Kegagalan Pemberontakan PKI 1948

Muso dan Amir Sjarifuddin dieksekusi mati, sedangkan DN Aidit kabur ke China.

ist
Wakil Presiden Mohammad Hatta saat mengawasi penumpasan Pemberontakan Madiun 1948.
Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam tempo kurang dari tiga bulan, Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun dan sekitarnya sejak 18 September 1948 dapat dipadamkan sama sekali. TNI mengerahkan pasukan dengan efektif sehingga dapat menguasai keadaan. Bahkan, pengaruh PKI maupun Front Demokrasi Rakyat (FDR) di daerah-daerah itu bisa dikatakan sudah melemah sejak hari kedua kudeta.

Baca Juga


Pada 19 September 1948, Presiden Sukarno berpidato dan disiarkan melalui Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta. Rakyat yang mendengarnya sangat terkejut. Sebab, PKI nyata-nyata telah menusuk RI dari belakang. Ketika seluruh bangsa Indonesia sedang berjuang melawan Belanda, kaum komunis justru membuat kekacauan. Muso dan kawan-kawan berupaya merebut kekuasaan dari pemerintah yang sah.

“Saudara-saudara,” seru Bung Karno dalam pidatonya, “camkan benar-benar apa artinya itu: Negara Republik Indonesia yang kita cintai hendak direbut oleh PKI Muso. Rakyatku yang tercinta, atas nama perjuangan untuk Indonesia Merdeka, aku berseru padamu pada saat yang begini genting … ikut Muso dengan PKI-nya yang akan membawa bangkrutnya cita-cita Indonesia Merdeka, (atau) ikut Sukarno-Hatta yang, insya Allah dengan bantuan Tuhan, akan memimpin Negara Republik Indonesia kita ke Indonesia yang merdeka, tidak dijajah oleh negeri apa pun juga!”

Beberapa hari kemudian, batalion Divisi Siliwangi bergerak dari Yogyakarta ke Madiun untuk memulihkan keamanan. Selain itu, Panglima Besar Jenderal Sudirman juga memerintahkan Kolonel Gatot Subroto di Jawa Tengah dan Kolonel Sungkono di Jawa Timur untuk menjalankan operasi penumpasan PKI. Dalam hal ini, tentara dibantu para santri.

Dalam hitungan pekan, kekuatan PKI berhasil dilumpuhkan. Bahkan, persembunyian Muso bisa terdeteksi. Gembong komunis yang menghendaki Indonesia tunduk di bawah Uni Soviet ini tewas tertembak di dekat sebuah toilet umum, kawasan Madiun. Nasib serupa dialami Amir Sjarifuddin.

Desember 1948, menjadi bulan terakhir bagi Amir karena ia harus meregang nyawanya di tangan para eksekutor. Eksekusi yang dilakukan kepadanya dilakukan bersama dengan eksekusi tokoh-tokoh PKI lainnya, seperti Maruto Darusman, Suripno, dan Sarjono.

Adapun beberapa sosok lain, termasuk DN Aidit dan Lukman, dapat kabur ke Cina dan Vietnam. Mereka-lah yang lantas menjadi motor kebangkitan PKI pada masa Orde Lama.

Pemerintah, militer, dan rakyat mesti berjuang selama masa revolusi. Hingga pada Desember 1949, Belanda akhirnya mengakui kedaulatan RI. Uniknya, PKI kemudian kembali lagi ke blantika perpolitikan nasional. Pada 1955, Indonesia mengadakan pemilihan umum (pemilu) pertamanya.

PKI menjadi salah satu peserta pesta demokrasi ini. Bahkan, partai komunis tersebut termasuk jajaran empat besar pemenang pemilu sehingga berhak memperoleh kursi di parlemen.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler