Viral Winger Vitesse Miliano Jonathans, Ini Sejarah Belanda Depok

Miliano Jonathans merupakan kerabat presiden Depok saat masih jadi negara sendiri.

Vitesse/X
Miliano Jonathans berpose saat direkrut klub Belanda Vitesse. Ia mengeklaim sebagai keturunan Depok.
Red: Fitriyan Zamzami

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Pada masanya, wilayah Depok di Jawa Barat pernah menjadi negara merdeka dengan presidennya sendiri. Siapa nyana, Miliano Jonathans, pemain sepak bola muda yang diperebutkan serikat sepak bola Indonesia (PSSI) dan timpalannya di Belanda (KNVB) adalah kerabat dari salah satu presidennya. Miliano Jonathans diketahui merupakan keturunan Belanda Depok dari garis ayahnya.

Baca Juga


“Gue asli Jalan Pemuda, Bang!” tulis pemain klub Belanda Vitesse itu di media sosial. Ia pantas jadi rebutan, pada pertandingan terakhirnya membela Vitesse, ia mencetak gol pada menit ke-88. Nama belakangnya, dan lokasi asal leluhur pemain berusia 20 tahun itu merupakan indikasi kuat bahwa setidaknya kerabat dia adalah orang penting di Depok tempo doeloe.

Alkisah pada Mei 2010, wartawan senior Republika Teguh Setiawan menugaskan sejumlah wartawan muda meliput komunitas Belanda Depok. Salah satu yang ditemui punya fam yang sama dengan Miliano. Berikut tulisan lengkapnya: 

Lelaki tua itu keluar dari rumahnya yang bergaya Belanda abad ke-18. Meski badannya terlihat renta, ia masih amat gagah. Tak sedikit pun ia membutuhkan tongkat untuk berjalan.

Dengan senyum dari wajahnya, ia duduk di kursi teras rumahnya. Penampilannya amat biasa. Saat itu, ia hanya mengenakan baju putih, celana hitam, serta sandal jepit. Tak terlihat kalau dulunya ia merupakan anak presiden.

Ia dipanggil Opa Yuti. Nama aslinya Cornelis Yoseph Jonathans. Terlahir sebagai putra dari presiden terakhir Depok, Johannes Matheis Jonathans. Tahun ini (2010), Opa begitu ia dipanggil, genap berumur 87 tahun. Presiden pertama Depok, juga datang dari fam itu, yakni MF Gerit Jonathans.

Presiden pertama dari Kaoem Depok, MF Gerit Jonathans. - (Dok Republika/Amri Amrullah)
 

Meski sedikit bermasalah pada pendengaran, ingatannya masih amat kuat tentang komunitasnya yang kerap dikenal sebagai Belanda Depok. Menurutnya, meski kerap dipanggil Belanda, tak ada seorang pun di komunitasnya yang asli dari Belanda.

"Kami orang Indonesia asli," tegasnya. 

Opa Yuti memulai ceritanya. Menurutnya, komunitasnya berasal dari 150 budak yang dibeli oleh seorang menir Belanda bernama Cornelis Chastelein di tahun 1600-an. Mereka terdiri atas beberapa warga Indonesia Timur mulai dari Makasar, Bali, dan Surabaya.

Khusus untuk budak yang memilih mengikuti ajaran Nasrani Chastelein, memberikan mereka marga. Beberapa marga dibuat berdasarkan kelompok-kelompok asal budak. Namun, ada beberapa yang lain yang tak sesuai asal daerah.

Setelah Chastelein meninggal pada tahun 1714, menir Belanda inipun membebaskan semua budaknya dan memberikan seluruh tanah partikelir kepada para budak. Mereka pun mendirikan pemerintahan dengan presiden sebagai kepala pemerintahnya.

"Ayah Opa memimpin depok hingga 1954," kata warga Jl Pemuda itu. Meski tak ingat persis presiden Depok yang ke berapa, ia mengatakan ayahnya dipilih perwakilan dari tiap marga untuk menjadi presiden yang disebut Gelijkgestelden.

Ia mengatakan, setelah masuk ke Indonesia di tahun terakhir ayahnya memimpin, resmilah komunitasnya disebut sebagai Belanda Depok. Meski rupa mereka tetap asli Indonesia.

Dari Data Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC) memperlihatkan Belanda Depok kini tersebar di Depok Lama dan Pancoran Mas. Mereka banyak bertempat tinggal di beberapa wilayah seperti Jalan Kartini, Jalan Pemuda, Jalan Bungur, Jalan Kamboja, Jalan Siliwangi, Jalan Cempaka, Jalan Flamboyan, Jalan Dahlia, Jalan Jambu, Jalan Kencana, dan sebagian Margonda.

Salah satu foto Sinyo dan Noni marga Jonathans. - (Dok Republika/Amri Amrullah) 
 

Mereka terdiri atas 11 marga yakni Laurensa, Tholense, Soedira, Joseph, Jacob, Leander, Jonathans, Bacas, Loen, Isakh, dan Samuel.

Dari data 2008, total Belanda Depok tinggal 1.650 jiwa seperti Loen 379 orang, Leander 328 orang, Soedira 218 orang, dan Bakas 198 orang. Selain itu, Jonathans 190 orang, Laurens 108 orang, Isach 85 orang, Samuel 80 orang, Toelens 31, dan Jacob 12 orang. Namun, data ini hanya memuat Belanda Depok yang berumur 17 tahun ke atas.

Menurut Boy Loen, sekretaris Yayasan LLC, selain ke-11 marga tersebut, ada satu marga lain, yakni Zadoch. Namun, kata dosen sebuah universitas swasta di Jakarta itu, marga ini punah karena tak memiliki anak lelaki.

"Marga ini lenyap tahun 1970-an. Kini, pihaknya tengah berupaya mencari anak perempuan terakhir dari keluarga Zadoch," ujarnya.

Kabar terakhir menyebutkan anak perempuan Zadoch berada di Jerman. Yayasan LLC akan berupaya menemuinya, dengan harapan suaminya mau menggunakan marga Zadoch. Kami ingin fam ini kembali,'' ujar Boy.

Boy mengatakan, tak ada upaya pemurnian ras. Menurutnya, Belanda Depok boleh menikah dengan siapa saja, tak harus dari marga yang sama ataupun sesama Belanda Depok. Kini, untuk mengetahui jumlah keseluruhan, setiap tahunnya Yayasan LCC membuat kartu anggota untuk mendata para Belanda Depok."Dalam kartu itu terdapat nama KK serta jumlah anggota keluarganya," jelasnya.

Gemeente Bestuur Depok, kantor pemerintahan Depok yang kini menjadi Rumah Sakit Harapan di Jl. Pemuda, Depok. Tugu itu dibangun pada 28 Juni 1814, bertepatan dengan peringatan 100 tahun kematian Cornelis Chastelein. - (Dok Keluarga Presiden Depok.)

Menurut Boy, pendataan menjadi penting karena berguna untuk memungut iuran agar organisasi yang menaungi warga tua Depok ini terus berjalan. Kondisi Belanda Depok kini, sama seperti orang Indonesia kebanyakan. Mereka beraktivitas mulai dari bekerja sebagai wiraswasta, pekerja kantoran, PNS, hingga TNI, dan wakil rakyat.

Semua komunitas akan berkumpul di hari besar agama. Selain itu, mereka pun akan bertemu dan membuat acara setiap 17 Agustus dan hari ultah Belanda Depok tiap 28 Juni, tepat pada hari kematian Chastelein. Anggota komunitas itu rata-rata tak suka dipanggil Belanda Depok. Mereka ingin tak dibedakan dari warga Indonesia lainnya. Dalam partisipasi politik pun, mereka tak mau terfragmentasi.

"Kebanyakan dari kami mengarah ke nasionalis," ujar Boy. "Kami tak ingin memilih partai berideologi agama". Menurutnya, NKRI merupakan negara multikultural. "Jika selalu melihat ke belakang dan memperdebatkan perbedaan, bangsa kita tak akan maju."

"Kita akan mundur ke belakang," lanjutnya. Hanya satu keinginan warga Belanda Depok pada pemerintah, terutama pemerintah Kota Depok, yaitu lestarikan bangunan tua peninggalan leluhur mereka. Bangunan itu adalah saksi sejarah.Yulia Jonathans Lender, Belanda Depok lain, mengatakan, kebanyakan rumah tua yang ada di Depok sudah rata dengan tanah dan berganti dengan bangunan modern. Ia menuturkan masalah ekonomi kerap membuat warga di komunitasnya terpaksa menjual rumah tua milik mereka.

"Saya ingin ini tetap ada," ujarnya. "Saya ingin anak cucu saya masih bisa melihat garis sejarah keberadaan kami di sini." Dalam wasiatnya, Cornelis Chastelein memberi warisan 57 rumah kepada mereka. Namun kini, berdasar data Yayasan LCC, yang ada hanya sekitar 10 persen saja. Bangunan tersebut di antaranya terdapat di Jalan Pemuda, yang sekarang berbentuk SMA Kasih, SDN Pancoran Mas, dan RS Harapan. Yayasan LCC mengatakan, tiap tahunnya sudah meminta pemerintah dan DPRD untuk memberikan perhatian. Namun sayangnya, keinginan mereka tak kunjung diperhatikan.

Jatuh bangun negeri mantan budak... 

Maka hoetan jang laen jang disabelah timoer soengei Karoekoet sampai pada soengei besar, anakkoe Anthony Chasteleyn tijada boleh ganggoe sebab hoetan itoe misti tinggal akan goenanya boedak-boedak itoe mardaheka, dan djoega mareka itoe dan toeroen-temoeroennja ....

Kalimat di atas adalah cuplikan surat wasit Cornelis Chastelein, pemilik tanah partikelir Depok. Empat bulan setelah menulis surat itu, tepatnya 28 Juni 1714, Chastelain meninggal dunia. Tanah-tanah Depok, yang mencakup wilayah Depok saat ini, sedikit wilayah Jakarta Selatan, plus Ratujaya, Bojong Gede, Kabupaten Bogor, jatuh ke tangan 12 keluarga budak yang telah dimerdekakan (mardijker). Sejarah Belanda Depok dimulai.

Namun, tak keliru jika sejenak menoleh ke belakang, atau ke masa awal kedatangan Cornelis Chastelein. Meneer Belanda itu berlayar ke Batavia pada 24 Januari 1674, dengan kapal 't Huis te Cleff, dan tiba di Jakarta 16 Agustus 1674.Pada 18 Mei 1691, Chastelein membeli sebidang tanah, yang saat ini mencakup Depok, Mampang, dan Karang Anyar, seharga 700 ringgit dari seorang tuan tanah Cina; Tio Tiong Ko. Tanah ini dibeli dengan hak eigendom.

Dalam Burgerrecht art. 570 disebutkan hak eigendom adalah hak untuk dengan leluasa menikmati kegunaan suatu benda (tanah) itu dengan kekuasaan yang sepenuhnya. Tanah itu juga bernama tanah partikelir, yang memiliki sifat dan corak istimewa, memiliki hak yang bersifat kenegaraan, yang disebut landheerlijke rechten atau hak-hak pertuanan.Ketika tanah harus diolah, Chastelein mendatangkan 150 budak dari  Bali, Borneo (Kalimantan), Makassar, Maluku, Ternate, Kei, Pulau Rote, Batavia, karena warga Depok Asal penduduk yang telah ada di tanah itu jauh sebelumnya tidak mungkin diandalkan.

Para budak diajarkan agama Kristen dan dibaptis. Ia juga mendirikan gereja pertama yang disebut De Eerste Protestansts Onderdant Kerk, disingkat Depok, yang artinya Gereja Rakyat Protestan Pertama. Namun, laporan ekspedisi Sungai Ciliwung 1703, 1704, dan 1709, Abraham van Riebeeck inspektur jenderal VOC menyebutkan, ''Kami melalui benteng, Tujililitan, West Tandjong, dan Seringsing, dan Depok.'' Artinya, nama Depok telah ada sebelum gereja pertama berdiri.

Setelah surat wasiat diberlakukan, para budak merdeka menggarap tanahnya dan hanya menyerahkan sepersepuluh hasil panen kepada Keluarga Chastelein. Warga Depok Asal menyerahkan seperlima. Warga Depok Asal dicoba dikristenkan, tapi gagal. Chastelein tidak sekadar menulis surat wasiat. Ia menjadi orang pertama yang membebaskan para budak. Bahkan, ia melakukannya 60 tahun sebelum perbudakan dilarang di muka bumi.

Sejarah mencatat, tatanan organisasi Gemeente Bestuur Depok mulai disusun tahun 1871 oleh seorang advocaat dari Batavia, Mr MH Klein. Ia menulis konsep reglement pembentukan organisasi dan pimpinan desa serta pengaturannya yang bercorak republik. Pada 28 Januari 1886 disusunlah Reglement Van Het Land Depok. Di tahun 1891 diadakan revisi kecil, dan pada 14 Januari 1913 reglement tersebut kembali direvisi untuk memenuhi keadaan.

tugu Cornelis Chastelein, Depok - (Tangkapan layar)
 

Reglement tersebut ditandatangani oleh G Jonathans sebagai Presiden dan MF Jonathans sebagai Sekretaris. Jabatan yang diatur dalam reglement; seorang presiden, seorang sekretaris, seorang bendahara, dan dua orang gecomitteerden.Selama masa penjajahan Belanda, warga Depok hidup mewah berkat tanah sedemikian luas. Di masa Jepang, Depok tak sempat tersentuh sepatu lars Nippon.

Di masa kemerdekaan, warga Belanda Depok mencapai tahap paling menyedihkan. Mereka menjadi sasaran kebencian warga Depok Asal. Mereka dirampok dan dibunuh. Ketika tentara sekutu datang, mereka diungsikan pasukan Gurkha ke Bandung, dan kembali setelah Indonesia merdeka.

Tahun 1952, tiga tahun setelah pemberlakuan UU Agraria yang menghapus tanah-tanah partikelir, Belanda Depok menyerahkan seluruh tanahnya kepada pemerintah. Presiden Soekarno memberi ganti rugi Rp 229.261,26, dan masih boleh menggarap sedikit tanah dan memiliki gedung-gedung. Pemerintahan Belanda Depok berakhir.

Sejarah jalan pemuda…

Unggahan Miliano Jonathans soal asalnya dari Jalan Pemuda di Depok Lama, Depok, Jawa Barat, juga menggemparkan jagat maya Tanah Air. Lokasi itu ternyata punya sejarah panjang.

Menurut wartawan Republika Alwi Shahab (semoga Allah merahmatinya), dalam tulisannya pada 2012, usia Kota Depok bukan muda lagi. Ia bisa ditelusuri sejak meninggalnya tuan tanah Cornelis Chastelein pada 28 Juni 1714, alias sudah lebih  tiga abad. Cornelis Chastelein adalah anggota Dewan Hindia Belanda. Dia meninggal di gedung yang kini menjadi Rumah Sakit Harapan di Jalan Pemuda, Depok Lama. Di sini pula, dia dimakamkan.

Chastelein adalah putra Anthonie Chastelein, warga Prancis yang juga seorang Huguenot, julukan untuk pengikut Yohanes Calvin yang bersama Martin Luther membangkang terhadap gereja Roma Katolik. Karena di Prancis para Huguenot dikejar dan dibantai, Anthonie Chastelein melarikan diri ke Belanda.

Pada usia 17 tahun, Anthonie memerintahkan Cornelis ke Hindia Belanda dengan pesan menyampaikan ajaran Protestan. Di Batavia, berkat ketekunannya Cornelis menjadi anggota Heeren XVII, jabatan cukup tinggi di VOC. Seperti juga pejabat tinggi VOC lainnya, dia membeli banyak tanah di sekitar Batavia.

Di samping memiliki kekayaan dan tanah bejibun di Lenteng Agung hingga Depok, ia juga memiliki tanah di sekitar Istana Merdeka dan Masjid Istiqlal sekarang ini. Dia termasuk orang pertama yang mengembangkan perkebunan kopi di Weltevreden (sekitar Gambir dan Lapangan Banteng).

Postingan instagram Miliano Jonathans soal asalnya dari Jalan Pemuda, Depok. - (instagram)

Di Depok, Cornelis membeli tanah dari Lucas Meur (residen Cirebon) pada 18 Mei 1696. Di Srengseng, dia juga membangun tempat peristirahatan yang kini tidak diketahui lagi jejaknya. Seperti juga para tuan tanah ketika itu, dia menyewakan sebagian tanahnya dan sebagian lagi dijadikan tanah pertanian.

Untuk menggarap lahannya yang luas itu, dia mendatangkan para budak belian dari Bali dengan membeli mereka dari raja Bali untuk membuka pertanian. Di samping dari Bali, Chastelein juga mendatangkan budak dari Timor dan Sulawesi. Jumlah budak yang didatangkan dari ketiga daerah tersebut sekitar 200 orang.

Sebagai penganut Protestan yang saleh dan puritan, dia merasa terpanggil untuk mengembangkan agama tersebut. Pada 1696-1713, lebih dari 120 orang dari sekitar 150 budak yang diajari etika agama Kristen Protestan mau menerima sakramen pembaptisan.

Pembaptisan dilakukan di Gereja Imanuel di Jalan Pemuda, Depok Lama. Gereja ini didirikan Chastelein pada 1700. Kemudian, dia mengelompokkan ke-120 budak yang telah dibebaskan menjadi 12 kelompok. 

Gereja Imanuel di Jalan Pemuda, Depok Lama. - (Republika/Edwin Dwi Putranto)

Masing-masing kelompok diberi fam alias marga. Diantaranya Jonathans, Laurens, Bacas, Loen, Sudira, Isakh, Samuel, Leander, Joseph, Tholense, Jacob, dan Zadokh. Bisa dilihat, Miliano merupakan keturunan dari fam Jonathans.

Tanah yang dibeli Chastelein di Depok, Mampang, dan Karanganyar dihadiahkan kepada para budaknya ini. Jumlah yang dibebaskan berkisar 150 orang, namun mereka diharuskan memeluk agama Kristen Protestan. Tidak hanya mendapatkan tanah, para budak yang telah dibebaskan ini mendapatkan 300 ekor sapi, seperangkat gamelan, serta berbagi senjata untuk membela diri. Tanah menjadi milik bersama dan tidak seorang pun berhak menjual bagiannya kecuali kepada orang Depok yang lain.

Keputusan untuk membebaskan para budaknya itu diabadikan dalam sebuah testamen. Mereka disebut kaum mardijkers. Istilah ini berasal bahasa Sanskerta: mahardika yang artinya bebas merdeka. Pada 28 Juni 1714, Chastelein meninggal dunia. Tanggal tersebut kemudian dijadikan sebagai patokan terbentuknya Jemaat Kristen Pribumi.

Untuk menghargai jasa-jasanya, Ketua Majelis Gereja Imanuel C De Graaf membuat batu peringatan bagi Chastelein yang dianggap sebagai de Stichter van Depok. Sekarang batu peringatan tersebut dapat dilihat di Gereja Imanuel, Jalan Pemuda, Depok Lama.

Menengok sejarah itu, pantas bahwa Miliano Jonathans mengeklaim sebagai anak Jalan Pemuda. Karena di jalan tersebutlah pusat sejarah Belanda Depok, komunitas yang merupakan leluhurnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler