Shalat Paling Utama di Awal Waktu, Kecuali Dalam Kondisi Ini
Tiap Muslim wajib mendirikan shalat lima waktu dalam sehari.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Shalat fardhu merupakan rukun Islam ke dua dan amalan pertama kali yang akan dihisab di akhirat. Artinya, mereka yang meninggalkan shalat fardlu lima waktu akan berdosa.
Lantas, bagaimana jika seorang Muslim tersebut gemar menunda-nunda atau mengakhirkan waktu shalat? Jelas, ulama sepakat bahwa mengakhiri waktu shalat hingga ia lalai adalah dosa.
“Bila seseorang dengan lalai dan sengaja menunda-nunda pengerjaan shalat, hingga terlewat waktunya, para ulama sepakat dia telah berdosa,” kata Ustadz Ahmad Sarwat dalam bukunya, Enslikopdia Fikih Indonesia 3: Shalat.
Akan tetapi, lanjut dia, Islam bukanlah agama yang memberatkan pemeluknya. Dengan kata lain, jika ada uzur yang mengharuskan menunda shalat, maka dibolehkan selama waktu shalat masih ada.
“Mengakhirkan shalat hingga ke bagian akhir dari waktunya oleh para ulama disepakati kebolehannya dan bahwa shalat masih dibenarkan untuk dikerjakan,” kata Ahmad Sarwat.
“Karena prinsipnya agama Islam diturunkan sebagai bentuk keringanan dan bukan sebagai agama yang menghukum manusia sehingga Allah SWT memberikan kelonggaran buat manusia untuk mengerjakan shalat, bukan pada waktu yang sempit dan terbatas, melainkan diberikan keluasan untuk mengerjakan shalat fardu di dalam rentang waktu yang lebar,” jelasnya lagi. Rasulullah SAW bersabada
عن أبي مَحْذُورة -رضي الله عنه- قال: قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم-: أولُ الوقت رِضْوَان الله، ووسَط الوقت رحمة الله، وآخر الوقت عَفْو الله
"Shalat di awal waktu akan mendapat keridhaan dari Allah. Shalat di tengah waktu mendapat rahmat dari Allah. Dan shalat di akhir waktu akan mendapatkan maaf dari Allah." (HR Ad-Daruquthuni). Namun uzur seperti apa yang membolehkan shalat di akhir waktu ini?
Tidak ada air
Dalam keadaan kelangkaan air untuk berwudu, tetapi masih ada keyakinan dan harapan untuk mendapatkannya di akhir waktu, para ulama sepakat memfatwakan bahwa shalat lebih baik ditunda pelaksanaannya, bahkan meski sampai di bagian akhir dari waktunya.
Mazhab Asy-Syafiiyah menegaskan lebih utama menunda shalat tetapi dengan tetap berwudu menggunakan air, daripada melakukan shalat di awal waktu, tetapi hanya dengan bertayamum dengan tanah.
Menunggu jamaah
Meski shalat di awal waktu itu lebih utama, kenyataanya hal itu tidak bersifat mutlak. Sebab ternyata Rasulullah SAW sendiri tidak selamanya shalat di awal waktu. Ada kalanya beliau menunda shalat hingga beberapa waktu, tetapi tetap masih di dalam waktunya.
Salah satunya adalah shalat Isya yang kadang beliau mengakhirkannya, bahkan dikomentari sebagai waktu shalat yang lebih utama.
Beliau seringkali memperlambat dimulainya shalat bila melihat jamaah belum berkumpul semuanya.
Misalnya, dalam shalat Isya beliau seringkali menunda dimulainya shalat manakala dilihatnya para sahabat belum semua tiba di masjid.
Menunda zuhur
Rasulullah SAW menunda shalat saat matahari sedang panas-panasnya, sehingga ulama mengatakan hukumnya mustahab bila sedikit diundurkan.
“Dari Anas bin Malik berkata, bahwa Nabi SAW bila dingin sedang menyengat menyegerakan shalat. Tapi bila panas sedang menyengat, beliau mengundurkan shalat” (HR Bukhari).
Menunda maghrib
Terkadang, Rasulullah SAW menunda shalat maghrib bila sedang berbuka puasa. Padahal, waktu maghrib adalah waktu yang paling pendek.
Bila makanan dihidangkan
Shalat juga lebih utama untuk ditunda atau diakhirkan manakala makanan telah terhidang. Beliau SAW juga menganjurkan untuk menunda shalat manakala seseorang sedang menahan buang hajat.
لا صلاة بحضرة طعام ولا هو يدافعة الأخبثان
“Tidak ada shalat ketika makanan telah terhidang atau menahan kencing atau buang hajat” (HR Muslim)
Maka mengakhirkan atau menunda pelaksanaan shalat tidak selamanya buruk, ada kalanya justru lebih baik, karena memang ada 'illat yang mendasarinya.
Dalam format shalat berjamaah di masjid, wewenang untuk mengakhirkan pelaksanaan shalat berada sepenuhnya di tangan imam masjid.