Eksodus Besar-besaran, Jumlah Warga Israel Tinggalkan Negaranya Cetak Rekor dalam Sejarah

Pada tujuh bulan pertama 2024, 40.600 warga Israel meninggalkan negara mereka.

Ariel Schalit/AP Photo
Warga Israel di Bandara Ben Gurion dekat Tel Aviv, Israel.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, Migrasi warga Israel keluar dari negaranya mencatatkan rekor jumlah terbesar dalam sejarah negara Yahudi itu berdiri. Menurut laporan Jerusalem Post, Ahad (13/10/2024), pada tujuh bulan pertama pada tahun ini, 40.600 warga Israel meninggalkan negara mereka, dengan rata-rata 2.200 orang pergi setiap bulannya.

Baca Juga


Biro Pusat Statistik Israel memperbarui metode mereka mengkalkulasi kepergian dan kedatangan jangka panjang warga Israel, mengadopsi standar internasional dalam mengukur emigrasi dan mengembangkan metode statistik baru di Divisi Sensus dan Demografi. Dana data BPS Israel menggambarkan bahwa pada 2023, sebanyak 55.400 warga beremigrasi, sebuah rekor jika dibandingkan dengan rata-rata 37.100 emigrasi per tahun dalam satu dekade terakhir. Pada 2023, sebanyak 27.800 warga Israel kembali, lebih tinggi dari angka rata-rata tahunan sebesar 23.800 selama 10 tahun terakhir.

Merujuk metode pengukuran lama, yang digunakan hingga 2021, angka emigrasi dan yang kembali terbilang rendah. Kemudian, lewat sistem penghitungan yang baru, terungkap bahwa tercatat ada tambahan 126.100 emigran dalam kurun 10 tahun terakhir.

Pada 2023, 39 persen dari emigran tercatat dari distrik-distrik kaya, termasuk Tel Aviv dan wilayah tengah, sementara 28 persen dari Haifa dan utara Israel, dan 15 persen dari daerah selatan Israel. Bahkan Yerusalem berkontribusi 13 persen dari total emigran keluar Israel, dan Yudea dan Samarian menyumbang 5 persen.

Jumlah emigran melonjak pada musim panas Eropa tahun ini, dengan rata-rata 5.200 warga meninggalkan Israel setiap bulannya pada lima bulan pertama 2024. Angka itu meningkat menjadi 7.300 emigran pada Juni dan Juli. Pada Agustus, sebanyak 20.500 warga Israel yang biasa bepergian keluar negari tercatat kembali.

Daftar Kejahatan Tentara Israel - (Republika)

 

Berdasarkan laporan CBS, angka 'emigran jangka panjang' meningkat sebesar 59 persen pada lima bulan pertama pada 2023. Median usia pria yang beremigrasi pada 2023 adalah 31,6 tahun, sementara untuk wanita 32,5 tahun. Adapun untuk usia 20-30 tahunan menyumbang 40 persen dari total emigran, meski mereka hanya sekitar 27 persen dari total populasi Israel.

Data di atas berarti, Israel kehilangan jumlah yang signifikan dari populasi usia produktif yang masuk dalam kategori pekerja, pelajar, dan penerima pelatihan di luar negeri. Di antara emigran, sebesar 48 persen dari pria dan 45 persen dari wanita, belum menikah. Sebesar 41 persen bermigrasi bersama pasangannya, menguatkan dugaan bahwa banyak dari emigran meninggalkan Israel secara permanen.

Pada 2023, sebanyak 59 persen emigran lahir di luar negeri, sementara 41 persen lahir di tanah Israel. Di antara mereka yang lahir di luar Israel, 80 persen besar di Eropa, di mana mayoritasnya (72 persen) pernah tinggal di negara-negara bekas Uni Soviet.

Saat mereka tiba di Israel, banyak dari emigran itu menerima dana bantuan yang besar dari Israel, termasuk subsidi perumahan. Namun banyak dari mereka yang kemudian mencari keuntungan dengan menjual properti bantuan pemerintah itu.

Imigran Kristen non-Arab yang datang dari negara bekas Uni Soviet di bawah Undang-Undang Kembali ke Tanah Asal. Analis menilai para imigran merasa termarjinalkan di Israel karena bukan dari keturunan Yahudi itu, saat ini mengambil kesempatan untuk pergi keluar Israel setelah mendapatkan berbagai benefit.

Sementara, Muslim dan Kristen Arab berkontribusi lebih kecil dalam gelombang emigrasi, dengan representasi hanya 6,2 persen dari total emigrasi meski jumlah mereka sebesar 21,3 persen dari total populasi. Warga Israel dari keturunan Muslim dan Kristen Arab, tercatat 9 persen adalah imigran yang lahir di Amerika Serikat dan 4 persen lahir di Prancis.

 

Pada Selasa (8/10/2024), laporan Axios yang dilansir Anadolu, mengungkapkan ketidakpercayaan Gedung Putih terhadap pemerintahan PM Israel, Benjamin Netanyahu, kian meningkat dalam beberapa pekan terakhir, menyusul Tel Aviv terlibat dalam berbagai konflik di berbagai front wilayah tersebut. Kepercayaan Washington mulai memudar saat Israel menyiapkan tanggapannya terhadap serangan rudal balistik Iran yang dilancarkan pada pekan lalu.

Empat pejabat Amerika Serikat (AS) mengatakan kepada situs web berita Axios, bahwa Washington tidak menentang aksi balasan Israel, namun ingin agar serangan tersebut dilakukan secara terukur. "Kepercayaan kami terhadap Israel sangat rendah saat ini, dan itu beralasan," kata salah satu pejabat tersebut.

Penasihat Keamanan Nasional AS, Jake Sullivan, sebelumnya pun mengatakan kepada mitranya dari Israel, Ron Dermer, bahwa AS mengharapkan "kejelasan dan transparansi" dari Israel dalam merencanakan tanggapannya, sebagian karena serangan Israel akan berdampak pada keamanan pasukan dan kepentingan AS di wilayah tersebut.

Sullivan juga menyampaikan, jika pemerintahan Biden tidak diberitahu sebelumnya, AS mungkin tidak akan secara otomatis turun tangan untuk mencegah serangan rudal balistik lain dari Iran, menurut Axios. Dermer dilaporkan mengatakan bahwa Israel ingin menjaga hubungan dengan AS, tetapi para pejabat skeptis akan hal ini.

Karikatur Opini Republika : Boikot Kurma Israel - (Republika/Daan Yahya)

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler