Dari Kasus RS Medistra, Aktivis Muda Muhammadiyah Sebut Banyak Kasus Pembatasan Jilbab
Pembatasan hijab di dunia kerja melanggar undang-undang
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Mencuatnya kasus dugaan pembatasan hijab oleh RS Medistra Jakarta Selatan, seolah membuka kotak pandora, kasus-kasus serupa di sejumlah instansi. Tidak hanya di rumah sakit tetapi juga perusahaan.
Aktivis muda Muhammadiyah, Mustofa Nahrawardaya, bahkan mengaku telah menerima aduan dan laporan sejumlah korban yang mengaku mendapatkan diskriminasi penggunaan hijab.
Dia menyebut dugaan diskriminasi terkini yang dia terima laporannya menimpa toko elektronik di sebuah kawan Jakarta Selatan. Pihak korban mengadu kepada dirinya. Atas kejadian ini pihaknya telah membentuk tim investigasi dan telah turun melakukan penyelidikan.
“Banyak laporan ke saya. Bahkan merembet ke beberapa toko besar. Misalnya ada toko elektronik besar di dekat Pondok Indah yang diduga melakukan praktik serupa. Saya lagi menurunkan tim untuk investigasi,” kata dia kepada Republika.co.id, di Jakarta, Selasa (3/8/2024).
Dia mengatakan, larangan apapun terhadap praktik beragama dalam keseharian adalah bentuk Islamofobia yang tidak diperbolehkan. Apalagi, undang-undang melindungi hak warga negara untuk menjalankan keyakinannya.
“Sayangnya dilakukan secara diam, kalo mereka niat mengapa aturan (larangan jilbab) dideclare saja sehingga publik tahu,” kata dia.
BACA JUGA: Protes Keras RS Medistra Soal Jilbab, Siapa Dr Diani? Kakeknya Tokoh Utama Muhammadiyah
Sebelumnya, dokter spesialis bedah onkologi senior di RS Medistra Jakarta Selatan, Dr dr Diani Kartini, SpB Subsp.Onk (K), memutuskan keluar dari institusi tersebut, pada Sabtu 31 Agustus 2024.
Langkah keras tersebut sebagai protes lantaran tempat dia bekerja selama 10 tahun tersebut, diduga kuat membatasi perawat dan dokter umum Muslimah mengenakan hijab. Surat protes yang dia tulis pun viral di media sosial.
“Dan saya juga langsung keluar tidak bekerja di Medistra lagi setelah peristiwa itu, tepatnya kemarin, Sabtu 31 Agustus 2024,” ujar dia kepada Republika.co.id, Ahad (1/9/2024).
Dia mengaku sama sekali tidak ada penyesalan dan kata mundur terkait hal-hal yang prinsip, termasuk soal menjalankan keyakinan Islam yaitu berhijab. "Tidak perlu menyesal, insya Allah rezeki ada dimana pun," kata dia.
Dia mengaku, Medistra telah menghubunginya dan dirinya pun telah memberikan masukan terkait kebijakan tersebut. Tetapi dia menegaskan tak tahu lagi apa langkah Medistra ke depannya merespons kasus ini.
Dugaan larangan jilbab untuk perawat dan dokter umum itu terungkap setelah surat protes dilayangkan salah satu dokter spesialis yang bekerja di Medistra, Dr dr Diani Kartini, SpB Subsp.Onk (K) beredar di jagat maya.
Surat yang tertulis 29 Agustus 2024 dan ditujukan kepada direksi RS Medistra tersebut berbunyi demikian:
“Selamat Siang Para Direksi yang terhormat. Saya Ingin menanyakan terkait persyaratan berpakaian di RS Medistra. Beberapa waktu lalu, asisten saya dan juga kemarin kerabat saya mendaftar sebagai dokter umum di RS Medistra.
Kebetulan keduanya menggunakan hijab. Ada pertanyaan terakhir di sesi wawancara, menanyakan terkait performance dan RS Medistra merupakan RS internasional, sehingga timbul pertanyaan Apakah bersedia membuka hijab jika diterima.
Saya sangat menyayangkan jika di zaman sekarang masih ada pertanyaan rasis. Dikatakan RS Medistra berstandar internasional tetapi mengapa masih rasis seperti itu?
Salah satu RS di Jakarta selatan, jauh lebih ramai dari RS Medistra, memperbolehkan semua pegawai baik perawat, dokter umum, spesialis, dan subspesialias menggunakan hijab.
BACA JUGA: 7 Layanan Publik di Israel yang Mengalami Pemogokan Massal, Negara Zionis Itu Oleng?
Jika RS Medistra memang RS untuk golongan tertentu, sebaiknya jelas dituliskan saja kalau RS Medistra untuk golongan tertentu sehingga jelas siapa yang bekerja dan datang sebagai pasien.
Sangat disayangkan sekali dalam wawancara timbul pertanyaan yang rut pendapat saya ada rasis. Apakah ada standar ganda cara berpakaian untuk perawat, dokter umum, dokter spesialis, dan sub spesialis di RS Medistra? Terima kasih atas perhatiannya.”
Halaman selanjutnya ➡️
Sementara itu, Direktur Rumah Sakit Medistra Dr Agung Budisatria menyampaikan permohonan maaf atas beredarnya kabar tersebut.
"Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan yang ditimbulkan akibat isu diskriminasi yang dialami oleh salah seorang kandidat tenaga kesehatan dalam proses rekrutmen," kata Agung dalam keterangannya.
Agung menambahkan, hal tersebut kini tengah dalam penanganan manajemen Rumah Sakit Medistra.
"Rumah Sakit Medistra inklusif dan terbuka bagi siapa saja yang mau bekerja sama untuk menghadirkan layanan kesehatan terbaik bagi masyarakat," ungkapnya.
Lebih lanjut, Agung menyampaikan, ke depan pihaknya akan terus melakukan proses kontrol ketat terhadap proses rekrutmen ataupun komunikasi.
"Sehingga pesan yang kami sampaikan dapat dipahami dengan baik oleh semua pihak," ujarnya.