Langkanya Guru Mengaji Alquran Braille
Indonesia idealnya butuh dua juta pengajar Alquran Braille.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tahun 2013 menjadi momentum tak terlupakan bagi Saifullah. Pada usianya yang ke-47, penglihatannya mulai hilang secara bertahap hingga mengalami kebutaan total.
Kehidupannya yang penuh semangat pun berubah drastis. Saifullah tak bisa lagi melihat wajah istri dan ketiga anaknya.Ia juga tak bisa lagi membaca Alquran seperti biasanya. Sejak saat itu, ia hanya mampu membaca beberapa ayat Alquran yang masih tertanam diingatannya.
Meskipun mengalami keterbatasan pengelihatan, pria yang akrab dipanggil Saiful ini tak mau menyerah. Di tengah keputusasaan untuk menerima kenyataan, Saiful masih tetap ingin belajar membaca Alquran.
Sayangnya, keinginan Saiful sulit terwujud. Warga Jatinegara, Jakarta Timur ini tak bisa menemukan guru mengaji yang bisa mengajarkan huruf Alquran Braille berbentuk timbul sehingga bisa dibaca dengan cara diraba. “Saya tinggal di daerah Prumpung, tapi di sana tidak ada ustadz yang bisa mengajar Alquran Braille, sangat langka," ujar Saiful saat berbincang dengan Republika di Jakarta, Senin (25/11/2024).
Awalnya, Saiful juga mengaku kebingunan untuk belajar membaca Alquran Braille. Hingga suatu waktu, ia mengantar anaknya untuk belajar mengaji di pesantren.
Ia pun dipertemukan dengan seorang ustadz. Meski ustadz tersebut juga tidak memiliki kemampuan membaca Alquran Braille, Saiful diajak untuk mengikuti sebuah perkumpulan yang mempelajari Alquran untuk disabilitas netra tersebut.
Disana, dia bertemu dengan Yogi Madsuni yang juga merupakan ketua umum Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI). Yogi dikenal kerap membantu disabilitas netra untuk mendapatkan haknya dalam membaca.
Pada Senin (25/11/2024) lalu, Republika bersilaturahim ke kantor ITMI di Jl Kampung Melayu Besar, Jakarta Timur. Tak jauh dari Stasiun Tebet, rumah yang berfungsi sebagai kantor tersebut dijadikan pusat pelatihan Alquran Braille.
Setelah menekan bel beberapa kali, datanglah seorang pria membukakan pintu dan mempersilahkan masuk. Beberapa menit kemudian, dari arah tangga tampak seorang pria mengenakan batik turun dari tangga sembari meraba-raba. Dialah Yogi Madsuni.
Dengan ramah, Yogi menyapa dan mengucap salam. Lalu, ia langsung mengajak kami naik ke lantai dua untuk berkenalkan dengan beberapa teman disabilitas netra, termasuk seorang guru mengaji Alquran Braille asal Magelang, Ustadz Muhammad Amin (48 tahun). Di sana juga tampak Saiful sedang duduk bersama Ustadz Amin.
Ustadz Amin sendiri telah mengalami keterbatasan penglihatan sejak kecil. Saat lahir penglihatannya sempat normal.
Namun, setelah sakit saat berusia empat tahun, matanya tidak dapat diobati lagi hingga mengalami kebutaan total. "Setelah jadi disabilitas netra mengobati sudah tidak bisa karena syaraf retinanya sudah putus," ujar dia.
Kendati demikian, ia tetap berkomitmen untuk menempuh pendidikan SD, SMP dan SMA. Setelah lulus, ia lalu belajar di Yayasan Kesejahteraan Tuna Netra Islam Yogyakarta hingga bisa membaca Alquran Braille dengan lancar. Bahkan, kini ia bisa mengajarkan membaca Alquran Braille kepada Muslim lainnya yang memiliki keterbatasan penglihatan.
Ustadz Amin kini mengajar Alquran Braille di dua masjid yang ada di Jakarta Timur, yaitu Masjid Umar bin Khattab di Jatimegara dan Masjid Jami' Abu Bakar Ash-Shiddiq Otista Jakarta. Ia membina teman-temannya yang belum bisa sama sekali membaca Alquran Braille maupun yang belum lancar.
"Saya ajarin terus dari tahun 2019 sampai sekarang dan Alhamdulillah di antara temen-temen yang tadinya belum bisa sama sekali udah mulai bisa dan tadinya yang masih terbata-bata juga Alhamdulillah sekarang udah mulai lancar," ucap dia.
Dalam mengajar Alquran Braille di dua masjid itu, ia juga mengaku menjumpai kesulitan. Pasalnya, ada muridnya yang telah menjadi disabilitas netra sejak kecil dan ada murid yang menjadi disabilitas netra setelah dewasa.
"Untuk mengajarkan disabilitas netra yang udah dewasa itu lebih sulit karena dia memang sudah bisa membaca Alquran biasa. Setelah sekarang pindah ke Alquran Braille, itu kan harus kepekaan untuk meraba. Jadi kalau sudah dewasa untuk meraba itu sudah kurang peka," kata dia.
Ustadz Amin mengungkapkan, untuk mengajarkan cara membaca Alquran Braille, memang butuh ketelatenan dan kesabaran. Karena itu, dalam sehari Ustadz Amin hanya mampu mengajari empat orang disabilitas netra. Dia harus mengajari mereka satu per satu secara bergantian.
Di kantor ITMI ini, Ustadz Amin juga sempat mengajarkan Saiful tentang cara membaca Alquran Braille. Sembari memegang tangan Saiful, Ustadz Amin menunjukkan cara membaca Alquran Braile dengan sabar.
Dengan penuh semangat, Saiful pun menyimak dan meraba simbol titik Alquran Braille mengikuti tangan Ustadz Amin. Semangat keduanya dalam mempelajari dan mengajarkan Alquran Braille pun mendapatkan apresiasi dari Ustadz Yogi dengan mengutip sebuah hadits Nabi:
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ اْلقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
Artinya: "Sebaik-baik orang di antara kamu adalah orang yang belajar Alquran dan mengajarkannya." (HR Bukhari).
Yogi mengakui bahwa guru yang mampu mengajarkan Alquran Braille memang masih sangat sedikit di Indonesia. "Terkait dengan pengajaran itu memang kita masih sangat sedikit. Sehingga memang kita sekarang itu memerlukan tenaga-tenaga pengajar," ujar dia.
Menurut dia, tenaga pengajar Alquran Braille itu tentu tidak akan muncul kalau tidak diikhtiarkan. Sebagai bentuk ikhtiar untuk mendukung pengajaran Alquran Braille itu, ITMI bersama Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an (LPMQ) Kementerian Agama pun telah merumuskan modul pembelajaran Alquran Braille.
"Nah, modul pembelajaran ini ada dari tingkat dasar sampai tingkat mahir. Ada Iqro'na dan lain sebagainya itu," ucap Yogi.
Selain itu, menurut dia, ITMI juga menggelar training of trainer (ToT) di berbagai daerah untuk melahirkan para pengajar Alquran Braille untuk disabilitas netra. Dia mengungkapkan, di Jakarta Timur saja guru ngaji Alquran Braille masih bisa dihitung dengan jari.
"Tadi mungkin ada Ustadz Amin, kemudian ada ustadz-ustadz lainnya, tidak lebih dari 10 orang dari satu wilayah. Itu masih di daerah Jakarta apalagi di daerah yang lainnya," kata dia.
Dia mencontohkan, di daerah Bogor, jumlah disabilitas netra ada sekitar 500 orang. Banyak sekali yang belum bisa membaca Alquran Braille sementara gurunya masih amat sedikit. "Belum lagi yang daerah-daerah lainnya. Apalagi kalau kita sudah bicara di Pulau Jawa, karena kami (ITMI) sudah ada di 27 provinsi dan di 167 kabupaten-kota," jelas dia.
Dia mengungkapkan, salah satu yang membuat langkanya guru Alquran Braille di Indonesia adalah belum banyaknya buku panduan mengajar Alquran Braille. Menurut dia, Braille itu memang berbeda dengan huruf abjad atau huruf hijaiyah.
Yogi mengungkapkan, untuk di Pulau Jawa saja, setidaknya ada seribu hingga dua ribu mushaf Alquran Braille. "Jadi selama ini lebih banyak pengadaan Alqurannya daripada trainingnya atau pembinaannya. Padahal ini sangat penting. Nah, kami ITMI mengharapkan adanya pembinaan-pembinaan terus," ucap dia.
Untuk mengatasi langkanya guru ngaji Alquran Braille, menurut dia, pemerintah cukup berperan dalam melaksanakan Undang-Undang nomor 8 Tahun 2016, khususnya di pasal 14 tentang hak-hak para penyandang disabilitas untuk memperoleh bahan bacaan agama. Menurut dia, LPMQ Kemenag juga telah berkali-kali melibatkan ITMI sejak 2020 sampai 2022 dalam membuat modul dan lain sebagainya.
Namun, dia juga berharap Direktorat Pendidikan Islam Kemenag dan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) tidak hanya mendorong, tapi juga terlibat bersama-sama. Misalnya, pengajaran Alquran Braille itu dimasukkan ke dalam kurikulum di Sekolah Luar Biasa (SLB), SD, SMP, dan SMA.
"Ini kan saya rasa belum masuk dalam kurikulum, sehingga masih sangat langka," kata Yogi.
Lalu, kata dia, di Pendidikan Khusus (PKH) atau Pendidikan Luar Biasa (PLB) di perguruan tinggi juga perlu diberi mata kuliah khusus Alquran Braille. Dengan demikian, semakin banyak guru yang bisa mengajarkan Alquran di kalangan disabilitas netra ke depan.
"Kita mengharapkan dalam mata kuliah pendidikan khusus ini Alquran Braile atau Arab Braille itu ya minimal satu SKS lah ya untuk masuk dalam jenjang pendidikan itu," jelas dia.
Dalam mengajarkan Alquran Braille, menurut dia, idealnya satu guru itu bisa mengajarkan satu sampai dua orang murid. Namun, menurut dia, karena langkanya guru, sekarang ini satu guru mengajar hingga sepuluh murid.
"Kenapa harus idealnya seperti itu? Karena mengajarkan Alquran Braille kita rabain satu-satu, terutama pemula. Jadi ini tidak seperti orang-orang yang awas mengajarkan tinggal dilihat. Ini tidak. Kita harus satu per satu," ujar Ustadz Yogi.
Mengutip data statistik pemerintah dari populasi penduduk Indonesia, Yogi mengatakan, jumlah disabilitas netra di Indonesia saat ini berjumlah sekitar empat jutaan. Sedangkan tunanetra yang Muslim, menurut Yogi berkisar sekitar dua jutaan.
"Kalau idealnya, kalau itu mungkin sekitar dari dua juta itu ya rata-ratanya butuh satu juta pengajar," jelas dia.