mereka menguji konstitusionalitas pasal tersebut karena dianggap tidak memberikan keadilan bagi partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki kursi di parlemen.
Red: Nashih Nashrullah

Oleh : DR I Wayan Sudirta, SH, MH anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDIP

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Pada hari ini, seluruh mata tertuju pada DPR yang sedang melakukan pembahasan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (RUU Pilkada).

Baca Juga


Pembahasan tentang RUU Pilkada ini menjadi polemik dan perhatian masyarakat karena terkait dengan fenomena agenda Pilkada dan adanya Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024.

Perdebatan terjadi dalam hal adanya Putusan Mahkamah Konsitusi terkait dengan gugatan terhadap Pasal 40 ayat (3) terhadap UU Pilkada. MK telah memberikan putusan yang amarnya:

a. parpol atau gabungan parpol dapat mendaftarkan cagub-cawagub dengan perolehan suara sah minimal 10 persen di Pemilu DPRD pada provinsi dengan DPT hingga 2 juta. DPT dengan 2-6 juta minimal 8,5 persen. Lalu DPT dengan 6-12 juta minimal 7,5 persen. Serta DPT di atas 12 juta paling sedikit memperoleh 6,5 persen suara sah

b. Sedangkan untuk pemilihan bupati/wali kota beserta wakilnya, parpol atau gabungan parpol dapat mendaftar dengan perolehan suara sah minimal 10 persen di Pemilu DPRD pada provinsi dengan DPT lebih dari 250 ribu jiwa.

Kemudian DPT dengan 250-500 ribu minimal 8,5 persen. Lalu DPT dengan 500 ribu hingga sejuta minimal 7,5 persen. Serta DPT di atas satu juta jiwa paling sedikit memperoleh 6,5 persen suara sah.

Ketika membaca Putusan MK tersebut, putusan dan pertimbangan ini harmonis dengan aturan tentang calon kepala daerah secara independen. Dalam salinan putusannya, MK menilai bahwa ketentuan dalam Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada juga terkait sehingga perlu untuk diperbaiki.

Putusan MK tersebut dinilai telah memberikan rasa demokratis yakni dengan memberi peluang kepada parpol yang tidak memiliki kursi di DPRD untuk dapat mencalonkan kepala daerah.

Disamping itu, parpol atau gabungan parpol yang memiliki kursi di DPRD juga tidak terikat dengan ambang batas tersebut.


Pada kenyataannya, hal ini menimbulkan permasalahan bagi pihak yang berkepentingan atau dalam hal ini dalam lingkaran kekuasaan. Polemik terjadi dalam hal pencalonan Gubernur DKI Jakarta, oleh partai DI luar Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang ada di DPRD DKI Jakarta, yang pada saat itu belum cukup mencapai ambang batas.

Dengan adanya putusan MK, terbukalah peluang beberapa calon gubernur untuk dapat dicalonkan dari partai yang memiliki kursi di DPRD DKI Jakarta di luar KIM. Harapan muncul untuk mendudukan seorang calon gubernur sebagai lawan dari koalisi besar yang tadinya hanya sebagai calon tunggal atau melawan kotak kosong.

Akan tetapi anehnya, DPR...

 

Akan tetapi anehnya, DPR kemudian malah merespons dengan sangat cepat dalam melanjutkan pembahasan terhadap RUU tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada). Hal ini boleh dianggap biasa saja, jikalau isi pasalnya tidak bertentangan dengan Putusan MK. Namun tidak jika isinya justru kontroversial.

Dalam perjalanan pembahasannya, kemudian diketahui oleh publik bahwa prosedur dan substansinya berpotensi bermasalah. Padahal selama ini DPR, Pemerintah, maupun seluruh pihak selalu menghormati Putusan MK karena dianggap sebagai “wakil” dari Konstitusi, apalagi putusannya bersifat final dan mengikat.

Selain itu, pascaputusan MK, DPR dan Pemerintah kini seharusnya sudah lebih berhati-hati. Dalam hal ini, kita selanjutnya dapat bertanya menganalisa lebih jauh terhadap pelaksanaan asas kepatuhan dan kepatutan (due process of law) ini dari implikasi Putusan MK ini. Apa yang menjadi penyebab dari polemik ini.

Pengujian Undang-Undang di MK telah diatur dalam UUD NRI 1945, pengujian konstitusionalitas ini merupakan sebuah ujian undang-undang terhadap kesesuaiannya dengan UUD. Hal ini telah diatur dalam Pasal 24C UUD 1945 dan merupakan kewenangan MK.

Dalam pasal tersebut, MK mengadili di tingkat pertama dan akhir serta putusannya bersifat final dan mengikat (final and binding).

Ketentuan ini kemudian juga dijabarkan dalam Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi (sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020) dan Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022). Ketentuan tersebut mengatur bahwa Putusan MK sebagai putusan peradilan merupakan sumber hukum.

Oleh sebab itu dalam ilmu ketatanegaraan, Putusan MK mewakili Konstitusi dalam menilai konstitusionalitas dari undang-undang. Konsekuensi logisnya, jika terdapat hal yang menyimpang dari sebuah pengaturan dalam RUU terhadap Putusan MK, maka hal ini tentu membuat isi UU nantinya akan bertentangan dengan Konstitusi. Hasil UU tersebut berpotensi diuji kembali dan dinyatakan batal atau tidak sah.


Dalam praktiknya selama ini, DPR dan Pemerintah dapat dikatakan selalu menghormati Putusan MK sebagaimana penerapan asas kepatuhan, harmonisasi, akuntabilitas, dan penyelenggaraan negara yang baik dan benar (good governance), serta menegakkan supremasi hukum.

Sebagai contoh, dalam Putusan MK mengenai pasal hate speech atau penghinaan di KUHP terhadap kepala negara/penguasa yang telah dibatalkan oleh MK. DPR kemudian menganulir pasal mengenai penghinaan terhadap Presiden/Wapres atau Pemerintah yang ada dalam RUU KUHP dan menyesuaikannya dengan isi Putusan MK yakni harus menjadi delik aduan.

Dalam hal pembentukan omnibus law, lahir Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang merupakan tindak lanjut dari Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

Selain itu, DPR maupun Pemerintah juga menindaklanjuti Putusan MK dengan harmonis, misalnya Putusan MK terkait dengan Penyadapan, DPR kemudian membentuk tim untuk RUU Penyadapan, mendudukkan KPK atau aparat penegak hukum sebagai cabang eksekutif, menghormati lama jabatan Pimpinan KPK, dan berbagai uji materi lainnya. DPR dan Pemerintah dalam pembahasan UU selalu memperhatikan Putusan MK.

Dalam berbagai...

Dalam berbagai kesempatan pembahasan terkait dengan Putusan MK, banyak ahli hukum tata negara yang menyatakan bahwa Putusan MK berlaku sebagai undang-undang dan mengikat bagi seluruh pihak, termasuk oleh pembentuk undang-undang.

Bahkan dalam ketentuan tentang Pembentukan Perundang-undangan, Putusan MK harus dimasukkan dalam konsideran sebuah undang-undang karena undang-undang tersebut bisa jadi merupakan tindak lanjut.

Preseden ini telah berjalan sebagaimana mestinya, meskipun terdapat berbagai perdebatan pada sisi substantif. Pada tataran implementasi, Putusan MK selalu dihormati oleh seluruh pihak.

Misalnya, Putusan MK Nomor 90/PUU-XXII/2023 terkait dengan Pasal 169 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, hasil putusannya tetap dijalankan sebagaimana adanya walaupun terdapat banyak perdebatan, hingga ditemukannya pelanggaran etik. Hal ini sesuai dengan asas kepatuhan terhadap hukum dan menghormati putusan peradilan.

Banyak ahli menilai bahwa Putusan MK dapat dianulir karena pelanggaran tersebut, namun nyatanya tetap secara ketatanegaraan dijalankan dan dihormati. Banyak pihak kemudian mempertanyakan legalitas dan dampak politisnya, namun karena menguntungkan sebagian pihak, aturan ini ditindaklanjuti dengan cepat dan responsif.

Hal ini mengingatkan kita pada pernyataan pihak yang sedang berkuasa atau berkepentingan saat itu, yang mengatakan bahwa seluruh pihak harus menghormati putusan MK, namun saat ini justru melanggar atau menyimpang dari Putusan MK yang notabene adalah ketentuan.

Oleh sebab itu, apabila dalam sebuah pembahasan RUU terdapat penyimpangan substansi terhadap Putusan MK, maka hal ini tentu akan menjadi preseden yang buruk dalam kehidupan demokrasi, hukum, maupun ketatanegaraan kita. Indonesia adalah negara hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945. Segala warga negara dengan segala kedudukannya wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan. Artinya supremasi hukum merupakan dasar untuk menjalankan sistem pemerintahan yang baik.

Lebih jauh lagi, dalam hal ini Putusan MK Nomor 60 tersebut tidak mengandung sebuah hal yang melanggar moralitas maupun etika dan nilai-nilai dalam peri-kehidupan berbangsa dan bernegara yang menjunjung tinggi falsafah Pancasila dan UUD 1945.

Justru putusan ini dianggap dapat meningkatkan kehidupan demokratis. Oleh sebab itu, pengaturan dalam UU Pilkada seharusnya mengikuti dan harmonis dengan Putusan MK.

Ketentuan ini...

Ketentuan ini selanjutnya akan menjadi cermin kehidupan demokrasi dan penyelenggaraan otonomi daerah yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di Indonesia.

Masyarakat tentu berharap bahwa ketentuan dalam RUU Pilkada tidak kemudian “dipolitisasi” untuk kepentingan tertentu yang nantinya justru merugikan masyarakat, terutama dalam memilih calon pemimpinnya. Masyarakat harus diberi keleluasaan dalam memilih dan diberi pilihan yang tepat dalam format kebebasan dalam hak politik yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi dan ketentuan perundang-undangan.

Lebih jauh lagi tidak boleh sebuah undang-undang atau ketentuan dibuat secara parsial atau untuk menguntungkan salah satu pihak, apalagi hanya menjadi bentuk “perlawanan” terhadap supremasi hukum.

Falsafah Pancasila dan UUD NRI 1945 yang mendasari aturan perundang-undangan telah menjamin bahwa lembaga yudikatif dijalankan secara independen. Bentuk penghormatannya, tentu seluruh pihak harus menghormati dan menjalankan putusan tersebut seperti ketentuan atau undang-undang yang mengikat.

Sebuah undang-undang tidak boleh bersifat diskriminatif atau menghilangkan persaingan sehat yang merugikan masyarakat. Sebuah ketentuan perundang-undangan haruslah pruden dan tidak menimbulkan permasalahan hukum atau dalam hal ini dapat dipertanggungjawabkan secara publik.

Sebuah undang-undang harus lahir melalui mekanisme dan proses pembentukan yang benar, prosedural, dan terbuka terhadap partisipasi masyarakat yang luas dan berarti (meaningful participation).

Pembahasan tidak boleh terkesan terburu-buru atau dipaksakan substansinya. Pembentukan perundang-undangan harus sesuai dengan prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Dalam pembentukan dan pelaksanaan undang-undang, prinsip non-diskriminatif dan mengakui persamaan (equality) sebagai prinsip hukum umum, serta prinsip harmonisasi dengan Konstitusi harus diprioritaskan.

Oleh sebab itu, dalam ketatanegaraan kita, sekalipun hak-hak warga negara dibatasi oleh karena undang-undang maupun putusan peradilan, tidak berarti bahwa putusan atau ketentuan tersebut justru bertentangan dengan nilai-nilai bangsa yang menghargai kehidupan demokratis, menjunjung tinggi HAM, berkeadilan, dan berkepastian hukum.

Untuk memastikan ini terdapat pula mekanisme pengujian undang-undang terhadap Konstitusi yang kewenangannya dijalankan oleh MK, dan semua harus tunduk pada ketentuan tersebut. Inilah bentuk ideal dari sebuah negara hukum yang demokratis dan konstitusional.

Masyarakat nantinya dapat menilai sendiri, jika terdapat sebuah undang-undang yang bertentangan dengan Konstitusi, putusan peradilan yang sah dan mengikat, maupun nilai-nilai dalam ketatanegaraan dan ilmu perundang-undangan.

Penyelenggaraan negara dan implementasi undang-undang haruslah sama (equal) dan tidak diskriminatif hanya kepada kelompok tertentu atau sebagian kecil masyarakat, yang nantinya menimbulkan citra negatif dari lembaga atau sistem hukum itu sendiri.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler