Jokowi Kaget Ada Wacana Iuran Dana Pensiun Tambahan, 'Itu Potongan Apa Lagi?'

Saat menerima KSPSI, Jokowi mengaku terkejut dengan wacana iuran pensiun tambahan.

Antara/Pandu Asmara Jingga
Presiden RI Joko Widodo.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Selasa (17/9/2024) menerima masukan dari Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) mengenai wacana iuran pensiun tambahan wajib. Dalam kesempatan itu, Jokowi mengaku tak mengetahui soal wacana kebijakan dana pensiun tambahan. 

Baca Juga


“Presiden bertanya kepada saya, ‘Itu potongan apa lagi Mas?’ Ya itu kan menjadi pertanyaan buat saya. Dan Presiden menegaskan mudah-mudahan kebijakan yang akan dia keluarkan di akhir masa jabatan ini akan membuat buruh merasa bahagia,” ujar Presiden KSPSI Andi Gani Nena Wea usai pertemuan dengan Jokowi di Istana Kepresidenan Jakarta.

BACA JUGA: Tinggi Nabi Adam 37 Meter? Hadits Ini Ungkap Faktanya dan Dibenarkan Sains Modern

 

Menurut Andi Gani, dalam waktu dekat Presiden Jokowi akan menyampaikan pengumuman kebijakan terkait wacana dana pensiun tambahan. Andi Gani mengaku berdiskusi panjang dengan Jokowi dan meyakinkan Presiden bahwa wacana kebijakan itu sangat memberatkan buruh.

“Itu teman-teman pers juga pasti akan merasakan. Potongan sudah banyak, terkena potongan lagi, dan ini tentu sangat memberatkan kaum buruh, pekerja profesional, pekerja pabrik,” ujar Andi Gani.

Dia mengatakan, Presiden Jokowi dalam waktu dekat akan mengumumkan kebijakannya soal potongan tersebut. “Saya tidak bisa mendahului Presiden, karena Presiden akan mengumumkan sendiri, dan besok sore atau lusa saya akan dipanggil ke Istana kembali bersama bung Said Iqbal,” kata Andi.

Adapun menurut Andi Gani, Presiden juga terkejut dengan wacana kebijakan tersebut. Presiden menyampaikan keinginannya bahwa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah di akhir masa pemerintahan akan membuat buruh merasa bahagia.

Kelas menengah tergerus, ekonomi terancam - (Dok Republika)

Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyampaikan bahwa aturan mengenai dana pensiun tambahan yang bersifat wajib masih dalam proses penggodokan. Pihaknya saat ini tengah menunggu dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) mengenai hal tersebut.

“Kami dalam hal ini masih menunggu mengenai bentuk dari PP terkait dengan harmonisasi program pensiun,” kata Kepala Ekskutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono dalam konferensi pers RDK Agustus 2024 yang digelar secara daring, Jumat (6/9/2024).

Ogi menjelaskan, aturan soal dana pensiun tambahan itu merupakan tindak lanjut atas amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), terutama dalam Pasal 189. Beleid tersebut mengamanatkan penguatan untuk harmonisasi program pensiun sebagai upaya untuk meningkatkan perlindungan hari tua.

Berdasarkan data yang ada, manfaat pensiun yang diterima oleh para pensiunan relatif kecil, yakni sekira 10—15 persen dari penghasilan terakhir pada saat aktif bekerja. Sedangkan, berkiblat pada Organisasi Ketenagakerjaan International/ International Labour Organization (ILO), standar ideal manfaat pensiun adalah 40 persen.

Oleh karena itu, Ogi mengatakan, sistem jaminan sosial nasional yang saat ini sudah ada, seperti jaminan pensiun BPJS Ketenagakerjaan dan program pensiun PT Taspen dan PT Asabri nantinya akan diharmonisasikan. Adapun sifat dari program tersebut merupakan tambahan yang wajib dengan kriteria-kriteria tertentu yang akan diatur dalam PP.

Nah diamanatkan dalam UU P2SK ini, ketentuannya (PP) harus mendapatkan persetujuan dari DPR, jadi isu terkait ketentuan batasan mana yang dikenakan untuk pendapatan berapa yang kena wajib, itu belum ada karena PP belum diterbitkan ,” terangnya.

 

Peneliti Next Policy Muhammad Anwar menilai aturan dana pensiun tambahan merupakan kebijakan yang tidak relevan dengan banyaknya beban yang ditanggung pekerja serta kondisi perlambatan perekonomian saat ini. Kebijakan itu menurutnya patut untuk ditunda.

"Saat ini, beban yang ditanggung oleh pekerja swasta sudah terlalu berat. Dengan berbagai potongan yang telah berjalan, seperti pajak penghasilan, BPJS kesehatan, BPJS ketenagakerjaan, rencana iuran Tapera hingga asuransi kendaraan third party liability (TPL). Penerapan kebijakan iuran pensiun tambahan jelas tidak tepat untuk dilakukan dalam waktu dekat," kata Anwar kepada Republika, Senin (9/9/2024) malam.

Terlebih, Anwar menyebut kondisi ekonomi Indonesia masih belum sepenuhnya stabil pascapandemi Covid-19, serta banyak pekerja berjuang untuk sekadar memenuhi kebutuhan sehari-hari. Anwar berpendapat, kebijakan tersebut, meskipun bermaksud baik untuk menjamin kesejahteraan di masa pensiun, yang ada akan menambah beban finansial langsung yang dialami pekerja sekarang.

"Menambah potongan dari gaji mereka, terutama tanpa adanya penyesuaian pendapatan atau kompensasi, hanya akan memperburuk kondisi finansial mereka yang saat ini sudah terbatas," tutur dia.

Lebih lanjut, potongan tambahan tersebut bisa membuat daya beli pekerja semakin tergerus. Kemudian aman mempersempit ruang gerak ekonomi keluarga, yang selanjutnya akan berdampak pula pada perekonomian yang lebih luas.

"Jadi, dalam situasi saat ini, kebijakan ini tidak relevan dan sebaiknya ditunda," tegasnya.

Menurutnya, pemerintah perlu memahami bahwa meskipun tujuan jangka panjang kebijakan ini penting, prioritas utama saat ini haruslah menjaga kestabilan ekonomi pekerja. Kebijakan baru yang menambah beban tidak akan diterima dengan baik dan bisa memicu ketidakpuasan di kalangan pekerja yang sudah menghadapi banyak tantangan.

"Jika benar-benar ingin diterapkan, kebijakan ini harus dipertimbangkan ulang dengan waktu dan mekanisme yang lebih tepat, di saat ekonomi sudah lebih stabil dan daya beli masyarakat sudah lebih kuat," terangnya.

Senada, pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai aturan dana pensiun tambahan bakal berdampak pada semakin tertekannya jumlah kelas menengah, yang dalam lima tahun terakhir telah anjlok hampir 10 juta jiwa. Eko mempertanyakan urgensi dari aturan dana pensiun tambahan yang bersifat wajib tersebut.

Dia mengaku memahami bahwa aturan itu merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengebangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Namun, berdasarkan pengamatannya, beleid tersebut telah melahirkan banyak program bersifat administered price dalam konteks inflasi/ deflasi yang bakal diberlakukan.

Seperti sebelumnya ada asuransi kendaraan dan Tapera, lantas sekarang muncul dana pensiun tambahan. Aturan-aturan anyar itu membikin masyarakat dan dunia usaha terkaget-kaget.

“Ini test the water. Implikasinya akan semakin menurunkan kelas menengah lagi dalam situasi ekonomi yang sebetulnya sedang mengalami perlambatan,” kata Eko dalam diskusi Indef bertajuk ‘Kelas Menengah Turun Kelas’ yang digelar secara daring, Senin (9/9/2024).

 


Komik Republika Si Calus Usia Kerja - (Daan Yahya/Republika)

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kelas menengah di Indonesia dalam tren penurunan jumlah. Pada 2021 jumlah kelas menengah mencapai 53,83 juta orang, tetapi angka ini terus menurun menjadi 49,51 juta pada 2022, menurun lagi menjadi 48,27 juta pada 2023, dan 47,85 juta pada 2024.

Kelompok kelas menengah mencakup masyarakat dengan pengeluaran berkisar Rp2.040.262 mencapai Rp9.909.844 per kapita per bulan pada 2024. Jumlah itu ditentukan oleh standar Bank Dunia soal kelas menengah dengan perhitungan 3,5-17 kali garis kemiskinan suatu negara.

Sementara, jumlah penduduk kelompok kelas atas relatif stabil, di mana pada 2021 sebanyak 1,07 juta orang dan pada 2024 juga sebanyak 1,07 juta orang. Artinya, kelas menengah yang hilang itu turun kelas, bukan naik kelas. Penurunan kelompok kelas menengah itu mengindikasikan adanya tekanan ekonomi.

Jika kondisi ini tidak ditangani dengan baik, penurunan kelas menengah ini dapat berdampak pada perekonomian Indonesia yang kurang resilien terhadap guncangan. “Kelas menengah memiliki peran yang sangat krusial sebagai bantalan ekonomi suatu negara. Ketika proporsi kelas menengah relatif tipis, perekonomian kurang resilien terhadap guncangan. Jadi, peran kelas menengah menjadi penting untuk menjaga daya tahan suatu ekonomi,” ujar Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti, Jumat (30/8/2024).

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler