AS Tiba-Tiba Kecam Israel atas Kondisi Gaza, Kemarin ke Mana Saja?

Untuk pertakalinya, AS menyecar Israel di DK PBB atas kehancuran di Gaza.

AP/Seth Wenig
Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB Linda Thomas-Greenfield berbicara pada pertemuan Dewan Keamanan di markas besar PBB, Ahad, 27 Februari 2022.
Red: Fitriyan Zamzami

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK – Duta Besar AS untuk PBB Linda Thomas-Greenfield mengeluarkan pernyataan blak-blakan di Dewan Keamanan (DK) PBB pada Rabu malam, meminta sekutunya Israel untuk segera mengatasi “kondisi bencana” di Gaza. Ini seruan perdana AS mengecam Israel di PBB setelah negara itu berkali-kali memveto resolusi gencatan senjata dan terus mengirimkan bantuan militer ke Israel setahun belakangan.


“Kondisi bencana ini telah diperkirakan beberapa bulan lalu, namun masih belum diatasi. Hal itu harus diubah, sekarang!” katanya ketika 15 anggota DK PBB bertemu untuk membahas krisis kemanusiaan semalam. 

“Kami menyerukan Israel untuk mengambil langkah mendesak untuk melakukan hal tersebut.” Thomas-Greenfield juga mengatakan masyarakat di Gaza harus dapat kembali ke rumah mereka untuk membangun kembali, setelah Israel mengeluarkan perintah evakuasi baru pada Ahad di bagian utara wilayah kantong yang terkepung. “Tidak boleh ada perubahan demografi atau teritorial di Jalur Gaza, termasuk segala tindakan yang mengurangi wilayah Gaza,” ujarnya.

Pada hari yang sama, Gedung Putih juga menanggapi ancaman Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bahwa rakyat Lebanon akan mengalami “kehancuran dan penderitaan seperti yang kita lihat di Gaza” jika mereka tidak menggulingkan Hizbullah. Juru bicara Gedung Putih Karine Jean-Pierre mengatakan kepada wartawan “bukan itu yang ingin kami lihat”.

“Kami tidak bisa dan tidak akan melihat Lebanon berubah menjadi Gaza yang lain,” katanya. “Penderitaan di Gaza dan Lebanon menambah urgensi yang lebih besar, seperti yang Anda dengar dari kami, terhadap upaya kami, tentunya untuk mengakhiri konflik dan meletakkan landasan bagi perdamaian dan keamanan abadi di wilayah tersebut.”

Sebelumnya, komentar serupa yang dibuat oleh juru bicara Departemen Luar Negeri Matthew Miller, yang mengatakan kepada wartawan bahwa “tidak boleh ada tindakan militer di Lebanon yang mirip dengan Gaza dan memberikan hasil yang mirip dengan Gaza”.

Sikap belakangan berbanding terbalik dengan dukungan tanpa batas yang diberikan AS ke Israel sejak serangan 7 Oktober 2023. Kala itu, mengetahui tabiat Israel yang kerap membalas secara tak proporsional, AS tetap menegaskan hak Israel membela diri. 

Di Dewan Keamanan PBB, AS pertama kali memveto resolusi terkait perbaikan kondisi di Gaza pada 18 Oktober 2024. Kala itu, ribuan telah syahid akibat serangan Israel dan kengerian yang menjelang sudah terlihat. Namun, AS memveto rencana resolusi yang memuat “jeda kemanusiaan" tersebut. Linda Thomas-Greenfield kala itu menyebutkan alasan AS memveto karena “tidak menyebutkan hak Israel membela diri.”

Pada 8 Desember, Dewan Keamanan PBB untuk pertama kalinya membahas resolusi gencatan senjata di Gaza. Kala itu jumlah korban meninggal di Gaza sudah mencapai 19 ribu jiwa. Namun, AS memveto resolusi yang diajukan oleh Uni Emirat Arab dan didukung oleh lebih dari 90 negara anggota PBB. Ada 13 suara yang mendukung dan Inggris abstain, artinya hanya AS sendirian yang menolak resolusi.


Pada 20 Februari 2024. AS memveto resolusi yang diajukan Aljazair yang mendesak gencatan senjata segera. Menurut Thomas-Greenfield, resolusi itu “akan membahayakan negosiasi sensitif.” Sampai saat ini, “negosiasi sensitif" yang dibangga-banggakan AS itu tak membuahkan hasil.

AS adalah satu-satunya negara yang memberikan suara menentang rancangan tersebut, sementara Inggris abstain. Sebanyak 13 negara anggota Dewan Keamanan PBB lainnya mendukung rancangan undang-undang yang menuntut penghentian perang yang saat itu  telah menewaskan lebih dari 29.000 orang di Gaza, menurut pihak berwenang Palestina, dan membuat lebih dari 80 persen penduduknya mengungsi.

Pada 25 Maret 2024, Amerika Serikat akhirnya meloloskan resolusi gencatan senjata di Gaza menjelang Ramadhan. Kala itu, sudah 32 ribu jiwa hilang di Gaza. Thomas-Greenfield mengatakan bahwa dalam mengadopsi resolusi tersebut, Dewan Keamanan “berbicara untuk mendukung” upaya diplomatik yang sedang berlangsung yang dipimpin oleh AS, Qatar dan Mesir untuk mewujudkan gencatan senjata. Pembicaraan gencatan senjata itu kandas dan terhenti hingga saat ini sehubungan aksi PM Israel Benjamin Netanyahu yang terus menambah klausul baru, aksi yang disebut untuk menyabotase kesepakatan.

Bantuan senjata jalan terus...

Terlepas dari dukungan gencatan senjata itu, AS terus mengirimkan bantuan senjata ke Israel. Ini menjadi salah satu faktor penting mengapa seruan gencatan senjata dari AS hanya omong kosong belaka.

BBC melansir, seruan AS untuk mengakhiri perang menjadi hampa karena mereka sementara itu memasok senjata kepada Israel setidaknya senilai 3,8 miliar dolar AS. Washington juga terus mengabulkan permintaan senjata tambahan dari Israel sejak 7 Oktober. 

“Mengatakan [pemerintah] melakukan diplomasi adalah benar dalam arti yang paling dangkal karena mereka melakukan banyak pertemuan. Namun mereka tidak pernah melakukan upaya yang masuk akal untuk mengubah perilaku salah satu aktor utama – Israel,” kata mantan perwira intelijen Harrison J Mann, seorang Mayor Angkatan Darat AS yang bekerja di Badan Intelijen Pertahanan bagian Timur Tengah dan Afrika di Badan Intelijen Pertahanan di Israel. Mann mengundurkan diri awal tahun ini sebagai protes atas dukungan AS terhadap serangan Israel di Gaza dan jumlah warga sipil yang terbunuh karena senjata Amerika.

AS sejauh ini telah mengeluarkan dana sebesar 17,9 miliar dolar AS untuk bantuan militer kepada Israel sejak perang di Gaza dimulai dan menyebabkan meningkatnya konflik di Timur Tengah. Hal ini menurut laporan proyek Biaya Perang Universitas Brown dirilis pada peringatan 7 Oktober. Angka tersebut sekitar dua kali lipat anggaran pertahanan Indonesia. Pada 2023 misalnya, anggaran pertahanan Indonesia berada pada angka Rp 144 triliun atau sekitar 8,8 miliar dolar AS.

Tambahan 4,86 miliar dolar AS dikucurkan untuk meningkatkan operasi militer AS di regional tersebut sejak serangan 7 Oktober 2023, demikian ungkap para peneliti dalam temuan yang pertama kali diberikan kepada the Associated Press. Hal ini termasuk biaya perang yang dipimpin Angkatan Laut AS untuk meredam serangan terhadap kapal komersial oleh kelompok Houthi Yaman, yang melakukan serangan tersebut sebagai bentuk solidaritas dengan kelompok Hamas yang didukung Iran.

Laporan tersebut – yang diselesaikan sebelum Israel membuka front kedua melawan Hizbullah yang didukung Iran di Lebanon pada akhir September – adalah salah satu penghitungan pertama perkiraan biaya yang harus dikeluarkan AS ketika pemerintahan Biden mendukung Israel dalam konflik di Gaza dan Lebanon dan berupaya untuk membendung permusuhan oleh kelompok bersenjata sekutu Iran di wilayah tersebut.

Dalam konflik terkini, lebih dari 1.200 orang tewas di Israel pada tahun lalu saat para pejuang Palestina menyerang  Israel. Serangan balasan Israel telah menewaskan hampir 42.000 orang di Gaza, menurut Kementerian Kesehatan di wilayah tersebut. Setidaknya 1.400 orang di Lebanon, termasuk pejuang Hizbullah dan warga sipil, telah terbunuh sejak Israel memperluas serangannya di negara tersebut pada akhir September.

Biaya finansial AS dihitung oleh Linda J Bilmes, seorang profesor di Sekolah Pemerintahan John F Kennedy di Harvard, yang telah memperkirakan seluruh biaya perang AS sejak serangan 11 September 2001, dan rekan peneliti William D Hartung serta Stephen Semler. Israel – anak emas Amerika Serikat sejak pendiriannya pada 1948 – adalah penerima bantuan militer AS terbesar dalam sejarah, menerima 251,2 miliar dolar AS yang disesuaikan dengan inflasi sejak tahun 1959, kata laporan itu.

Bagaimana AS TErlibat Genosida di Gaza? - (Republika)

Meski begitu, dana sebesar 17,9 miliar dolar AS yang dibelanjakan sejak 7 Oktober 2023, sejauh ini merupakan bantuan militer terbanyak yang dikirim ke Israel dalam satu tahun. AS berkomitmen untuk memberikan miliaran dolar bantuan militer kepada Israel dan Mesir setiap tahun ketika mereka menandatangani perjanjian perdamaian yang ditengahi AS pada 1979, dan sebuah perjanjian sejak pemerintahan Obama menetapkan jumlah tahunan untuk Israel sebesar 3,8 miliar dolar AS hingga 2028.

Bantuan AS sejak dimulainya perang Gaza mencakup pembiayaan militer, penjualan senjata, penarikan setidaknya 4,4 miliar dolar AS dari cadangan dana AS, dan penyerahan peralatan bekas. Sebagian besar senjata AS yang dikirim pada tahun ini adalah amunisi, mulai dari peluru artileri hingga penghancur bunker seberat 2.000 pon dan bom berpemandu presisi. Pengeluaran berkisar dari 4 miliar dolar AS untuk mengisi kembali sistem pertahanan rudal Iron Dome dan David’s Sling Israel hingga membeli senapan dan bahan bakar jet, kata studi tersebut.

Berbeda dengan bantuan militer Amerika Serikat yang didokumentasikan secara publik ke Ukraina, peneliti tidak bisa mendapatkan rincian lengkap mengenai apa yang telah Amerika kirimkan ke Israel sejak 7 Oktober lalu. Sehingga, dana yang digelontorkan AS untuk Israel sebenarnya bisa lebih besar lagi dari yang terdeteksi. Mereka mengutip “upaya pemerintahan Biden untuk menyembunyikan seluruh jumlah bantuan dan jenis sistem melalui manuver birokrasi.”

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler