Dispatches From Aceh, Conflict Resolution of Aceh: Merekam Upaya Mewujudkan Perdamaian
Perdamaian di Aceh harus dilengkapi dengan pembangunan maksimal
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sejumlah tokoh berbagi pengalaman tentang upaya untuk mewujudkan perdamaian dan resolusi konflik di Nanggroe Aceh Darussalam.
Wakil Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Periode 2007-2012 Muhammad Nazar, salah satunya. Muhammad Nazar tercatat sebagai mantan tapol-napol di Aceh.
Pada kesempatan itu, Nazar mengatakan pengalaman berkonflik dalam sejarah Aceh cukup panjang dan oleh karena itu perlu mendapatkan pemahaman yang mendalam.
Dalam hal ini, ada pengalaman personal saat ada upaya persekusi, penangkapan, dan penahanan. Hal ini mewarnai pengalaman personal dalam situasi masyarakat berkonflik.
“Saat berada dalam penjara, saya tetap berupaya memberikan kontribusi komunikasi dan peran dalam hal mempersuasi para pihak untuk berunding dan terbuka dalam menegosiasikan kepentingan masing-masing,” ujar Nazar dalam diskusi publik dan peluncuran buku berjudul “Dispatches From Aceh, Conflict Resolution of Aceh 2002-2006” yang digelar Pusat Kajian Otonomi Daerah (Puskod) Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta bekerja sama Ikatan Alumni UKI di Kampus Pascasarjana UKI, Salemba, Jakarta Pusat, Selasa (27/8/2024) lalu.
Dia menilai proses Helsinki tidak sempurna, namun memberikan panduan penting dalam memberikan pelayanan dasar yang makin baik.
“Pola pengelolaan tanah dan sumber daya produktif menjadi bagian pentingnya. Diperlukan upaya untuk mengelola tanah dan sumber daya produktif ini untuk tetap berguna bagi yang membutuhkan, dan tidak segera dijual obral,” ujar Nazar, dalam keterangannya kepada media, Kamis (29/8/2024).
Pegiat gerakan sosial Aceh, mantan tapol/napol Teuku Ismuhadi juga berbagi pengalam terkait situasi konflik Aceh cukup lama.
“Saya mengalami situasi ini sebagai tantangan besar. Demikianpun, sekarang, ketika sudah tercapai perjanjian damai Aceh, pemberdayaan sosial ekonomi menjadi tantangan besar,” ujar Teuku.
Dia menyebut tidak terlaksananya pengelolaan sumber daya alam secara baik menciptakan kemunduran atas perdamaianyang sudah tercapai. Sekarang, diperlukan upaya yang lebih serius dalam mewujudkan keadilan,” ujar Teuku.
Sementara itu, Pjs Ketua IKA (alumni) UKI Eddie Siagian pada acara penutupan diskusi mengatakan publikasi ini merupakan dedikasi UKI terhadap masyarakat.
“Publikasi ini sekaligus menjadi bentuk pendidikan yang langsung berdampak langsung bagi masyarakat. Kami semua bersyukur bahwa UKI dapat mendedikasikan buah-buah kerja ini,” ujar Eddie Siagian.
Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia Dr Hendri Jayadi Pandiangan mengatakan publikasi hasil kajian dalam buku ini merupakan bentuk pengujian pendidikan hukum berdasarkan pengalaman lapangan dan dalam krisis-krisis besar kemamusiaan.
Dia menyebut pendidikan hukum perlu memampukan masyarakat hukum untuk mampu mengelola pola-pola pengakuan hukum dalam masyarakat yang berkonflik.
“Dalam proses pendampingan hukum dan advokasi publik, perlu melakukan beberapa upaya khusus untuk membuka komunikasi dengan berbagai pihak, yang menjadi inti resolusi konflik,” ujar Hendri Jayadi saat sambutan pada acara pembukaan.
Hendri mengatakan proses komunikasi ini dikuatkan dengan peran tahanan politik (tapol) dan narapidana politik (napol) dan keluarganya.
Dia berharap proses komunikasi tersebut dapat mengetuk pintu hati para penggiat perdamaian.
Ketua PUSKOD FH UKI Reinhard “Taki” Parapat mengatakan publikasi ini merupakan wujud peran dari PUSKOD FH UKI dalam melakukan kajian pengelolaan demokrasi lokal, baik dalam hal situasi unik maupun dalam mewujudkan pelayanan publik yang baik dan cocok untuk masyarakat.
“Publikasi ini didedikasikan untuk para pihak dalam lingkup Universitas Kristen Indonesia dan dalam lingkup publik,” ujar Taki sapaan Reinhard Parapat.
Sementara itu, peneliti senior PUSKOD FH UKI Henry Thomas Simarmata menambahkan publikasi ini merupakan sari pengalaman resolusi konflik melalui pendampingan hukum tapol dan napol pada masa konflik Aceh.
Dia menyebut tulisan ini membatasi pada 2002 yaitu masa Darurat Militer sampai dengan 2005, yaitu Amnesti Umum 2005.