Mengantisipasi Bahaya Laten Pasca Pembubaran JI

Ada sejumlah perubahan pemikiran diantara anggota senior JI.

Dok UIN
Seminar tentang Jamaah Islamiyah di UIN Ciputat, Jakarta, Kamis 10 Oktober 2024
Red: A.Syalaby Ichsan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sejumlah anggota senior Jamaah Islamiah (JI) menyatakan membubarkan organisasi tersebut pada 24 Dzulhijjah 1445 H / 30 Juni 2024 M. Berbagai spekulasi muncul pasca deklarasi pembubaran tersebut. Apakah JI masih akan menjadi ancaman di masa depan?

Baca Juga


Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, bekerjasama dengan El Bukhari Institute dan Densus 88 Mabes Polri mengadakan seminar nasional bertajuk “Mengikis Benih yang Pernah Tumbuh Islamisme Pasca Pembubaran Jamaah Islamiyah (JI) di Indonesia,” di Kampus UIN Ciputat, Jakarta, Kamis (10/10/2024).

Seminar menghadirkan sejumlah narasumber; Fuad Junaidi (eks Napiter JI), M. Syauqillah (UI), Noor Huda Ismail (Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian), Ibnu Sahroji (El Bukhari Institute) dan Rahmat Hidayatullah (UIN Jakarta).

Dalam sambutannya, Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta Prof Ismatu Ropi menyebut Indonesia sebagai lahan subur bagi setiap ideologi, cara pandang atau gerakan yang hadir dari pelbagai belahan dunia. “Apapun ideologi, cara pandang atau gerakan yang disemai di Indonesia selalu bisa tumbuh dan berkembang, termasuk gerakan yang mengimajinasikan pendirian negara Islam seperti Jamaah Islamiyah.”

Ropi menyambut baik inisiatif para anggota JI yang pada akhirnya mendeklarasikan pembubaran diri dan kembali ke pangkuan NKRI, setelah sekian lama menanam benih radikalisme di Indonesia. Oleh karena itu, lanjutnya, negara perlu hadir dan pro aktif menyalurkan energi mereka untuk berpartisipasi membangun negeri ini sehingga mereka bertansformasi menjadi orang Muslim yang taat dan menjadi orang Indonesia yang baik.

Abdul Karim Munthe, Direktur El Bukhari Institute, dalam sambutannya mengajak mahasiswa dan audiens yang hadir untuk mengembangkan pemikiran kritis dalam rangka membentengi diri dari paham dan ideologi radikal yang berpotensi mencabik-cabik kedamaian dan keharmonisan negeri ini.     

 

Dalam pemaparannya, Fuad Junaidi menyampaikan sejumlah perubahan pemikiran yang ada di antara anggota senior JI. “Salah satu yang berubah adalah perubahan konsep organisasi dari Jamaatul Muslimin menjadi Jamaah Min Ba’dhil Muslimin. Perubahan ini berdampak pada pengakuan JI sebagai satu dari banyak komunitas Muslim. Dulu kami meyakini hanya JI yang Islam. Tetapi sekarang kami merasa hanya bagian kecil dari banyak komunitas Muslim mayoritas seperti NU dan Muhammadiyah. Kami mengakui ada banyak komunitas Muslim lain di luar JI.”

Fuad Junaidi melanjutkan, pemahaman terhadap negara yang tadinya hanya negara kafir dan negara Islam, berubah menjadi negara kafir, negara Islam dan Darul Ahdi wa Syahadah. "Indonesia termasuk yang ketiga. Tidak kafir, dan tidak pula Islam secara sepenuhnya. Di sini kami menerima Indonesia.”

Ibnu Sahroji menyajikan pentingnya keterlibatan generasi muda melawan narasi kekerasan dengan mengembangkan dan menyebarkan narasi alternatif. Terutama di era digital.

Rahmat Hidayatullah menjelaskan kerangka teoretik Islamisme. “Islamisme merupakan sebutan untuk ideologi dan gerakan yang menginginkan berdirinya negara Islam. Dengan demikian, Islamisme bukan Islam itu sendiri.”

Rahmat menegaskan bahwa Islamisme tidak monolitik. “Ada banyak varian Islamisme, dari yang lentur dan menempuh strategi damai-gradual hingga yang menempuh strategi kekerasan dan bom bunih diri. JI merupakan varian Islamis Jihadis pro kekerasan yang terbentuk dari hasil penggabungan unsur lokal dan global.”

Rahmat menambahkan, ada beberapa kemungkinan orientasi ideologis dan arah gerakan JI pasca pembubaran. Dari Islamisme Jihadis berubah menjadi Islamisme politik non kekerasan, atau bertansfomasi menjadi Islamis misionaris yang berfokus pada agenda dakwah, atau menjadi Islamisme populer dan kultural. Setiap pilihan, negara harus menyiapkan skenario kebijakan dan program yang berbeda.

Menurut Noor Huda Ismail, pasca pembubaran, JI akan menjadi ideologi yang bergerak tanpa wadah. “Penanganan terhadap mereka pasca pembubaran harus beragam, perlu memperhatikan aspek ideologi, psikologi dan geopolitik. Pembuatan roadmap penanganan juga harus memerhatikan perkembangan geopolitik,” lanjut Huda.

M. Syauqillah memandang pentingnya roadmap penanganan yang terpadu dan berkelanjutan untuk menyambut situasi pasca pembubaran. Implementasi roadmap ini harus melibatkan banyak stakeholder, tidak bisa jika hanya diserahkan ke satu institusi tertentu saja.

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler