Buruh & Pengusaha Masih Berseberangan Soal Penetapan UMP Jateng 2025
Rumus penghitungan UMP 2025 nantinya menyertakan kebutuhan hidup layak.
REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Organisasi serikat pekerja dan kelompok pengusaha di Jawa Tengah (Jateng) masih sama-sama menunggu regulasi pemerintah untuk penetapan upah minimum provinsi (UMP) 2025. Hal itu menyusul keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian uji materi atas Undang-Undang (UU) Cipta Kerja (Ciptaker).
Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) Jateng, Heru Budi Utoyo, mengungkapkan, dalam uji materi UU Ciptaker di MK, tersingkap bahwa terdapat beberapa aturan atau regulasi yang tak bisa dijalankan. "Salah satunya adalah terkait dengan pengupahan atau PP (Peraturan Pemerintah No.) 51/2023," kata Heru ketika dihubungi Republika, Kamis (7/11/2024).
Dia menambahkan, dalam putusannya, MK memang tidak secara eksplisit menyebutkan PP No.51/2023. "Tapi dengan beberapa pasal yang telah dicabut, tentunya PP 51 sudah tidak berlaku lagi. Apalagi dari DPR sudah memaknai sama dengan pihak pekerja atau buruh, bahwa PP 51 sudah tidak berlaku lagi," ucapnya.
Heru menjelaskan, karena PP No.51/2023 tentang Perubahan Atas PP Nomor 35 Tahun 2021 tentang Pengupahan tak berlaku lagi, maka untuk penentuan UMP 2025, dibutuhkan Peraturan Menteri Ketenagerjaan (Permenaker) sebagai rujukan. Dia berharap, rumus penghitungan UMP 2025 nantinya menyertakan kebutuhan hidup layak (KHL).
Heru mengungkapkan, rumus penghitungan UMP dalam PP No.51/2023 tidak menyertakan KHL, tapi indeks tertentu. "Indeks tertentu itu dari inflasi dan pertumbuhan ekonomi kemudian dikalikan indeks tertentu 0,1 sampai 0,3. Jadi berapa pun besarnya inflasi dan pertumbuhan ekonomi, kalau dikalikan 0,1 sampai yang tertinggi adalah 0,3, maka nilainya akan turun. Itu yang jadi persoalaan," ucapnya.
Dia mengatakan, fungsi dewan pengupahan daerah harus dikembalikan untuk melakukan survei KHL. Heru mengungkapkan, terdapat beberapa indikator yang disurvei dalam KHL, meliputi kebutuhan sandang, pangan, papan, hingga jaminan sosial.
Menurut Heru, survei KHL terkahir kali dilakukan pada 2015. "Kemudian pasca 2015 sampai dengan sekarang tidak ada lagi survei. Maka jelas sekali itu kami menganggap tidak relevan. Karena survei yang dilakukan tahun 2015 kemudian dipakai untuk upah di tahun 2024," ucapnya.
Heru mengatakan, untuk UMP 2025, KSPN Jateng dan serikat pekerja lainnya menuntut kenaikan sebesar 15 persen. "Jadi 15 (persen) itu berdasarkan survei dalam kebutuhan hidup layak, ditambah inflasi dan pertumbuhan ekonomi, maka angkanya berkisar 15 persen," ujar Heru.
Sementara itu Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Jateng, Frans Kongi, mengungkapkan, pihaknya juga tengah menunggu Permenaker untuk memformulasikan UMP 2025 di Jateng. Namun dia berharap, Permenaker terbaru nantinya tetap mengandung semangat PP No.51/2023.
"Di dalam kondisi sekarang ini, kan kita semua tahu banyak perusahaan yang tidak baik-baik saja. Kita tetap berpegang pada PP (No.) 51," kata Frans kepada Republika.
Dia mengungkapkan, pascadikabulkannya sebagian gugatan uji materi UU Ciptaker oleh MK, pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan, perlu menerbitkan peraturan baru untuk perumusan UMP. "Harapan kita sekali lagi dalam peraturan baru ini sesuai dengan jiwa PP (No.) 51. Karena menurut pengalaman kita di dalam kehidupan berbisnis sehari-hari, itu paling baik," ucapnya.
Frans menilai, jika peraturan terkait penetapan UMP diubah-ubah, hal itu bisa menimbulkan ketidakpercayaan pada investor. "Kalau kita ubah-ubah peraturan, siapa yang percaya? Kalau begini terus celaka kita. Industri kita yang sekarang juga kalang kabut," kata Frans.
"Saya yakin pemerintah cukup tahu kondisi keadaan sekarang, saya harap pemerintah jiwanya itu tetap PP 51," tambah Frans.
Pada 31 Oktober 2024, MK mengabulkan sebagian uji materi UU Ciptaker. Uji materi tersebut diajukan Partai Buruh dan enam pemohon lainnya. Terdapat beberapa pasal terkait pengupahan yang diterima uji materinya.
"Menyatakan frasa 'indeks tertentu' dalam Pasal 88D ayat 2 dalam Pasal 81 angka 28 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'Indeks tertentu merupakan variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja/buruh'," demikian bunyi putusan MK.
MK pun menyatakan Pasal 88 ayat 1 dalam Pasal 81 angka 27 UU 6/2023 yang berbunyi "Setiap pekerja/buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Sepanjang tidak dimaknai “termasuk penghasilan yang memenuhi penghidupan yang merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi dan jaminan hari tua”.
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, telah menyampaikan penetapan UMP 2025 tidak menggunakan PP No.51/2023. "Intinya sesuai dengan keputusan MK bahwa kami dari DPR menyatakan memang PP 51 itu sudah tidak berlaku," kata Dasco usai beraudiensi dengan Ketua Partai Buruh Said Iqbal bersama Menteri Hukum Supratman Andi Agtas dan Menteri Ketenagakerjaan Yassierli di kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (6/11/2024).
Untuk menyikapi putusan MK soal UU Ciptaker, kata Dasco, legislator bersama pemerintah dan buruh akan mengkaji dan membahasnya bersama-sama. Termasuk, soal pengupahan dan indeks upah buruh ke depan.
Namun, dia menilai pembahasan pasca putusan MK itu masih memerlukan waktu dan tidak terburu-buru. "Sebab soal upah bukan sesuatu yang mudah untuk dibahas," ucap Dasco.