Video Detik Terakhir Yahya Sinwar Justru Ungkap Kebohongan Israel
Yahya Sinwar ikut berjuang, tak bersembunyi di antara sandera dan warga sipil.
REPUBLIKA.CO.ID, GAZA – Militer Israel melansir video yang diklaim menunjukkan saat-saat terakhir pemimpin Hamas Yahya Sinwar sebelum terbunuh. Video itu menunjukkan bahwa hingga saat-saat paling akhir, Sinwar masih mencoba melawan, berkebalikan dengan tudingan Israel bahwa ia bersembunyi bersama para sandera dari Israel.
Dalam rekaman yang dilansir IDF, sebuah drone nampak memasuki bangunan yang hancur di selatan Jalur Gaza. Di dalam gedung tersebut, Sinwar duduk dengan wajah berbalut keffiyeh dan tangan kanan yang putus tertembak.
Ia terus menatap drone yang mendekati sementara memegang kayu di tangan kirinya. Dengan kekuatan terakhir, Sinwar melemparkan kayu tersebut ke arah pesawat tanpa awak.
“Sinwar yang tangannya terluka akibat tembakan, terlihat di sini dengan wajah tertutup, di saat-saat terakhirnya, melemparkan papan kayu ke arah drone,” ujar juru bicara IDF Daniel Hagari terkait video tersebut dilansir Jerusalem Post, semalam.
Sejak awal serangan ke Jalur Gaza, pihak-pihak di militer Israel kerap mengatakan bahwa Sinwar akan dikelilingi oleh sandera sebagai perisai manusia. Begitupun, risiko pembunuhan sandera tidak menghentikan IDF menjatuhkan bom seberat satu ton ke sasaran yang diduga menjadi sasaran pimpinan Hamas, sekali waktu.
Tanpa mengutip sumber, Channel 12 sempat melaporkan bahwa Sinwar telah bersembunyi bersama enam sandera yang jenazahnya ditemukan oleh IDF pada bulan Agustus setelah mereka dibunuh oleh penculiknya ketika pasukan Israel mendekat.
Belakangan, IDF mengakui tidak menemukan tanda-tanda adanya sandera di sekitar Sinwar ketika dia dibunuh. Ia hanya ditemani dua pria lainnya yang juga dibunuh setelah melakukan perlawanan.
Lokasi Sinwar dibunuh juga jauh dari sekolah tempat warga Gaza mengungsi, atau fasilitas umum lainnya yang kerap dibom Israel dengan dalih sebagai markas operasi Hamas. Alih alih bersembunyi, Sinwar gugur setelah turun ke lapangan melakukan perlawanan, berpindah dari rumah-rumah yang sudah hancur sembari melawan pasukan Israel.
Radio Kan Israel melaporkan bahwa pemimpin Hamas terbunuh “secara kebetulan”, dan bukan karena pengumpulan intelijen. Channel 12 Israel melaporkan bahwa sebelum gugur, Sinwar bertarung melawan batalion infanteri, yang beroperasi dengan unit tank. Pasukan Israel kemudian melepaskan tembakan menggunakan peluru tank, dan menghancurkan gedung tempat Sinwar dan dua pejuang lainnya berlindung.
Sinwar terluka parah akibat tembakan tank tersebut. Lututnya terlihat cidera dalam foto yang dilansir pihak Israel. Tangan kanannya juga putus dan berdarah. Namun, ia menolak menyerah saat disambangi pesawat tanpa awak Israel.
Misi Iran untuk PBB mengatakan, momen kematian Yahya Sinwar akan memperkuat “semangat perlawanan”. “Ketika pasukan AS menyeret Saddam Hussein yang berantakan keluar dari lubang bawah tanah, dia memohon kepada mereka untuk tidak membunuhnya meskipun dia bersenjata. Mereka yang menganggap Saddam sebagai model perlawanan akhirnya runtuh.
Ketika umat Islam memandang syuhada Sinwar yang berdiri di medan perang – dengan pakaian tempur dan di tempat terbuka, bukan di tempat persembunyian, menghadapi musuh – semangat perlawanan akan diperkuat.
Beliau akan menjadi teladan bagi generasi muda dan anak-anak yang akan meneruskan jalannya menuju pembebasan Palestina. Selama pendudukan dan agresi masih ada, perlawanan akan terus berlangsung, karena para martir tetap hidup dan menjadi sumber inspirasi.”
Perburuan panjang Israel...
Israel tak kurang-kurangnya menggunakan semua sumber daya dalam perburuan Sinwar selama setahun belakangan. Mereka melibatkan gugus tugas yang terdiri dari perwira intelijen, unit operasi khusus, insinyur militer, dan pakar pengawasan.
Perburuan ganas yang terjadi kemudian melibatkan kombinasi teknologi canggih dan kekerasan, karena para pengejarnya telah menunjukkan diri mereka siap melakukan apapun, termasuk menimbulkan korban sipil yang sangat tinggi, membunuh pemimpin Hamas dan menghancurkan lingkaran ketat di sekitarnya.
Para pemburu tersebut adalah satuan tugas yang terdiri dari perwira intelijen, unit operasi khusus dari IDF, insinyur militer dan ahli pengawasan di bawah payung Badan Keamanan Israel, yang lebih dikenal dengan inisial bahasa Ibrani, atau dengan akronim Shabak atau Shin Bet.
Secara pribadi dan institusional, tim ini mencari penebusan atas kegagalan keamanan yang menyebabkan terjadinya serangan 7 Oktober. Namun terlepas dari motivasi mereka, mereka menghadapi frustrasi selama lebih dari satu tahun. Namun, pada akhirnya, dia tampaknya dibunuh oleh pasukan reguler yang sedang berpatroli.
“Jika Anda memberitahu saya ketika perang dimulai, dia masih hidup [setahun kemudian], saya akan menganggapnya luar biasa,” kata Michael Milshtein, mantan kepala bagian urusan Palestina di Intelijen Militer Israel (Aman) kepada the Guardian. “Tapi ingat, Sinwar bersiap selama satu dekade untuk serangan ini dan intelijen IDF sangat terkejut dengan ukuran dan panjang terowongan di bawah Gaza dan betapa canggihnya terowongan tersebut.”
Sinwar dianggap ahli dalam bidang militer dan politik Israel. Dia berbicara bahasa Ibrani dengan fasih, yang dipelajarinya selama lebih dari 20 tahun di penjara Israel, dan merupakan kekuatan pendorong di balik strategi Hamas beberapa tahun terakhir.
Berbagai penilaian intelijen Barat dan Israel selama setahun terakhir menunjukkan bahwa Sinwar telah lama menghindari komunikasi elektronik, mengandalkan jaringan kurir untuk bertukar pesan dengan dunia luar dari jaringan terowongan Hamas yang luas di bawah Jalur Gaza.
Laporan-laporan tersebut juga mengatakan Sinwar telah menjadi “fatalistik” setelah 12 bulan agresi sengit yang menewaskan 42.000 warga Palestina. Sinwar yakin bahwa ia akan menjadi syuhada tak lama lagi, namun masih berharap untuk menjerat Israel dalam pertempuran regional dengan Iran dan kelompok-kelompok sekutu di Timur Tengah, seperti seperti Hizbullah Lebanon.
Sinwar (62 tahun), lahir di kamp pengungsi Khan Younis di Gaza selatan dan tumbuh dalam kemiskinan sebelum belajar di Universitas Islam Gaza, di mana ia menerima gelar sarjana dalam Studi Arab.
Di antara teman-teman masa kecilnya adalah Mohammed Deif, panglima militer Hamas, yang diklaim Israel telah dibunuh dalam serangan udara tiga bulan lalu, dan Mohammed Dahlan, seorang anggota berpengaruh dari partai sekuler Fatah yang kini tinggal di pengasingan di UEA.