Kota Semarang Darurat Kelompok Gangster Remaja

Salah satu anggota kelompok Gabrul terbacok hingga tewas.

Republika/Kamran Dikarma
Polrestabes Semarang menggelar konferensi pers penangkapan para anggota gangster di Polrestabes Semarang, Kamis (19/9/2024).
Rep: Kamran Dikarma Red: Fernan Rahadi

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Aksi kekerasan yang melibatkan kelompok gangster marak terjadi di Kota Semarang, Jawa Tengah, dalam beberapa bulan terakhir. Mirisnya, banyak anggota gangster-gangster tersebut masih remaja, bahkan anak-anak. 


Pada Kamis (19/9/2024), Polrestabes Semarang menggelar konferensi pers penangkapan para anggota gangster. Terdapat 18 tersangka yang dihadirkan dari empat peristiwa berbeda. Seluruh peristiwa terjadi antara Agustus-September 2024. 
 
Salah satu peristiwa yang berhasil diungkap Polrestabes Semarang adalah bentrokan atau tawuran antara dua kelompok gangster yang terjadi di samping Apotek Layur di Jalan Kakap Nomor 142, Kelurahan Dadapsari, Semarang Utara. Tawuran tersebut terjadi pada 23 Agustus 2024, sekitar pukul 04.00 WIB, dan memakan satu korban jiwa. 
 
Dari tawuran tersebut, Polrestabes Semarang menangkap lima tersangka. Mereka adalah MIR (18 tahun), A (18 tahun), YSA (15 tahun), SK (15 tahun), dan DAK (17 tahun). Dari seluruh tersangka, yang berstatus sebagai pelajar adalah A dan DAK. 
 
Kapolrestabes Semarang Kombes Pol Irwan Anwar mengungkapkan, kasus tawuran gangster yang terjadi di samping Apotek Layur bermula dari aksi saling tantang antara kedua kelompok gangster terkait di media sosial (medsos). Kedua kelompok gangster itu akhirnya bersepakat untuk bertemu di sampin Apotek Layur. "Kedua kelompok tiba di lokasi dan terjadi tawuran antara kedua kubu, kubu Warmah dan Gabrul," kata Irwan. 
 
Dalam tawuran dengan menggunakan celurit tersebut, salah satu anggota kelompok Gabrul terbacok hingga tewas. Korban adalah NTO (26 tahun). NTO mengalami tiga luka bacok di punggung, satu bacokan pada kening kiri, lengan kiri, pinggang kiri, dan perut kiri. 
 
Peristiwa lain yang diungkap Polrestabes Semarang pada Kamis lalu adalah pembacokan hingga tewas terhadap mahasiswa Universitas Dian Nuswantoro (Udinus). Korban yang bernama Muhammad Tirza Nugroho Hermawan (21 tahun) adalah korban salah sasaran. 
 
Peristiwa pembacokan terhadap Tirza terjadi di depan SPBU Kelud di Jalan Kelud Raya, Kelurahan Bendan Ngisor, Gajahmungkur. Kombes Pol Irwan Anwar mengungkapkan, kematian Tirza merupakan imbas tawuran antara dua kelompok gangster bernama Witchsel dan All Star. 
 
Sama seperti tawuran di samping Apotek Layur, All Star dan Witchsel juga terlibat aksi saling tantang di medsos. Kedua kelompok kemudian sepakat bertemu di Jalan Tumpang Raya untuk melakukan tawuran tiga versus tiga pada Selasa (17/9/2024) dini hari. "Namun yang menjadi korban adalah Tirza yang tidak tahu apa-apa yang dalam perjalanan pulang dari Gunungpati ke rumahnya," ungkap Irwan Anwar. 
 
Dari kasus pembacokan terhadap Tirza, Polrestabes Semarang menangkap enam tersangka, terdiri dari anggota Witchsel dan All Star. Tiga tersangka dari kelompok All Star adalah pelaku pembacokan terhadap Tirza dan seorang temannya. Mereka adalah RS (23 tahun), BRP (21 tahun), dan RPP (20 tahun). 
 
Dalam konferensi pers di Polrestabes Semarang, RS sempat menceritakan detail kejadian pembacokan terhadap Tirza. RS mengungkapkan bahwa ketika kelompoknya bersepakat melakukan tawuran tiga versus tiga, hal itu tak ditepati kelompok Witchsel. Sebab Witchsel datang ke lokasi dengan anggota lebih banyak. 
 
RS dan teman-temannya kemudian berupaya kabur, tapi diburu oleh para anggota Witchsel. Ketika melintas di depan SPBU Kelud, RS Cs memberanikan diri untuk melawan. "Saya memberanikan diri buat melawan, tapi mau ketabrak sama korban. Terus korban jatuh," kata RS. 
 
Setelah jatuh, RS sempat membacok bagian lengan dari teman Tirza, kemudian mengejar anggota kelompok Witchsel. Pada momen tersebut, dua tersangka lain, yakni BRP dan RPP, melakukan pembacokan terhadap Tirza di bagian tubuhnya. Akibat pembacokan itu, Tirza tewas di lokasi. 
 
Dalam konfereni pers di Polrestabes Semarang, RS sempat menceritakan motivasinya membentuk kelompok gang dan melakukan tawuran dengan kelompok lain. "Untuk gengsi, untuk naik pamor," ujar RS singkat. 
 
Irwan Anwar mengungkapkan, semua tersangka dalam kasus pembacokan terhadap Tirza dijerat dengan Pasal 170 ayat 2 dan 3 KUHP dengan ancaman hukuman pidana 12 tahun penjara. 
 
Pandangan Pakar 
 
Kriminolog dari Universitas Negeri Semarang (Unnes) Indah Sri Utari mengungkapkan, terdapat beberapa kriminologi untuk menjelaskan fenomena keterlibatan remaja dan pemuda dalam kelompok gangster di Semarang. Pertama, misalnya, teori strain atau ketegangan. 
 
"Bahwa tekanan atau ketegangan yang dialami oleh remaja seperti kesulitan ekonomi, tekanan akademis, masalah keluarga, itu mendorong mereka untuk mencari pelarian. Pelarian yang sebenarnya sampai pada melakukan tindakan kriminal," kata Sri ketika dihubungi, Jumat (20/9/2024). 
 
Menurut Sri, sering kali ada perasaan bangga ketika remaja terkait bisa melakukan aksi kriminalitas. "Padahal (mereka) tidak mengetahui bahwa ada bahaya, ada akibat yang ditimbulkan oleh tindakan mereka," ujarnya. 
 
Sri mengungkapkan, teori lain yang bisa digunakan adalah teori diferensiasi asosiasi. "Bahwa mereka sebenarnya, perilaku anak-anak ini, itu mereka melakukan interaksi, interaksi sosial. Remaja ini bergaul dengan temannya, terlibat kegiatan kriminal," ucapnya. 
 
Dia berpendapat, ada teori lain yang cukup baik menggambarkan keterlibatan remaja dalam kelompok gangster, yakni teori kontrol sosial. "Bahwa kondisi ini sebenarnya ditimbulkan oleh ketiadaan kontrol sosial. Artinya kontrol sosial di masyarakat yang mengalami semacam itu, itu artinya kontrol sosialnya lemah," kata Sri. 
 
Dia menambahkan, kriminologi juga merangkul sisi pencarian identitas dalam menjelaskan keterlibatan remaja dalam aksi kriminalitas. "Bahwa anak-anak remaja ini, ketika mereka gagal menemukan identitas positif, jadi mereka mungkin mencari pengakuan, kebanggaan, dan identitas melalui kelompok-kelompok yang terlibat dalam tindakan kriminal," ucapnya. 
 
"Dari apa yang saya sampaikan tadi, maka menunjukkan sebenarnya pentingnya peran keluarga, sekolah, dan peran masyarakat memberikan pengawasan, bimbingan kepada remaja," kata Sri. 
 
Sementara itu pengamat pendidikan dari Unnes, Edi Subhkan, mengungkapkan, adanya remaja usia sekolah yang terlibat kelompok gangster merupakan fenomena krisis identitas. Sama seperti penjelasan Sri, Edi berpendapat, remaja atau siswa yang tergabung dalam gangster biasanya mengalami beragam tekanan dalam hidup. 
 
"Barangkali ketika di sekolah juga dia merasa tidak terakomodasi minatnya, kemampuannya tidak diperhatikan serius, sehingga dia mencari pelarian," ungkap Edi. 
 
Menurut Edi, pelarian tersebut merupakan wujud dari krisis identitas. Para remaja tersebut akan mencari orang-orang dengan persoalan atau situasi serupa dengannya, kemudian mengaktualisasikan diri mereka. Namun tak jarang para remaja tersebut mencari pelarian ke komunitas-komunitas problematik. "Akhirnya terjadilah yang kita sebut sebagai kelompok geng-geng yang semacam itu," ujar Edi. 
 
Dia menjelaskan, seperti yang digagas para founding fathers, Indonesia memiliki tiga pusat pendidikan, yakni sekolah, keluarga, dan organisasi kepemudaan. Menurutnya, peran tiga entitas tersebut yang perlu dimaksimalkan agar remaja tidak terjerumus dalam aksi-aksi kriminal, termasuk dalam kelompok gangster. 
 
Edi mencontohkan sekolah, misalnya, bisa melakukan pendeteksian dini terhadap siswa-siswa yang menunjukkan orientasi ke hal-hal negatif. "Siapa yang sering bolos, siapa yang perangainya kurang baik, siapa yang punya tendensi merundung temannya, itu dia yang punya kecenderungan terlibat," ucapnya. 
 
Sekolah kemudian menyediakan wahana untuk aktivitas aktualisasi dan ekspresi diri bagi para siswa terkait. Namun Edi mengingatkan bahwa kapasitas sekolah untuk melakukan hal itu terbatas. Oleh sebab itu peran keluarga dan masyarakat juga penting. 
 
"Kalau di masyarakat bisa mengaktifkan kembali organisasi-organisasi kepemudaan yang sudah ada dan punya orientasi positif, seperti klub-klub olahraga, seni, budaya, karang taruna, masjid-masjid, itu yang sebenarnya dia yang bisa mengontrol untuk punya aktivitas yang cenderung positif," kata Edi. 
 
Respons Pemerintah 
 
Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu atau akrab disapa Ita sudah angkat bicara terkait maraknya kasus kekerasan dan kriminal yang dilakukan kelompok-kelompok gengster di kotanya. Apalagi siswa sekolah dan remaja turut tergabung dalam gangster tersebut. 
 
Dalam acara diskusi yang digelar khusus di Polrestabes Semarang untuk membahas kasus kelompok gangster pada Jumat (20/9/2024, Ita mengaku memperoleh informasi bahwa pengikut grup-grup gangster di Kota Semarang mencapai 51 ribu. "Ini kan sangat meresahkan. Apalagi ditambah miras, ini kan kontrolnya lepas," ujarnya.
 
Dia mengatakan akan berupaya mengintensifkan upaya pencegahan. "Kita kumpulkan dari kecamatan, kelurahan, sampai RT/RW, tidak hanya kepolisian karena kepolisian terbatas. Seluruh masyarakat harus saling mengawasi dan membuat anak-anak tidak seperti tadi," ucap Ita. 
 
Sementara terkait keterlibatan siswa sekolah dalam kelompok gengster, Ita menyebut hal itu harus didiskusikan bersama. "Karena sebenarnya kewenangan SMA/SMK ini kan (pemerintah) provinsi. Tapi kita tidak bisa bicara, 'Oh ini kewenangan provinsi'," katanya. 
 
Dia mengungkapkan sebenarnya sekolah-sekolah sudah mempunyai gugus pencegahan. "Tapi ini yang memang harus masif," ujar Ita. 
 
"Saya yakin dengan kolaborasi kita bisa mulai mengikis darurat gangster dan anak-anak kita bisa menatap masa depan," kata Ita. 
 
Sementara itu, Sekretaris Komisi D DPRD Kota Semarang Anang Budi Utomo mengungkapkan, dia juga sudah prihatin dengan maraknya aksi kekerasan yang dilakukan kelompok gengster remaja. "Kami sudah diskusi-diskusi dengan teman-teman (di DPRD), segera harus kita atasi bersama," ujarnya ketika dihubungi, Jumat (20/9/2024). 
 
Anang mengungkapkan, jika keterlibatan remaja di Semarang dalam kelompok gengster dilatari oleh ketiadaan kegiatan, DPRD dan Pemerintah Kota Semarang siap menyediakan wadah. Dia menyebut, selama ini sudah ada beberapa cabang olahraga (cabor) bela diri yang sebenarnya terbuka dan bisa diikuti kelompok remaja seperti tinju, pencak silat, serta taekwondo. 
 
Dia menambahkan, DPRD Kota Semarang siap bekerja sama dengan Pemerintah Kota Semarang untuk mengintensifkan kembali cabor-cabor terkait, termasuk menggelar kompetisinya. "Nanti akan kita kemas dengan OPD (organisasi perangkat daerah) terkait. Yang pasti mereka butuh (wadah) ekspresi dan masyarakat bisa mengapresiasi, sehingga mereka menjadi percaya diri dan kemampuannya bisa tersalurkan dengan baik," kata Anang.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler