Deflasi Lima Bulan Beruntun: Tanda Daya Beli Menurun, Ekonomi Sedang tidak Baik-Baik Saja
Deflasi 0,12 persen pada September menjadi yang terdalam dalam lima bulan terakhir.
REPUBLIKA.CO.ID, Badan Pusat Statistik (BPS) pada Selasa (1/10/2024) mengumumkan deflasi September 2024 sebesar 0,12 persen (month-to-month/mtm) yang melanjutkan tren deflasi selama lima bulan berturut-turut. Catatan deflasi September 2024, secara historis, menjadi deflasi terdalam bila dibanding dalam lima bulan terakhir.
Menurut BPS deflasi pada September dipengaruhi oleh penyesuaian pada sisi suplai pangan. Dalam konferensi pers Rilis BPS di Jakarta, Selasa, Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menjelaskan, deflasi dalam lima bulan terakhir secara umum disumbang oleh penurunan harga komoditas bergejolak (volatile food).
“Faktor yang mempengaruhi deflasi atau penurunan harga adalah sisi penawaran. Andil deflasi utamanya disumbang oleh penurunan harga pangan,” kata Amalia.
Secara khusus, pada September 2024, komponen harga bergejolak mengalami deflasi sebesar 1,34 persen, dengan andil terhadap inflasi umum sebesar 0,21 persen. Komoditas utama yang berperan dalam deflasi bulanan yaitu cabai merah sebesar 0,09 persen, cabai rawit sebesar 0,08 persen, telur ayam ras dan daging ayam ras masing-masing sebesar 0,02 persen, tomat, daun bawang, kentang, dan wortel masing-masing sebesar 0,01 persen.
“Produk hortikultura dan juga produk peternakan beberapa bulan sebelumnya sempat mengalami peningkatan, sekarang turun karena kembali stabil,” jelas Amalia.
Dia menggarisbawahi angka deflasi yang diperoleh BPS mengacu pada Indeks Harga Konsumen (IHK), di mana faktor yang mempengaruhi adalah biaya produksi hingga kondisi suplai. Untuk itu, BPS tidak mengaitkan data deflasi dengan dugaan penurunan daya beli masyarakat.
“Untuk mengambil kesimpulan apakah ini menunjukkan indikasi daya beli masyarakat menurun, harus ada studi lebih lanjut. Karena daya beli itu tidak bisa hanya dimonitor dari angka inflasi atau deflasi,” ujarnya.
Namun, dia menyatakan pihaknya akan mendalami lebih lanjut tren deflasi ini, apakah memang ada kaitannya dengan fenomena daya beli masyarakat atau hanya pergerakan dari sisi penawaran.
“Atau ada upaya stabilisasi harga di pusat dan daerah. Karena intervensi kebijakan untuk menjaga stok itu tentunya akan mempengaruhi gerakan harga pasar yang diterima oleh konsumen,” tutur dia.
Di samping komponen bergejolak, komponen harga diatur pemerintah mengalami deflasi sebesar 0,04 persen dengan andil 0,01 persen terhadap inflasi umum. Komoditas yang berperan dominan dalam komponen ini adalah bensin, imbas penurunan harga BBM jenis Pertamax, Pertamax Turbo, Pertamina Green 95, Pertamina Dex, dan Dexlite pada 1 September 2024.
Menurut Amalia, harga BBM jenis Pertamax Turbo, Pertamina Green 95, Pertamina Dex, dan Dexlite sempat mengalami kenaikan pada 2 Agustus 2024. Kemudian, juga ada penyesuaian harga Pertamax yang berlaku mulai 10 Agustus 2024.
“Setelah sebelumnya inflasi, komoditas bensin dan solar mengalami deflasi pada September 2024, dengan tingkat deflasi masing-masing sebesar 0,72 persen dan 0,74 persen,” ujar Amalia.
Menurut data BPS, penurunan harga bensin menyumbang deflasi dengan andil sebesar 0,04 persen. “Tingkat deflasi bensin pada September 2024 merupakan tingkat deflasi terdalam sejak Desember 2023,” tambahnya.
Adapun berdasarkan wilayah, 24 provinsi mengalami deflasi, dengan deflasi terdalam terjadi di Papua Barat (0,92 persen), Papua Selatan (0,74 persen), dan Papua Pegunungan (0,60 persen). Sebanyak 14 provinsi lainnya mengalami inflasi, dengan catatan tertinggi di Maluku Utara (0,56 persen), Papua Barat Daya (0,47 persen), dan Gorontalo (0,39 persen).
Pada bulan lalu, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda pernah menilai deflasi yang terjadi secara berurut-turut sepanjang 2024 menjadi pertanda adanya fenomena pelemahan daya beli masyarakat.
“Memang kita masih melihat agaknya pelemahan daya beli terutama kalau kita lihat ada di deflasi untuk makanan, minuman dan tembakau. Makanya kalau kita lihat ini memang industri makanan, minuman dan tembakau bisa jadi mereka terkena impact dari pelemahan daya beli,” kata Nailul, pada Selasa (3/9/2024).
Menurut Nailul, deflasi sepanjang 2024 berkaitan dengan sisi permintaan yang melemah, sementara dari sisi suplai pun juga terlihat terbatas. Hal ini tercermin dari penggunaan kapasitas di industri saat ini yang hanya mencapai 73,7 persen.
Ia menambahkan bahwa pelemahan daya beli memiliki efek domino yang berdampak pada kondisi Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur dan kapasitas produksi. Angka PMI manufaktur pada Agustus 2024 juga mengalami kontraksi menjadi 48,9 poin atau turun 0,4 poin secara bulanan.
Nailul kemudian membandingkan situasi saat ini dengan krisis ekonomi global pada 2008-2009 serta dampak pandemi Covid-19 pada 2020-2021, di mana deflasi juga terjadi akibat faktor eksternal. Namun, ia menekankan bahwa deflasi tahun ini memiliki karakteristik berbeda.
Menurutnya, saat pandemi ada kondisi luar biasa yang membatasi mobilitas orang, termasuk ke pabrik. Sedangkan sekarang, deflasi lebih dipengaruhi oleh kebijakan yang menekan daya beli masyarakat, seperti kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Dengan kondisi ini, Celios memperingatkan bahwa pelemahan daya beli dapat terus berlanjut dan berdampak lebih luas pada sektor ekonomi nasional. Terutama dengan adanya potensi kenaikan inflasi pada 2025 akibat peningkatan PPN menjadi 12 persen.
“Jadi inflasi inti sebelum pandemi itu rata-rata 3-4 persen core inflation-nya. Kemudian pada tahun 2023 kemarin inflasi intinya kecil sekali 2,8 persen, bahkan sampai Agustus 2024 pun inflasi inti itu hanya berkisar 1,52 persen dan ini menjadi salah satu indikator berarti ada yang bermasalah sebenarnya dari sisi permintaan,” ucap Nailul Huda.
Sementara, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal menyoroti korelasi pelemahan daya beli masyarakat dengan penurunan jumlah kelas menengah. Faisal mengatakan 60 persen penduduk Indonesia merupakan kelas menengah.
Faisal menyampaikan jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan saat ini sebesar 10 persen dan kelas rentan miskin mencapai 30 persen. Oleh karena itu, lanjut Faisal, pelemahan daya beli sangat memengaruhi tingkat kelas menengah ke bawah.
"Konsumsi dari kelas menengah mencapai 60 persen dari seluruh nilai konsumsi masyarakat. Jadi ketika kelas menengahnya mengalami penurunan daya beli atau turun kelas menjadi lebih dekat kepada rentan miskin maka otomatis mempengaruhi daya beli domestik secara keseluruhan," ucap Faisal.
Faisal menyampaikan deflasi berturut-turut memperkuat indikasi terjadi pelemahan daya beli masyarakat. Faisal menilai kondisi ini terbilang tidak lumrah jika disandingkan dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar lima persen.
Faisal mengatakan deflasi empat bulan berturut-turut ini hanya pernah terjadi pada masa-masa krisis seperti saat pandemi Covid-19. Biasanya, lanjut Faisal, deflasi yang terjadi hanya satu bulan dan kemudian kembali inflasi pada bulan berikutnya.
"Jadi kalau ini terjadi maka mendekati kondisi krisis yang mana artinya ekonomi itu sebetulnya tidak sedang baik-baik saja," sambung Faisal.
Faisal mengatakan penurunan daya beli ini dan penurunan jumlah kelas menengah terkait erat dengan menurunnya pertumbuhan pendapatan masyarakat. Hal ini terlihat dari tingkat upah riil sebesar 0,7 persen pada semester pertama.
"Bahkan di 2023, upah riil itu sempat mengalami kontraksi, penurunan upah ini tidak lepas dari terbatasnya penciptaan lapangan pekerjaan, terutama pekerjaan formal sehingga kalau kita melihat jumlah orang di antara orang yang bekerja ini jumlah orang yang bekerja full time itu proporsinya turun, yang meningkat itu jumlah orang yang bekerja part time dan setengahnya menganggur," lanjut Faisal.
Faisal melanjutkan jumlah pekerja di sektor informal mengalami peningkatan, sedangkan tingkat pengangguran terbuka meski mengalami penurunan, namun tingkat pengangguran muda mengalami peningkatan. Menurut Faisal, hal ini terjadi lantaran penciptaan lapangan pekerjaan formal yang relatif terbatas dan mempengaruhi tingkat upah yang rendah atau relatif lambat pertumbuhannya.
"Walaupun inflasi itu juga relatif rendah, tapi masih lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan upah yang sangat rendah," ujar Faisal.