Kemendikbudristek Siap Jatuhkan Sanksi kepada Undip Usai Investigasi Kematian Dokter ARL

Inspektorat Jenderal Kemendikbudristek sedang melakukan investigasi.

ANTARA FOTO/Aji Styawan
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Diponegoro (UNDIP) menyalakan lilin saat menggelar aksi lilin sebagai simbol berkabung atas meninggalnya salah satu mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi berinisial ARL (30) dengan dugaan perundungan, di Lapangan Widya Puraya UNDIP, Tembalang, Semarang, Jawa Tengah, Senin (2/9/2024). Aksi tersebut sebagai dukungan kepada pihak terkait dalam menyelesaikan kasus yang tengah terjadi di PPDS FK UNDIP berasaskan keadilan tanpa menyudutkan salah satu pihak, doa dan solidaritas kepada keluarga ARL, serta dukungan moril kepada Dekan FK UNDIP Yan Wisnu Prajoko selaku Dokter Spesialis Bedah dengan Subspesialis Bedah Onkologi dan dosen pendidikan dokter spesialis-subpesialis yang aktifitas klinisnya diberhentikan sementara di RSUP Kariadi Semarang.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi (Dirjen Diktiristek) Kemendikbudristek menegaskan siap memberikan sanksi sesuai hasil investigasi terhadap kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan Fakultas kedokteran Universitas Diponegoro (FK Undip). Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Abdul Haris mengatakan pihaknya telah mengambil sejumlah langkah guna menyelesaikan kasus ini secara menyeluruh.

Baca Juga


Pertama, Inspektorat Jenderal Kemendikbudristek sedang melakukan investigasi dan siap memberikan sanksi sesuai dengan hasil investigasi yang tengah berjalan. “Dalam melakukan investigasi, kami berkolaborasi erat dengan Inspektorat Jenderal Kemenkes guna memastikan investigasi berjalan secara komprehensif,” ujar Abdul Haris dalam keterangan tertulis di Jakarta pada Senin (9/9/2024).

Selain itu, ia menyebutkan pihaknya juga terus berkoordinasi dengan Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI). Berkenaan dengan hal tersebut, AIPKI mengoordinasikan dekan-dekan FK untuk memfasilitasi proses pembelajaran 50 mahasiswa Prodi Spesialis Anestesi FK Undip hingga proses penanganan kasus selesai dilakukan.

Sebagaimana diketahui, ekses dari kasus meninggalnya dokter Aulia ialah penghentian sementara kegiatan Prodi Anestesi dan dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Undip di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dokter Kariadi. Di samping itu, pihaknya juga kini tengah melakukan finalisasi Peraturan Mendikbudristek tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi sebagai pengganti dari Permendikbudristek tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi.

Peraturan baru ini, lanjutnya, akan mencakup kekerasan yang meliputi kekerasan fisik, kekerasan psikis, perundungan, kekerasan seksual, diskriminasi dan intoleransi. Hal tersebut bertujuan agar kejadian serupa tidak terulang dan pihaknya memiliki dasar hukum yang kuat dan sistematis dalam melakukan pencegahan dan penanganan kasus kekerasan di lingkungan perguruan tinggi.

 

Bullying di Program Pendidikan Dokter Spesialis - (Infografis Republika)

Sebelumnya, kuasa hukum keluarga almarhumah ARL, Misyal Achmad, meminta Kemendikbud Ristek untuk ikut turun tangan dalam mengungkap dugaan perundungan di lembaga pendidikan tersebut. "Ini sebenarnya bukan ranah Kementerian Kesehatan. Kementerian Pendidikan yang seharusnya bertanggung jawab," kata Misyal di Semarang, Kamis pekan lalu.

Dalam kasus dugaan perundungan yang dialami almarhumah ARL, lanjut dia, terungkap sejumlah fakta. Ia menyebut proses pendidikan di program dokter spesialis dilakukan oleh dokter senior yang mengakar juniornya.

Menurut dia, pihak keluarga memang belum berkomunikasi langsung dengan Kementerian Pendidikan. Namun, ia meyakini Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan telah berkomunikasi terkait dengan kasus ini.

Misyal menyebut kasus perundungan di dunia pendidikan pencetak dokter ini sebagai fenomena gunung es. Oleh karena itu, ia berharap pengungkapan kasus yang dialami oleh kliennya ini bisa menjadi pintu masuk dalam penuntasan dugaan perundungan yang terjadi.

"Banyak kasusnya, namun tidak ada yang berani melapor," tambahnya.

ARL diketahui meninggal dunia diduga bunuh diri di tempat indekosnya di Jalan Lempongsari, Kota Semarang, Jawa Tengah. Kematian korban berinisial yang ditemukan pada Senin (12/8/2024) tersebut diduga berkaitan dengan perundungan di tempatnya menempuh pendidikan PPDS Anastesi Universitas Diponegoro (Undip).

Pekan lalu, keluarga almarhumah ARL melaporkan kasus perundungan terhadap korban yang diduga dilakukan sejumlah seniornya ke Kepolisian Daerah Jawa Tengah (Polda Jateng). Misyal Achmad, usai mendampingi ibu korban melapor di Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Jawa Tengah di Semarang, Rabu malam, mengatakan korban ARL diduga mengalami perundungan oleh sejumlah seniornya.

"Ada dugaan pengancaman, intimidasi, dan pemerasan," katanya.

Menurut dia, seluruh bukti sudah diserahkan ke polisi untuk ditindaklanjuti. Namun, Misyal belum bisa mengungkapkan nama-nama terlapor yang disampaikan dalam laporan polisi tersebut.

Ia menduga terjadi pembiaran terhadap peristiwa dugaan perundungan tersebut. Untuk itu, aparat kepolisian diminta mengusut tuntas dan menjadi peristiwa ini sebagai pintu masuk untuk menyelesaikan kejadian serupa yang terjadi.

"Selanjutnya biar berproses, harus dikawal, harus tuntas," katanya.

Terpisah, Kepala Bidang Humas Polda Jawa Tengah Komisaris Besar Polisi Artanto membenarkan adanya laporan dugaan perundungan oleh keluarga almarhumah ARL.

"Masih diproses lebih lanjut," katanya.

 

 



Adapun, Rektor Universitas Diponegoro Semarang Prof Suharnomo mengenai masalah dugaan perundungan, juga adanya dugaan tindakan pemalakan oleh senior, Undip menyerahkan sepenuhnya kepada aparat yang berwenang. Dalam konteks tersebut, Suharnomo menegaskan bahwa Undip membuka diri dan bersikap kooperatif sejak peristiwa itu terjadi.

Undip bukan saja kooperatif, tapi juga transparan sehingga Suharnomo merasa heran dengan munculnya tuduhan bahwa kampus menutup-nutupi peristiwa tersebut.

"Untuk apa kami menutupi-nutupi, Undip itu badan hukum milik negara. Ini milik kita bersama, jadi buat apa kami menutupi sesuatu. Ini era digital dimana semua orang bisa berekspresi di ruang digital. Yang kami harapkan dialektika di ruang publik yang produktif, yang edukatif, bermanfaat," katanya, pekan lalu.

Suharnomo pun mengajak seluruh pihak untuk menjadikan peristiwa meninggalnya mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Undip Dokter Aulia Risma Lestari sebagai momentum evaluasi bersama.

"Dengan segala hormat, tanpa bermaksud mendahului semua proses pemeriksaan yang dilakukan kepolisian dan kementerian, kami berharap peristiwa ini menjadi momentum evaluasi bersama," katanya.

Menurut dia, momentum evaluasi bersama yang dimaksudkannya tidak hanya terkait penyelenggaraan pendidikan dokter spesialis, namun juga untuk semua pemangku kepentingan.

"Tidak bijaksana kalau peristiwa ini menjadi wacana dan polemik serta perdebatan semata. Jangan pula menjadi bahan untuk menyalahkan satu dan lainnya," katanya.

 

 

Karikatur Opini Republika : Darurat Perundungan - (Daan Yahya/Republika)

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler