Viral Razia RM Padang Karena Terlalu Murah, Ini Komentar Chef Spesialis Kuliner Minang
Menurut Dian, tindakan ini, apapun alasannya dapat mengundang stigma negatif.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beredar video di media sosial yang menunjukkan aksi sweeping di rumah makan padang, yang dinarasikan sebagai larangan berjualan makanan khas minang bagi orang non-Minang. Aksi itu diketahui dilakukan Perkumpulan Rumah Makan Padang Cirebon (PRMPC). Kejadian tersebut pun sudah diamankan oleh Polresta Cirebon.
Chef spesialis kuliner Minangkabau, Uda Dian Anugrah memberikan komentarnya terkait peristiwa itu.
"Tindakan Razia ini sebenarnya menurut hemat saya merupakan bentuk kontraproduktif atas sebuah persaingan bisnis. Tindakan merazia ataupun menegur siapapun yang berjualan tanpa kapasitas yang cukup hanya akan mendatangkan konflik horizontal yang tidak diperlukan bagi anak keturunan Minangkabau dimanapun berada," ujar Dian melalui keterangan tertulis kepada Republika, Rabu (30/10/2024).
Menurut Dian, tindakan ini, apapun alasannya dapat mengundang stigma negatif dari banyak pihak kepada perantau Minang di manapun berada. Apalagi di zaman digital dengan arus berita yang sangat cepat, mudah sekali mengundang salah paham dan sangat berpotensi dipelintir.
Dian mengatakan, kondisi pandemi yang menekan perekonomian membuat sejumlah pihak berinovasi menjual makanan dengan tema yang populer. "Masakan Padang", sebagai masakan jutaan umat dengan rasa yang mudah diterima oleh berbagai pihak, suku bangsa, ras dan agama pun menjadi salah satu yang ramai digeluti.
Rasanya yang gurih dan penyajiannya yang cepat menjadi jawaban paduan rasa yang baik dan penyajian yang tak lama. Tak perlu berlama lama hanya sekejap sampailah pesanan di depan mata, harga bervariasi dan rasa juga berbeda-beda.
"Lahirlah RM Padang Murah, memang benar-benar murah dan tidak hanya menyebar di seluruh Indonesia. Di ranah Minang sendiri banyak juga orang Minang berjualan murah meriah, Rp 10 ribu hingga Rp 16 ribu masih termasuk murah. Sementara rumah makan sedang dan besar menjual di harga Rp 18 ribu hingga Rp 25 ribu, ada harga ada rupa pastinya," ujarnya.
Dian menilai, peristiwa razia rumah makan Padang ini berhasil dipelintir beberapa pihak sebagai sebuah razia terhadap orang non-Minang dilarang berjualan Nasi Padang. Meski begitu, dia menyampaikan berdasaran pemberitaan yang ada, razia yang dilakukan lebih karena faktor harga terlalu murah yang menyebabkan hancurnya RM Padang lainnya yang menjual di atas harga itu.
"Semisal harga Rp 8 ribu di saat yang lain tak mampu menjual di harga semurah itu, akhirnya terjadi konflik karena kondisi pasar juga tak baik baik saja akhir-akhir ini," ujarnya.
Ada Harga Ada Kualitas
Dian menekankan, dalam hukum ekonomi, harga yang murah akan mengurangi banyak fitur dalam sebuah layanan bisnis. Sementara, harga yang semakin tinggi tentu harapan konsumen juga akan semakin besar akan sebuah layanan, kualitas dan rasa dari sebuah produk. Nasi Padang menjelma dalam banyak lapisan pangsa pasar bahkan di ranah minang sendiri.
"Di ranah minang ada banyak suku bangsa menjual masakan Padang walau tidak melabeli diri sebagai RM Padang sebagaimana yang jamak terjadi di luar ranah minang. RM Bahagia di Padang yang masakannya juga lezat dimiliki oleh saudara Tionghoa Padang, di dapurnya tentu ada orang Padang juga yang berkerja saling bahu membahu menyajikan sajian terbaik," ujarnya.
Ada juga RM Pagi Sore Padang di daerah Pondok kota Padang dimiliki oleh Alm Bapak H Benny Pusaka seorang Tionghoa Padang yang mempunyai istri orang Minang yakni Ibu Rostina yang mana usaha ini dilanjutkan oleh istri dan anak anak beliau hingga saat ini. RM Pagi Sore Padang terkenal dengan ayam goreng panas nan legendaris. Harga bervariasi mulai dari Rp 20 ribu-Rp 35 ribu dan tidak bermain di pangsa pasar "Padang Murah".
Di level nasional, ada Ko Marco seorang Tionghoa Kota Padang dengan nama Marco Padang, mengusung tema Padang Peranakan dengan pangsa pasar menengah ke atas. Aman dan tentram puluhan tahun berjualan nasi padang bahkan di ranah minang dan rantau sekalipun. Hal ini sekaligus membantah opini beberapa pihak bahwa ada larangan orang yang bukan bersukukan Minang dilarang berjualan RM Padang.
"Kembali kita membahas Padang Murah, genre Padang Murah ini di Kota Padang sendiri tersebar biasanya di daerah yang dihuni oleh mahasiswa. Ukuran lauk yang berbeda pastinya dengan RM Padang besar, rasa juga berbeda dan tak bisa juga disama-samakan. Masing-masing tangan beda rasa, beda cara olahnya, namun karena dijual murah pastinya mereka akan sangat efisien dalam menggunakan bumbu, agar ada untung yang baik dalam berdagang," ungkapnya.
Otokritik Bagi Pedagang Nasi Padang
Menurut Dian, kejadian razia RM Padang ini juga harus diambil menjadi bagian otokritik ke dalam pedagang nasi padang yang dari Minang itu sendiri. Dia mencontohkan, apabila menggunakan konsep masakan padang dengan harga jual murah tentu akan mengorbankan cita rasa. Meski menempelkan label sebagai asli Padang pun bisa jadi tak akan sama rasanya dengan cita rasa masakan yang dibuat leluhur Minang.
"Sebagai contoh memasak rendang, lazimnya menggunakan kelapa tua 4-5 butir per 1 kg daging, dimasak lama bisa lebih dari 5 jam dan dimasak tanpa menumis karena minyak dari kelapa sudah pasti banyak. Apa iya dengan jualan harga murah akan mampu memakai standar yang baik dalam melahirkan masakan Padang yang baik dan nikmat seperti yang biasa dimasak amak amak, inyiak inyiak rang minang lamo," ujarnya.
"Pertanyaan ini kita renungkan jawabannya sama-sama, sehingga akhirnya kita sendiri bisa menyadari "razia" ini tak berguna, walau dengan alasan "Padang Murah" karena orang minang sendiri banyak yang berjualan murah meriah walau akhirnya banyak yang almarhum rumah makannya, tapi mereka ada dan yang sukses juga ada," tegas Dian.
Lisensi RM Padang yang akan dan sudah dilakukan oleh Ikatan Ikatan Keluarga Minangkabau juga bukan hal sederhana, mungkin bisa menjadi penanda bahwa benar ini dimiliki anggota keluarga Komunitas Minang, tentunya harapan orang bahwa ketika stiker lisensi ini dipampang, rasa dan kualitas masakan benar-benar mereka nanti tentunya mereka berharap lebih lezat dan nikmat, jangan sampai malu pada lisensi. Ketika orang makan ternyata rasanya tak jauh berbeda daripada rumah makan yang berlabel Padang Murah. Sungguh sebuah Otokritik mendalam pada diri para pedagang itu sendiri di manapun berada.
Tak mudah memberikan sebuah standarisasi masakan Padang yang baik dan benar ataupun authentik, namun jalan menuju standardisasi yang baik itu perlu dititi. Banyak orang minang, minang karena keturunan. Tapi belum tentu mengusung nilai adat budaya Minangkabau sejati. Belum tentu juga banyak belajar kepada orang tua tua lama tentang cara memasak Masakan Padang yang baik.
Sebagai contoh ada satu masakan Padang yakni Ikan Cuko, dari 20 orang Padang belum tentu ada satu yang bisa memasaknya dengan baik dan benar. Ada banyak khazanah masakan padang yang luar biasa dan saya pun masih belajar hingga hari ini.
Air beriak tanda tak dalam, riak-riak Razia itu hanyalah sebuah tanda bahwa masih banyak hal yang harus dipelajari oleh Perkumpulan RM Padang Rantau yang mengusung harga di bawah Rp 20 ribu. Tak hanya soal rasa, tapi juga soal manajemen bisnis dan juga efisiensi bahan. Tak cukup pandai masak saja untuk berjualan Nasi Padang baik murah maupun mahal pastinya, ada banyak fitur dalam mengusung sebuah usaha. Kadang perlu waktu untuk belajar dan memahaminya, di sisi ini Lisensi sebenarnya adalah upaya yang baik untuk upgrade RM Padang agar mengusung rasa yang baik, belajar manajemen bisnis yang baik dimotori oleh Ikatan Ikatan Keluarga Minang, agar anak kemenakan yang berada di rantau bisa sukses hendaknya membawa nama harum orang minang dimanapun berada.
"Akhir kata, bagi para perantau pahami baik-baik bahwa kita membawa nama baik leluhur. Sikap dan tindakan haruslah berhati-hati dan pandai-pandai membawa diri. Jangan lupakan arti sebuah pepatah berikut ini, Rantau Sakti Lautan Bertuah," pungkas Dian.