Evaluasi 10 Tahun Pemberantasan Korupsi Era Jokowi

KPK bisa dibilang terpuruk pada era Jokowi, sementara kinerja Kejagung menonjol.

Republika/Prayogi
Para tersangka hasil kegiatan Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK di Kalimantan Selatan berjalan menuju ruangan konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (8/10/2024).
Rep: Bambang Noroyono Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Babak belur peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sepertinya menjadi prestasi terburuk di bidang penegakan hukum dalam 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pemimpin utama lembaga pemberantasan korupsi, menjadi tersangka suap, gratifikasi, bahkan pemerasan.

Baca Juga


Dua periode menjadi pemimpin utama di pemerintahan, Jokowi, dinilai tak mampu mengintervensi peran Polri agar menjadi lebih baik dan ‘berkualitas’ untuk masyarakat. Memang Jokowi, patut bangga dengan bangkitnya peran Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam pengusutan kasus-kasus korupsi superjumbo, dan kejahatan perekonomian.

Kejagung, sebetulnya, bukan lembaga utama dalam misi penumpasan pelaku-pelaku kejahatan yang merugikan keuangan negara itu. Melainkan adalah KPK, yang dikatakan oleh Ketua KPK Nawawi Pamolango, sebagai bayi kandung reformasi 1998. Nawawi mengatakan, KPK yang disiapkan sejak 1999 dan didirikan pada 2002 semestinya menjadi lembaga penegak hukum utama untuk menyapu bersih Indonesia dari korupsi. “Lembaga ini, dapat bisa menghancurkan segalanya (kejahatan korupsi),” kata Nawawi, Kamis (12/9/2024).

Sejarah memang pernah mencatat reputasi gemilang KPK. Tetapi, sejak 2014, masa awal-awal pemerintahan Jokowi, KPK mengalami pelemahan, melalui rongrongan politik yang luar biasa dari luar. Sampai pada kriminalisasi melalui aparat penegak hukum lainnya, bahkan teror.

Publik mencatat pada 2015, tentang kriminalisasi terhadap ketua dan komisioner KPK Abraham Samad dan Bambang Widjojanto oleh Polri. Masyarakat, pun tentu segar memahami, penetapan tersangka terhadap dua pemimpin KPK ketika itu, aksi ‘balas hukum’ Polri atas penetapan Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka korupsi. BG ketika itu kandidat tunggal ajuan Presiden Jokowi untuk menjadi Kapolri 2015. Dan Polri menetapkan Samad-Bambang dengan kasus usang, terkait keterangan palsu sengketa Pilkada 2010, dan pemalsuan dokumen untuk pembuatan paspor 2007.

Pada 2017, menjadikan penyidik-penyidik independen di KPK sebagai target aksi kriminal. Paling mengerikan yang dialami oleh penyidik utama KPK Novel Baswedan. Ia kehilangan mata kirinya akibat cacat permanen lantaran disiram air keras.

Pada tahun itu juga, usaha KPK mengusut megakorupsi yang merugikan negara Rp 2,3 triliun terkait proyek KTP-Elektronik menjadikan KPK sebagai objek hak angket Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sepanjang 2014-2015 periode pertama kepemimpinan nasional Jokowi, pun mengalami stagnasi dalam indeks persepsi korupsi.

Pada 2019 di akhir-akhir masa jabatan periode pertama, sampai pada periode kedua kepresidenan Jokowi, fase pelemahan bahkan pembusukan KPK pun dimulai dari dalam. Presiden yang mengusulkan kepada DPR untuk ‘melucuti’ beberapa fungsi-peran KPK melalui beleid baru UU KPK 19/2019.

Hanya 12 hari saja UU tersebut rampung dan disahkan. Dan pada tahun itu juga, proses pemilihan para komisioner KPK oleh tim panitia seleksi (pansel) pilihan Jokowi, yang terbukti menghasilkan para ‘Avengers’ palsu dalam melawan ’Thanos’, para mafia, dan maling uang negara. Soal ‘Avengers’ palsu itu, bakal menyusul bukti peristiwanya.

Kepala Biro Hubungan Masyarakat Febri Diansyah mengangkat kartu identitas pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) usai menyampaikan pengunduran dirinya sebagai pegawai dari lembaga anti korupsi tersebut di gedung KPK, Kamis (24/9/2020). - (Antara/Muhammad Adimaja)

Karena pada 2021 pembelahan yang dilanjutkan dengan penggusuran para pegawai, dan penyidik KPK oleh para pemimpin KPK dari hasil Pansel KPK pilihan Presiden Jokowi pun terjadi. Melalui bungkus indah tes wawasan kebangsaan (TWK) sebagai syarat menjadi aparatur sipil negara (ASN) untuk melaksanakan UU KPK 19/2019, sebanyak 75 pegawai, dan penyidik KPK dinyatakan tak lolos, lalu dipecat dari KPK. Para pegawai yang dilabel tak punya wawasan kebangsaan lalu dipecat itu adalah mayoritas para penyidik-penyidik yang selama berdinas di KPK, dikenal sebagai pengungkap kasus-kasus korupsi kakap, termasuk Novel Baswedan.

Selepas itu, penilaian publik tentang KPK yang diawaki oleh para ‘Avengers’ palsu dari hasil Pansel KPK bentukan Presiden Jokowi mulai terbukti. Pada 2022 Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar mengundurkan diri. Apa sebab dia mengundurkan diri? Karena memang, terbukti tak punya integritas. Bahkan tak punya kompetensi sebagai salah-satu panglima utama dalam pemberantasan korupsi.

Lili diketahui, dan dikecam publik lantaran menerima uang akomodasi dan fasilitas senilai Rp 90 juta dari Pertamina untuk menonton balapan MotoGP Mandalika 2022. Tetapi pelanggaran etik yang dilakukan Lili itu bukan kali pertama.

Pada 2021, Dewan Pengawas (Dewas) KPK pernah menyatakan Lili melanggar etik. Lili terbukti melakukan komunikasi dengan pihak yang menjadi objek penyidikan korupsi KPK di Tanjung Balai, Sumatera Utara (Sumut). Tetapi Dewas KPK cuma menghukum Lili dengan potong gaji 40 persen selama 12 bulan.

Pada tahun itu juga, Lili dilaporkan ke Dewas KPK lantaran perihal sama berkomunikasi dengan pihak yang sedang dalam penyidikan korupsi oleh KPK di Labuhanbatu Utara, Sumut. ‘Avengers’ palsu berikutnya di KPK adalah Ketua KPK Firli Bahuri.

Kontroversi Firli Bahuri - (Infografis Republika)

Dia adalah jenderal bintang tiga dari kepolisian. Firli Bahuri ini bukan orang baru di KPK. Dia pernah bertugas di KPK pada 2018 sebagai Deputi Penindakan. Tetapi tugasnya di KPK waktu itu, pun 'cacat'.

Firli pernah dinyatakan melanggar etik karena melakukan komunikasi dengan pihak yang sedang dalam penyidikan korupsi di Nusa Tenggara Barat (NTB). Pelanggaran etik ketika itu, berujung pemulangan Firli ke Polri. Pada 2019, Firli ikut seleksi calon pemimpin (capim) KPK dari jalur Polri. Dan diloloskan oleh Tim Pansel KPK bentukan Presiden Jokowi. Lalu DPR menyetujui, dan Firli berhasil menjadi ketua KPK.

Para aktivis dan pegiat antikorupsi, sebetulnya sudah bolak-balik mengingatkan Tim Pansel KPK 2019 agar tak meloloskan Firli. Dan berkali-kali juga mengingatkan Presiden Jokowi, pun juga Komisi III DPR agar menolak nama Firli. Tetapi, memang hanya di masa pemerintahan Presiden Jokowi, ragam masukan-kritik para pegiat antikorupsi didengarkan saja.

Dan akhirnya, pada 2023, Firli menjadi tersangka korupsi. Sejak KPK berdiri 2002, baru pada masa Presiden Jokowi ini, ada komandan utama pemberantasan korupsi tetapi menjadi tersangka korupsi.

Firli terjerat kasus pemerasan, suap, dan penerimaan gratifikasi dalam pengusutan korupsi di Kementerian Pertanian (Kementan). Firli ditetapkan tersangka oleh Polda Metro Jaya atas kasus korupsi yang menyeret Mentan Syahrul Yasin Limpo sebagai tersangka di KPK.

Kasus yang menjerat Firli sebagai tersangka korupsi oleh kepolisian tersebut, saat Kapolda Metro Jaya dijabat oleh Irjen Karyoto. Karyoto ini, mantan Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK. Karyoto, bekas bawahan Firli di KPK pada 2020.

Tetapi pada 2023, Firli memulangkan Karyoto ke Polri lantaran menolak peningkatan kasus. Dugaannya ketika itu, Karyoto menolak menandatangani surat perintah penyidikan dugaan korupsi Formula E DKI Jakarta 2022. Kasus dugaan korupsi tersebut, sempat menyeret nama mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan yang saat itu, salah-satu kandidat calon presiden dalam Pilpres 2024. Namun terkait kasus korupsi Firli yang ditangani oleh Polda Metro Jaya itu, pun sudah satu tahun mangkrak.

Pihak kepolisian, hingga kini tak kunjung melakukan penahanan. Kepolisian pun tak juga tuntas merampung berkas perkaranya untuk dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) agar Firli disidangkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor).

Mangkraknya kasus Firli di kepolisian itu, pun akhirnya membawa spekulasi publik. Bahwa kasus tersebut, cuma aksi-aksi dalam simpul-simpul politik kepentingan banyak pihak, dan penguasa di sekeliling pemerintahan Presiden Jokowi. Karena Firli, sebelum dijadikan tersangka oleh Polda Metro Jaya, dan sebelum mengundurkan diri dari posisinya sebagai ketua KPK, beberapa kali menjanjikan akan melakukan penangkapan terhadap salah-satu buronan KPK yang sejak 2020 melarikan diri. Yakni Harun Masiku yang hingga kini, pun belum berhasil ditangkap.

Sebelum tumbang dari KPK, Firli sebetulnya sudah mencoba diri untuk tampil ‘keren’. Ia beberapa kali mengusut perkara-perkara korupsi besar yang menyeret beberapa menteri di kabinet Presiden Jokowi. Seperti dalam kasus korupsi Bansos Covid-19 yang menyeret Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara ke penjara. Dan juga dalam kasus korupsi ekspor benur yang menyeret Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo ke hotel prodeo.

Namun begitu, KPK tetap saja sudah bukan lagi menjadi lembaga penegak hukum yang dipercaya publik. Dalam lima tahun terakhir, setelah Presiden Jokowi menyetujui perevisian UU KPK pada 2019, dan lolosnya para ‘Avangers’ palsu ke struktur pemimpin di KPK, lembaga penegak hukum yang mulanya superbody, dan paling dipercaya itu, sudah tak lagi diandalkan publik dalam menangani kasus-kasus korupsi.

Bahkan, sejak 2019, di era kepemimpinan Firli Bahuri, KPK, di mata masyarakat sudah menjadi ‘Kantor Polisi Kuningan’. Pun dalam banyak survei, KPK ditempatkan sebagai lembaga penegak hukum dengan rating terendah.

Posisinya bergantian dengan Polri, pada angka 62 sampai 70-an persen pada tingkat kepercayaan publik. Mantan Ketua KPK Agus Rahardjo pernah mengungkapkan soal dugaan intervensi ke KPK ini. 

“Saya terus terang pada waktu kasus E-KTP, saya dipanggil sendirian oleh Presiden (Jokowi). Presiden pada waktu itu ditemani oleh Pak Pratikno (Menteri Sekretaris Negara). Jadi, saya heran, biasanya manggil (pemimpin KPK) berlima, ini kok sendirian. Dan dipanggilnya juga bukan lewat ruang wartawan. Tetapi lewat masjid kecil,” kata Agus dalam salah-satu wawancaranya di televisi. “Begitu saya masuk, presiden sudah marah. Karena baru saya masuk, beliau sudah teriak, ‘hentikan!’,” cerita Agus.

Ketua KPK 2015-2019 itu, mengaku bingung apa soal Presiden Jokowi teriak. “Setelah saya duduk, saya baru tahu, kalau yang disuruh hentikan itu, adalah kasus Setnov, Ketua DPR pada waktu itu, mempunyai kasus E-KTP,” ungkap Agus.

Tetapi Agus, tetap melanjutkan pengusutan kasus tersebut. Alasannya, karena surat perintah penyidikan (sprindik) sudah diterbitkan. Dan pada saat itu, UU KPK sebelum direvisi pada 2019, KPK tak bisa menghentikan penanganan perkara dengan penerbitan SP3. Kasus tersebut, pun berlanjut dengan menyeret Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka, dan dijebloskan ke penjara selama 15 tahun. Baru pada UU KPK 19/2019, KPK didesak untuk memiliki kewenangan menerbitkan SP3 atas satu penanganan perkara korupsi.

Sementara lembaga penegak hukum yang dalam lima tahun terakhir merangkak dan sampai saat ini dalam posisi teratas sebagai aparat penegak hukum paling dipercaya masyarakat, adalah Kejaksaan Agung (Kejagung). Banyak survei yang mengatakan kepercayaan publik terhadap Kejakgung diatas 86 persen.

Presiden Jokowi, pada periode kedua pemerintahannya pada 2019, menunjuk Jaksa Agung ST Burhanuddin yang ketika itu tak pernah dikenal publik reputasinya.  Keberhasilan Burhanuddin di Korps Adhyaksa, kredit plus patut juga diberikan kepada Presiden Jokowi.

Kejagung melalui peran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) berhasil mengusut puluhan kasus-kasus korupsi superjumbo di berbagai sektor. Mulai dari pengusutan korupsi pada sektor pembangunan proyek strategis nasional (PSN), sampai bersih-bersih Badan Usaha Milik Negara (BUMN), kementerian lainnya, juga sektor pertambangan yang nilai kerugian negaranya triliunan rupiah.

Pada 2019, Jampidsus-Kejagung membuka penyidikan korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam pengelolaan PT Asuransi Jiwasraya milik pemerintah, yang merugikan keuangan, dan perekonomian negara Rp 16,8 triliun. Kasus tersebut, ketika itu mencatatkan rekor sebagai pengusutan korupsi terbesar dalam penegakan hukum di Indonesia.

Jampidsus pun berhasil membuktikan perkara tersebut ke pengadilan. Sampai pada putusan menghukum pidana penjara seumur hidup terhadap dua terdakwa utama dalam kasus tersebut. Yakni dua pengusaha kakap, Heru Hidayat, dan Benny Tjokrosaputro.

Kedua terpidana itu, juga dihukum mengganti kerugian negara sebesar masing-masing Rp 6,8 triliun, dan Rp 10,9 triliun. Selepas kasus tersebut, pada 2021 Jampidsus, pun memecahkan rekornya sendiri. Ketika mengusut kasus serupa terkait pengelolaan uang investasi dari PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI) yang merugikan keuangan negara Rp 22,78 triliun.

Dalam kasus itu, sejumlah purnawirawan jenderal TNI, dijebloskan ke penjara. Dan lagi-lagi, nama Heru Hidayat, serta Benny Tjokro, pun dinyatakan bersalah dan dipidana dalam kasus tersebut. Para terpidana dalam kasus itu, juga dihukum mengganti kerugian negara.

Kejagung, pun tak pandang bulu dalam memenjarakan jaksanya karena terlibat korupsi. Pada 2021, Jampidsus menjadi penyidik utama dalam pengusutan kasus suap dan gratifikasi terkait penghapusan status buronan tersangka korupsi Bank Bali 2009 Djoko Tjandra.

Dalam kasus tersebut, Jaksa Pinangka Sirna Malasari dipecat. Lalu diseret ke penjara lantaran terbukti menerima uang miliaran rupiah imbal jasa makelar Peninjauan Kembali (PK) untuk Djoko Tjandra. Pada kasus Djoko Tjandra itu, juga menyeret tiga perwira Polri sebagai narapidana. Salah-satunya, Kepala Divisi Hubinter Polri Irjen Napolen Bonaparte yang dihukum enam tahun penjara lantaran terbukti menerima uang lebih dari tujuh miliar, imbalan penghapusan status red notice Djoko Tjandra.

Terdakwa kasus penerimaan suap dari Djoko Tjandra terkait pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA), Pinangki Sirna Malasari bersiap menjalani sidang putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (8/2). - (Republika/Putra M. Akbar)

Selesai dengan kasus Djoko Tjandra, pada 2022, Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) Kejagung berhasil membawa pulang tersangka korupsi yang berstatus buronan di KPK sejak 2014. Yakni Surya Darmadi alias Apeng. Namun kasus korupsi terkait pengalihan lahan hutan lindung untuk perkebunan kelapa sawit Grup Duta Palma di Indragiri Hulu, Riau itu diambil alih penanganannya oleh Jampidsus.

Penyidik Jampidsus bersama Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menebalkan angka kerugian keuangan, dan perekonomian negara setotal Rp 78 triliun. Dan terbukti, di pengadilan, Surya Darmadi diganjar hukuman 15 tahun penjara, dan mengganti kerugian negara senilai Rp 2 triliun.

Pengadilan memutuskan kerugian perekonomian negara senilai Rp 40 triliun yang dibebankan kepada Grup Duta Palma. Jampidsus melanjutkan kasus tersebut dengan menetapkan tujuh tersangka korporasi milik Surya Darmadi untuk mengejar pengganti kerugian perekonomian negara. Namun sampai saat ini, penanganan tujuh tersangka perusahaan Group Duta Palma tersebut belum tuntas.

Jampidsus juga cepat merespons keresahan masyarakat atas kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng di pasaran seluruh Indonesia pada awal 2022. Yaitu dengan mengusut adanya korupsi dalam pangkal masalah terkait pemberian izin ekspor minyak mentah kelapa sawit (CPO) di Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang melebihi ambang batas ketentuan.

Kasus yang dikenal sebagai korupsi minyak goreng itu, berujung pada pemidanaan banyak pihak. Salah-satunya adalah Dirjen Perdagangan Luar Negeri Indra Sari Wisnu Wardhana. Dan kasus tersebut, terbukti di pengadilan merugikan keuangan negara senilai Rp 6,47 triliun. Tetapi, membebankan penggantian kerugian negara tersebut kepada perusahaan-perusahaan para terpidana dari bos-bos perusahaan CPO.

Pensiunan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan menjalani sidang pemeriksaan saksi kasus korupsi di pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (29/9/2022). Majelis Hakim menghadirkan tiga saksi salah satunya Oke Nurwan sebagai saksi atas kasus suap korupsi minyak goreng. - (ANTARA/Henry Purba)

Atas putusan pengadilan itu, Jampidsus menetapkan tiga perusahaan raksasa minyak mentah produsen minyak goreng, yakni Musim Mas Group, Permata Hijau Group, dan Wilmar Group, sebagai tersangka korporasi. Tetapi status tersangka tiga korporasi tersebut, pun hingga kini masih belum diajukan ke persidangan.

Pada 2022 lalu, pun penyidik di Jampidus-Kejagung memegang kendali atas pengusutan korupsi dalam pemberian izin importasi baja, dan besi paduan di Kemendag, dan di Kementerian Perindustrian (Kemenperin) sepanjang 2016-2021. Dalam kasus tersebut versi penyidikan bersama BPKP menyebutkan angka kerugian negara mencapai Rp 24,2 triliun dengan rincian kerugian keuangan negara Rp 1,06 triliun, dan kerugian perekonomian negara Rp 22,06 triliun.

Kasus-kasus lainnya yang ditangani Jampidsus juga meliputi korups dalam pembelian mesin pesawat di PT Garuda Indonesia dengan nilai kerugian negara Rp 8,8 trilun. Korupsi pembangunan tungku pelebur baja atau tanur milik PT Krakatau Steel yang merugikan negara Rp 6,9 triliun. Korupsi pembangunan jalan Tol Japek II Elevated atau Tol MBZ yang merugikan negara Rp 1,5 triliun. Kasus korupsi Lembaga Pembiayaan Ekspor (LPEI) yang merugikan negara Rp 2,72 triliun. Dan korupsi dalam proyek pembangunan dan penyediaan infrastruktur BTS 4G BAKTI Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) yang merugikan negara Rp 8,3 triliun yang menyeret Menkominfo Johnny Gerard Plate (JGP) sebagai terpidana 15 tahun penjara.

Pada tahun berjalan saat ini, 2024, Jampidsus masih menangani perkara-perkara korupsi jumbo. Seperti kasus korupsi dalam pembelian emas PT ANTAM seberat 7 ton oleh pengusaha Surabaya, Jawa Timur (Jatim) Budi Said, yang merugikan negara Rp 1,3 triliun. Juga korupsi dalam peleburan dan cetak emas PT ANTAM sebesar 109 ton yang merugikan negara hingga Rp 1 triliun. Serta satu kasus korupsi terbesar terkait dengan pertambangan timah dilokasi Izin Usha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang merugikan negara Rp 300 triliun.

Semua kasus-kasus korupsi jumbo yang ditangani oleh Jampidsus tersebut, terbukti semua di pengadilan. Namun begitu, catatan-catatan penanganan kasus korupsi hebat oleh Jampidsus itu, masih terasa hambar. Karena, Kejagung sendiri mengakui kesulitan dalam mengeksekusi kewajiban pengembalian kerugian negara.

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir dan Jaksa Agung RI ST Burhanuddin dalam acara penyerahan pengelolaan Asset perkara Jiwasraya dan ASABRI yang menjadi barang sitaan kepada kementerian BUMN di Kantor Kejaksaan Agung RI, Senin (6/3/2023). - (Dian Fath Risalah/Republika)

Contohnya pada kasus Jiwasraya, dan ASABRI. Dua kasus korupsi fenomenal di bidang investasi tersebut, hingga kini tak diketahui berapa total pengembalian kerugian negaranya. Padahal, banyak perusahaan-perusahaan pertambangan, dan aset-aset tetap, serta aset-aset bergerak lainnya, yang disita dari para terpidana untuk pengembalian kerugian negara. Akan tetapi, gelap untuk diketahui sudah berapa pengembalian yang masuk ke kas negara.

Jampidsus, pun dalam setiap penyidikan lanjutan, terlihat masih ‘pilih-pilih tebu’ dalam melanjutkan penanganan kasus korupsi yang melibatkan pihak-pihak tertentu. Contohnya dalam penanganan kasus korupsi BTS 4G BAKTI Kemenkominfo. Kasus tersebut, sebetulnya masih menyisakan sejumlah nama yang terungkap di pengadilan punya peran sebagai mafia penanganan kasus.

Bahkan beberapa nama yang menerima uang puluhan miliar rupiah dari hasil korupsi itu, sudah pernah diperiksa, dan dihadirkan dipersidangan, lalu mengembalikan uang Rp 27 miliar. Akan tetapi, karena sosok pengembali uang tersebut masih menjabat di kabinet, Jampidsus terkesan menolak meningkatkan statusnya.

Dan dalam kasus korupsi BTS 4G BAKTI Kemenkominfo itu, ada satu nama penerima uang Rp 70 miliar yang berkali-kali terungkap di persidangan, tetapi tak pernah diperiksa karena terkait dengan anggota Komisi-1 DPR. Di kasus pertambangan timah yang merugikan negara Rp 300 triliun itu, pun Jampidsus mengalami ketakutan.

Karena adanya irisan para terlibat pada kasus tersebut yang berseragam tinggi kepolisian. Bukti adanya keterlibatan anggota Polri dalam kasus tersebut, setelah Jampidsus Febrie Adriansyah mengalami teror berupa penguntitan, dan pengancaman dari tim antiteror Densus 88. Dan dalam kasus timah dengan kerugian fantastis, tak ada satupun tersangka dari jajaran petinggi di pemerintahan pusat, provinsi, maupun di kementerian.

Sementara di Polri pemberantasan korupsi seperti jalan di tempat meski di Bareskrim Mabes Polri, memiliki divisi tindak pidana korupsi, atau Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dirtipikor). Frasa 'No Viral No Justice' juga jamak diopinikan masyarakat jika merujuk pada penanganan kasus oleh pihak kepolisian. 

Kejutan tiba-tiba dikeluarkan Presiden Joko Widodo pada akhir masa jabatannya. Mabes Polri memecah direktorat penanganan tindak pidana korupsi di luar Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) dengan pembentukan divisi baru. Melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 122/2024, divisi baru tersebut bernama Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipidkor). Salah satu unit pelaksana tugas pokok di Mabes Polri itu nantinya akan dipimpin oleh perwira tinggi (pati) Polri bintang dua atau inspektur jenderal (irjen).

Dalam perpres yang terbit pada 15 Oktober 2024 tersebut, presiden memperluas dan memperkuat kewenangan Polri dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi melalui pembentukan Kortastipidkor Polri. Selama ini, divisi penanganan korupsi ada di Direktorat Tindak Pidana Korupsi Dirtipikor) yang dipimpin oleh pati bintang satu atau brigadir jenderal (brigjen). Dirtipikor selama ini berada di dalam struktur Bareskrim Mabes Polri di bawah kepala Bareskrim Polri (kabareskrim) yang berpangkat bintang tiga atau komisaris jenderal (komjen). Akan tetapi, mengacu pada Perpres 122/2024 Kortastipikor ‘dikeluarkan’ dari struktur di Bareskrim Polri dengan otoritas tersendiri di bawah tanggung jawab kepala Polri.

Sejumlah organisasi dan pegiat antikorupsi meminta agar divisi baru tersebut menjadikan internalnya sendiri, yakni institusi Polri, sebagai objek utama dalam kiprah pertama atas keberadaan Kortastipidkor tersebut. Indonesian Corruption Watch (ICW) menilai, selama ini kiprah Polri dalam pemberantasan korupsi bernilai jeblok.

Baik dalam kuantitas penanganan kasus, apalagi dalam kualitas penanganan perkaranya. Dibandingkan dengan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejakgung), pun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kian melemah, kiprah Polri dalam pemberantasan korupsi jauh terbelakang ketimbang dua institusi penegak hukum lainnya itu.

“Kalau berkaca pada beberapa tahun ke belakang, dan sebenarnya memang sudah sangat laten terjadi, Polri selalu jauh tertinggal dari KPK maupun Kejaksaan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas perkara dalam menindak praktik korupsi,” begitu kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana kepada Republika, Jumat (18/10/2024).

Hal tersebut, menurut Kurnia, bukan karena Polri sebagai institusi penegak hukum tak memiliki instrumen sendiri dalam turut serta memerangi korupsi. Melainkan, kata dia, karena Polri pada internalnya sendiri dinilai selama ini mengalami degradasi kompetensi.

Presiden Joko Widodo (tengah) menerima anugerah medali kehormatan keamanan dan keselamatan publik Loka Praja Samrakshana dari Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo (kanan) di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Senin (14/10/2024). - (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

“Karena itu, kami mendorong agar kapolri juga melakukan upaya lainnya dalam pemberantasan korupsi, salah satunya dengan meningkatkan kompetensi penyidik-penyidiknya, agar keberadaan Kortastipidkor ini tidak terlihat hanya sekadar gimik-gimik semata,” kata Kurnia.

“Di luar itu, ICW juga mendesak kapolri agar memerintahkan Kortastipidkor yang baru dibentuk ini untuk menitikberatkan tugasnya pada pembenahan integritas internal di Polri, yaitu dengan melakukan penindakan-penindakan terhadap oknum-oknum kepolisiannya sendiri yang korup,” begitu sambung Kurnia.

Ketua IM57+ Praswad Nugraha mengatakan serupa. Praswad menilai, pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh kepolisian loyo, terlebih jika berkelindan dengan keterlibatan para anggotanya sendiri, ataupun para pensiunan jenderal-jenderalnya sendiri. “Pada konteks inilah menjadi pertanyaan mendasar, apakah Kortastipidkor ini nantinya akan betul-betul menunjukkan kinerja yang signifikan dalam pemberantasan korupsi, khususnya yang utama dalam penanganan korupsi di internal kepolisian itu sendiri,” begitu kata Praswad kepada Republika.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler