Israel Larang UNRWA, Bagaimana Dampaknya?
UNRWA jadi tulang punggung pengungsi Palestina di Gaza dan Tepi Barat.
REPUBLIKA.CO.ID, GAZA – Parlemen Israel alias Knesset baru saja menggolkan undang-undang pelarangan operasional badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA) melalui rapat pada Senin malam. Bagaimana nantinya dampak pelarangan tersebut?
UNRWA adalah badan pengungsi utama bagi warga Palestina dan beroperasi di Timur Tengah. Awalnya didirikan pada tahun 1948 untuk mendukung 700.000 warga Palestina yang terusir dari kampung halaman mereka oleh tentara Zionis. Selama berpuluh tahun, UNRWA menyediakan layanan pendidikan, layanan kesehatan, bantuan dan layanan sosial, infrastruktur kamp serta menjalankan tempat penampungan selama periode konflik.
Operasinya tersebar di Tepi Barat yang diduduki, Yerusalem Timur, dan Jalur Gaza. UNRWA juga mengurusi pengungsi Palestina di Suriah, Lebanon, dan Yordania.
UNRWA sebagian besar didanai oleh kontribusi sukarela dari negara-negara anggota PBB, dan juga menerima sejumlah dana langsung dari PBB. Dengan mempekerjakan 30.000 warga Palestina, organisasi ini melayani hampir 6 juta pengungsi, termasuk di Gaza di mana 1.476.706 warga Palestina terdaftar sebagai pengungsi di delapan kamp pengungsian. Sementara di Tepi Barat 800.000 terdaftar sebagai pengungsi.
Selama agresi brutal Israel di Gaza saat ini, hampir seluruh penduduk Gaza bergantung pada UNRWA untuk kebutuhan dasar, termasuk makanan, air dan perlengkapan kebersihan. Lebih dari 200 staf Unrwa gugur akibat serangan Israel selama perang yang berlangsung selama setahun tersebut.
Pada Senin, 92 anggota parlemen Israel menyetujui tindakan yang melarang kegiatan UNRWA di Israel, sementara hanya 10 orang yang memilih menentang tindakan tersebut. RUU kedua memutuskan hubungan diplomatik dengan badan tersebut.
Israel telah lama mengeluhkan, UNRWA sudah ketinggalan zaman dan menuding bahwa dukungannya yang terus menerus terhadap keturunan Palestina yang awalnya mengungsi pada tahun 1948 merupakan hambatan bagi penyelesaian perdamaian.
Faktanya, adalah tindakan Israel seperti keengganannya menerima secara penuh dasar negara Palestina, dan melanjutkan aktivitas pemukiman ilegal di tanah yang diperuntukkan bagi negara Palestina – merupakan hambatan paling signifikan bagi perdamaian. Selama agresi ke Gaza, Israel juga berulang kali mengklaim bahwa Unrwa telah mempekerjakan militan dari Hamas.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, di masa lalu telah meminta AS – sekutu utama Israel dan donor terbesar bagi badan tersebut – untuk mengurangi dukungannya, dengan mengatakan bahwa badan tersebut “disusupi oleh Hamas”.
Tamara Alrifai, direktur hubungan eksternal dan komunikasi di UNRWA, mengatakan jika undang-undang Knesset diterapkan, kemungkinan besar undang-undang tersebut akan menghalangi UNRWA untuk bekerja di bagian mana pun di wilayah pendudukan Palestina.
“Artinya, kemungkinan besar staf internasional tidak lagi memiliki visa untuk pergi ke Israel atau wilayah pendudukan Palestina,” katanya dilansir Aljazirah. “Tidak ada izin kerja yang akan diberikan kepada rekan-rekan Palestina kami dan tidak ada kemungkinan untuk melewati pos pemeriksaan Israel,” tambah Alrifai.
Dia juga mengatakan undang-undang tersebut akan mencegah truk UNRWA, konvoi dan pasokan kemanusiaan menyeberang ke wilayah pendudukan Palestina, termasuk Gaza, selama bencana kemanusiaan terus berlanjut. Dia menekankan tidak ada koordinasi mengenai keselamatan operasi UNRWA yang dapat dilakukan dengan pemerintah Israel, dan menambahkan bahwa kantor badan tersebut akan diambil alih.
Sekolah UNRWA diserang...
Meskipun sebagian besar kegiatan UNRWA berlangsung di Tepi Barat dan Gaza, kegiatannya sangat bergantung pada perjanjian dengan Israel, termasuk akses ke penyeberangan perbatasan ke Gaza termasuk untuk bantuan kemanusiaan. Undang-undang tersebut tidak mencakup ketentuan mengenai organisasi alternatif untuk mengawasi pekerjaannya.
Ketika agresi Israel di Gaza dimulai, UNRWA mengubah sekolahnya menjadi tempat penampungan darurat bagi keluarga yang terpaksa meninggalkan rumah mereka. Sejumlah besar orang mencari keselamatan di bawah bendera PBB. Lorong sekolah, ruang kelas, dan lingkungan sekolah penuh sesak.
Banyak yang tidur di lantai, dan jumlah kamar mandi serta pancuran sama sekali tidak mencukupi. Lanjut usia tidur di tangga, para ibu mencoba menempatkan bayi mereka yang baru lahir di ruang kelas, dan anak-anak yang kehilangan anggota badan mencoba mencari jalan melalui tempat penampungan sementara yang tak ada habisnya.
Namun, tempat-tempat berlindung itu juga tak luput dari serangan mematikan Israel. Selama perang, hampir 70 persen sekolah Agency terkena dampaknya, bahkan beberapa kali diserang berulang. Ada yang rata, banyak juga yang rusak parah. 95 persen dari sekolah-sekolah ini digunakan sebagai tempat penampungan bagi para pengungsi, di antaranya banyak anak-anak, ketika mereka terkena serangan.
Pada bulan Juli 2024 saja, tercatat 21 serangan terhadap sekolah-sekolah yang berfungsi sebagai tempat penampungan di seluruh Jalur Gaza. Akibatnya, lebih dari 270 orang syahid dan puluhan lainnya luka-luka. Di antara korban adalah perempuan dan anak-anak, orang tua dan warga sipil lainnya.