Keberkahan Apa yang Didapatkan Ketika Menghadiri Maulid Nabi?
Maulid Nabi Muhammad mengingatkan banyak orang tentang manusia terbaik.
REPUBLIKA.CO.ID, SURAKARTA -- Pembina Lembaga Bahsul Masail Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta, KH Ahmad Muhamad Mustain Nasoha mengutip pandangan dari ulama besar seperti Imam Hasan Bashri, Imam Junaedi al-Baghdadi, dan Imam Fakhruddin ar-Razi mengenai keberkahan Maulid Nabi. Dalam pandangan mereka, menghadiri dan mengagungkan Maulid Nabi membawa keberkahan luar biasa, baik dalam kehidupan dunia maupun di akhirat.
Sebagai contoh, menurut Kiai Mustain, Imam Fakhruddin ar-Razi berkata: "Barangsiapa membaca Maulid Nabi di atas makanan atau air, maka akan tampak keberkatan padanya, dan Allah akan memasukkan seribu cahaya dan rahmat ke dalam hatinya."
Selain mengutip kitab-kitab klasik, Kiai Mustain juga merujuk jurnal internasional American Milad: Celebrating the Birthday of the Prophet dari Universitas Chicago. Dalam jurnal tersebut, Maulid Nabi dipandang sebagai sarana pemersatu umat di berbagai negara, termasuk di Amerika Serikat.
Menurut jurnal ini, perayaan Maulid bukan hanya bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW, tetapi juga cara untuk memperkuat solidaritas dan kebersamaan di tengah masyarakat multikultural.
Kiai Mustain menegaskan bahwa peringatan Maulid bukan hanya sekadar seremonial, tetapi juga sebagai sarana untuk memperdalam pemahaman tentang ajaran-ajaran Rasulullah SAW.
Beliau mengutip Kitab Tafsir Durul Mansur karya Imam as-Suyuthi, di mana terdapat penjelasan tentang kebesaran Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat bagi alam semesta sebagaimana disebutkan dalam Surat Al-Anbiya ayat 107:
Lihat halaman berikutnya >>>>
"Wa ma arsalnaka illa rahmatan lil 'alamin” (Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam). Kiai Mustain menjelaskan bahwa Maulid Nabi adalah momen untuk merenungi betapa besar rahmat yang diberikan Allah melalui kehadiran Rasulullah SAW.
Selain itu, Kiai Mustain juga merujuk pada Kitab Iqtidzo' Sirotol Mustaqim karya Ibnu Taimiyah yang meskipun kritis terhadap beberapa bentuk perayaan, tetap menegaskan bahwa memperingati kelahiran Rasulullah dapat menjadi bentuk ta'zim (penghormatan) terhadap beliau selama dilakukan dengan niat yang baik dan tidak melanggar syariat.
“Maulid adalah momen untuk meneguhkan kecintaan kita kepada Nabi Muhammad SAW dan mengambil pelajaran dari kehidupan beliau," jelas Kiai Mustain dalam acara puncak peringatan Maulid Nabi di Pondok Pesantren Al-Muayyad, Surakarta, Ahad (15/9/2024).
Menurut Kiai Mustain, peringatan Maulid merupakan bukti cinta umat Islam kepada Rasulullah, sebagaimana belau sendiri bersabda, 'La yu’minu ahadukum hatta akuna ahabba ilaihi min walidihi wa waladihi wan naasi ajma’iin' (Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian hingga aku lebih ia cintai daripada orang tua, anak, dan seluruh manusia)” (HR Bukhari dan Muslim).
Tentang dzikir berjamaah, dzikir dengan suara keras dan mendoakan orang telah meninggal maupun masih hidup, Kiai Mustain menjelaskan dari Kitab Ma’mu’ Fatawa bahwa Imam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang mengingkari ahli dzikir, di mana ia memprotes ahli dzikir (berjama’ah) “Ini dzikir bid’ah dan menyaringkan suara didalam dzikir kalian juga bid’ah”.
Mereka (ahli dzikir) memulai dan menutup dzikirnya dengan membaca Alquran, kemudian mereka berdoa untuk kaum muslimin yang hidup maupun yang sudah wafat, mereka mengumpulkan antara bacaan tasybih, tahmid, tahlil, takbir, hawqalah (Laa Hawla wa Laa Quwwata Ilaa Billah), mereka juga bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
"Berkumpul untuk dzikir kepada Allah, mendengarkan Kitabullah dan doa merupakan amal shalih, dan itu termasuk dari paling utamanya qurubat (amal mendekatkan diri kepada Allah) dan paling utamanya ibadah-ibadah pada setiap waktu," jelas Kiai Mustain.