Bukan Naikkan Tarif PPN 12 Persen, Ekonom Usul Lebih Baik Pungut Ekspor Tambang
Pemerintah disarankan untuk menunda rencana kenaikan tarif PPN.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listyanto mengusulkan pungutan ekspor di sektor pertambangan sebagai alternatif dari rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen.
"Untuk penerimaan negara, optimalisasi pungutan ekspor tambang mungkin bisa jadi opsi lebih baik dibandingkan PPN naik," kata Eko saat dihubungi di Jakarta, Rabu (20/11/2024).
Dia melihat kebutuhan anggaran yang besar untuk melaksanakan program prioritas tahun depan menjadi faktor yang mendorong pemerintah tetap melanjutkan kebijakan PPN 12 persen.
Namun, dia menyebut kondisi perekonomian saat ini tengah melambat, sehingga pemerintah disarankan untuk menunda rencana kenaikan tarif PPN.
“Seharusnya menunda (kenaikan tarif PPN), menaikkannya saat ekonomi telah meningkat,” ujar dia.
Sebelumnya, Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu mencatat kinerja penerimaan dari sektor pertambangan belum pulih sepenuhnya. Realisasi setoran pajak sektor pertambangan tercatat sebesar Rp 85,79 triliun untuk periode Januari hingga Oktober 2024, terkontraksi 41,4 persen dibandingkan realisasi pada periode yang sama tahun lalu.
Meski begitu, dinamisasi angsuran pajak penghasilan (PPh) badan dari subsektor pertambangan bijih logam yang diproyeksikan mengalami peningkatan profit dari tahun lalu disebut dapat menjadi penopang setoran sektor pertambangan.
Penurunan restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) dalam negeri dan peningkatan intensifikasi pajak tahun lalu pun juga mendukung kinerja sektor ini.
Sementara dari sisi penerimaan negara bukan pajak (PNBP), kelompok sumber daya alam (SDA) nonmigas masih mencatatkan kontraksi, sebesar 16,6 persen secara tahunan, akibat moderasi harga batu bara, sehingga royalti batu bara berkurang 24,9 persen.
Terkait rencana kenaikan tarif PPN, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 bakal tetap dijalankan sesuai mandat Undang-Undang (UU).
Dia mengatakan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) harus dijaga kesehatannya dan pada saat yang sama, juga mampu berfungsi merespons berbagai krisis.