Modernisasi China di Antara Kereta Cepat dan Pembangunan Infrastruktur
Infrastruktur di Guiyang contoh paripurna betapa China sudah bersiap jadi negara maju
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra*
Kereta Cepat yang membawa rombongan tiba di Guiyang Railway Station, Provinsi Guizhou. Butuh waktu sekitar tiga jam perjalanan naik Kereta Cepat dari Changsha South Railway Station, Provinsi Hunan. Padahal, jarak Guiyang dan Changsa hampir sama dengan Jakarta ke Surabaya.
Namun, karena kereta melaju cepat dengan hanya berhenti sekitar tiga atau empat kali di stasiun besar maka perjalanan jauh menjadi tidak berasa sama sekali. Sepanjang perjalanan, kereta banyak melalui terowongan yang membelah bukit dan gunung. Ditambah tidak ada getaran sama sekali membuat perjalanan terasa nyaman sekali dengan pemandangan perdesaan di China.
Penulis sangat kagum ketika menginjakkan kaki di Stasiun Changsa. Stasiunnya sangat besar dan megah. Perasaan itu terulang lagi ketika sampai di Stasiun Guiyang. Stasiunnya terbilang besar. Bahkan, lebih besar daripada Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta.
Padahal, Changsa adalah kota terpadat nomor 17 di China dengan jumlah lebih 10 juta penduduk. Apalagi Guiyang, yang hanya dihuni sekitar enam juta jiwa. Namun, stasiun kereta cepat yang dibangun memang ukurannya sungguh luar biasa. Kereta Cepat memang sudah menjadi tulang punggung transportasi warga China daratan untuk bepergian ke segala penjuru negeri.
Tidak heran, penulis mencatat, jumlah peron bisa mencapai 20 jalur. Sepertinya layanan Kereta Cepat menjangkau berbagai wilayah di China. Padahal, dua stasiun tersebut tidak berlokasi dalam daftar 10 kota berpenduduk terpadat di China. Bayangkan saja, bagaimana besarnya Stasiun Beijing, Shanghai, Guangzhou, atau Shenzhen?
Ketakjuban tidak berhenti ketika bus yang membawa rombongan keluar dari Stasiun Guiyang. Penulis merasa agak terkejut lantaran lembah dengan kabut agak tebal menjadi pemandangan indah pada sore menjelang petang hari. Tidak heran, penulis sempat merasa heran mengapa menjelang sampai di Stasiun Guiyang, Kereta Cepat baru saja menembus terowongan.
Ternyata, Guiyang yang merupakan ibu kota Provinsi Guizhou, berlokasi di dataran tinggi. Bus pun melalui jalan raya melingkar dan berkelok di wilayah pegunungan. Jalanan terlihat seperti bertingkat dengan banyak cabang. Sudah pasti dibutuhkan dana besar untuk membangun infrastruktur dengan tingkat kesulitan tinggi seperti itu. Nyatanya, pemerintah China membuat jalan raya yang bisa menyambungkan bukit menuju bukit dan menjadikan lembah sebagai jalan penghubung untuk memudahkan mobilitas masyarakat.
Infrastruktur di Guiyang adalah contoh paripurna betapa China memang sudah bersiap diri menjadi negara maju. Jika dulu hanya menyandang status sebagai negara besar dengan penduduk terbanyak, China dengan segala infrastruktur jalan dan jalur kereta, plus bandara, berpotensi melaju cepat menjadi negara dengan sarana transportasi sangat memadai dan mendukung mobilitas dari segala penjuru.
Setelah melalui terowongan, penulis disambut bangunan seperti apartemen yang berdiri kokoh di samping kanan dan kiri bukit. Tentu saja, pepohonan tetap berdiri di sekitarnya. Semakin menuju ke pusat kota, banyak bangunan pencakar langit yang baru berdiri. Terlihat bangunan baru dalam hitungan tahun karena memang catnya masih terlihat basah.
Jika selama tiga hari di Changsa penulis merasakan suhu yang agak hangat maka di Guiyang udara dingan terasa menusuk ke tubuh. Tidak heran, bibir para rombongan mengalami masalah kulit kering hingga mengelupas, karena perbedaan suhu ekstrem. Penulis juga sempat merasakan kesakitan dengan bibir pecat-pecah. Kondisi semakin parah ketika sampai di Beijing, karena udara ternyata lebih dingin lagi. Pada malam hari sempat menyentuh empat derajat Celcius.
Jika di Changsa kami diajak mengunjungi Pulau Oranye untuk melihat patung wajah Mao Zedong berukuran besar maka di Guiyang kami diajak mengunjungi Geely Automobile. Pabrikan Geely sanggup memproduksi 360 ribu mobil per September 2024. Secara kapasitas, pabrikan memproduksi 43 unit mobil per menit.
Penulis dan rombongan dari sejumlah negara diajak berkeliling pabrik, mulai awal pembuatan rangka mobil hingga sampai produksi akhir. Mobil pun setelah melalui serangkaian tes dibawa keluar dari ruang produksi untuk siap dijual. Penulis sempat bertanya kepada salah satu pegawai Geely, mobil jenis SUV dengan bahan bakar dijual sekitar Rp 200-an juta.
Tentu saja, mobil produksi Geely ketika diekspor, harganya akan naik. Di pabrikan tersebut, penulis juga sempat masuk ke dalam mobil listrik jenis sedan. Desainnya futuristik sehingga sangat wajar bisa diterima pasar China. Kabarnya, Geely akan memasuki pasar Indonesia pada 2025.
Lokasi kunjungan berikutnya adalah Balinhe Bridge di Kota Anshun, Provinsi Guizhou. Jembatan ini menyandang status sebagai salah satu jembatan tertinggi di dunia. Jembatan gantung yang menyambungkan bukit satu ke bukit lainnya ini didesain seperti jembatan gantung dengan aliran Sungai Balinhe di bawahnya. Jembatan ini memiliki rentang suspensi sepanjang 1.088 meter dan panjang total jembatan 2.237 meter, dengan ketinggian 370 meter di atas sungai.
Penulis sempat menyusuri struktur jembatan di bagian bawah, yang ternyata menyediakan restoran dan kafe dengan pemandangan alam yang indah. Hanya saja, jika seseorang takut dengan ketinggian maka dpastikan bakal ngeri melewati jalan inspeksi yang berada di bawah beton dan di antara rangkaian struktur baja yang membentuk jembatan.
Rombongan juga diajak melihat Air Terjun Huangguoshu di Kota Anshun, Provinsi Guizhou. Butuh waktu sekitar dua jam melalui tol dari Guiyang untuk mencapai lokasi salah satu air terjun terbesar di China ini. Satu hal yang pasti, pengelola sangat profesional dalam mengemas wisata alam.
Tidak heran, pengunjung bisa memilih opsi jalur umum atau VIP untuk bisa menuju Air Terjun Huangguoshu. Jika memang jalur VIP, tentu saja tiket yang dijual lebih mahal. Namun, mereka bisa memilih pintu masuk tanpa antrean dan pengunjung mendapatkan fasilitas snack, air minum, tempat istirahat, dan toilet.
Ketika memasuki area wisata, penulis mendapati jalanan menuju air terjun dibuat sedatar mungkin. Alhasil, banyak wisatawan dari golongan lansia yang tetap bisa nyaman berjalan-jalan.
Setelah itu, pengunjung harus melewati eskalator cukup panjang dua kali. Penulis mencatat waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke bagian dasar eskalator sekitar 4 menit 30 detik. Setelah itu, pengunjung sampai di titik samping sungai. Tidak jauh dari situ, Air Terjun Huangguoshu sudah terlihat dengan pemandangan indah sekali.
Sangat terasa sekali, pengelola ingin menjadikan lokas air terjun ramah bagi semua kalangan. Baik anak-anak, ibu hamil, lansia bisa dengan mudah menjangkau lokasi air terjun. Berbeda sekali jika kita ingin menuju lokasi air terjun di Indonesia, yang pengelolanya hanya menarik tiket di pintu masuk tanpa memikirkan infrastruktur penunjang menuju lokasi.
Bahkan, tidak jarang jalan becek dan licin yang membuat pengunjung terpeleset terjadi di Indonesia. Hal itu terjadi karena pengelola belum memikirkan cara untuk mengemas dan menjual wisata air terjun agar bisa diakses semua orang. Di China, hal-hal seperti itu sudah dipikirkan dan dieksekusi. Alhasil, meski pada hari kerja, jumlah pengunjung sangat ramai.
Beijing...
Perjalanan penulis berakhir di Beijing, dengan mengunjungi Kota Terlarang dan Tembok Besar China. Di Kota Terlarang, penulis dan rombongan menyusuri berbagai bangunan bersejarah warisan Dinasti Ming hingga Dinasti Qing. Kota Terlarang dulunya merupakan kediaman kaisar dan ratu, plus selir dan anggota kekaisaran lainnya dihuni pada 1420-1924.
Penulis mendapati banyak patung naga berdiri di beberapa sudut bangunan. Naga memang identik dengan mitos binatang bagi rakyat China. Karena luasnya wilayah Kota Terlarang, rombongan hanya sekitar empat jam menjelajahi sejarah istana yang masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia UNESCO ini.
Setelah itu, rombongan bergeser menuju Tembok Besar China. Penulis tidak tahu persis lokasi gerbang masuk menuju tembok bebatuan yang memiliki panjang 21.196,18 kilometer ini. Hanya saja, penulis merasa takjub melihat betapa penguasa yang memiliki ide untuk membangun benteng di pegunungan bisa merealisasikannya.
Penulis dan sejumlah rekan mencoba naik Tembok Besar China hingga mencapai salah satu titik tertinggi. Di bangunan yang mirip pos jaga tersebut diubah menjadi toko merchandise. Pengunjung bisa membeli suvenir semacam medali emas bertuliskan 'Saya Sudah Memanjat Tembok Besar China'. Suvenir mirip medali bagi pelari maraton yang bisa menyentuh garis finis dijual 10 yuan.
Untuk bisa mendaki dari pintu masuk salah satu titik tertinggi, penulis membutuhkan waktu hampir sejam dengan istirahat tiga kali. Tidak mudah memang karena tangga batu yang disusun memiliki kemiringan agak curam.
Yang mengejutkan, warga setempat ternyata tiba-tiba banyak meminta foto dengan Ana, seorang kader muda salah satu partai di Timor Timur. Sepertinya, karena kulit cokelat dan rambut disemir membuat Ana menjadi rebutan sejumlah pengunjung untuk diajak berfoto bersama. Ana pun senyam-senyum ketika penulis berteriak beberapa kali "she is actress. she is actress from East Timor."
Uniknya, banyak sekali kakek nenek dengan santai menaiki Tembok Besar China. Meski dengan napas terengah-engah, mereka seperti tidak kesulitan untuk bisa mendaki salah satu dari Tujuh Keajaiban Dunia tersebut. Penulis juga mendapati, meski mereka tergolong tua, namun sepertinya tidak cukup kesulitan untuk menuju ke titik tertinggi di Tembok Besar China.
Fakta itu menyadarkan bahwa sepertinya warga China menjadikan jalan kaki sebagai kebiasaan setiap hari. Buktinya, selama 10 hari di China, penulis kesulitan untuk menemukan warga dengan bodi gendut atau obesitas. Rata-rata warga China memiliki tubuh proporsial. Bahkan untuk ukuran kakek dan nenek, mereka terasa biasa saja mendaki Tembok Besar China.
Begitulah sekilas cerita perjalanan penulis selama 10 hari di China. Mendapat undangan dari International Departement Chinese Communist Party (CCP), penulis mendapatkan pengalaman berharga bisa berkenalan dengan rekan dari Timor Leste, Malaysia, Filipina, Bangladesh, Nepal, Maladewa, dan Afghanistan. Uniknya, hanya penulis sendiri yang berstatus sebagai jurnalis. Total ada 25 delegasi dan lima dari Indonesia.
Empat delegasi dari Indonesia terdiri dua kader muda Gerindra dan lainnya kader muda Golkar. Sebenarnya, delegasi dari Afganistan juga berstatus sebagai pemilik media. Namun, ia memiliki kedekatan dengan mantan presiden Afghanistan Hamid Karzai. Adapun delegasi lain malah ada yang berstatus anggota DPR, seperti dari Maladewa dan Bangladesh.
Penulis pun sudah mengunggah sejumlah foto kunjungan di China di akun media sosial Republika.co.id. Selain sebagai memori, juga untuk mempublikasikan hal menarik untuk dibagikan kepada pembaca di Indonesia tentang kemajuan China. Berkunjung ke Kota Changsa, Guiyang, Anshun, dan Beijing, menjadi pengalaman tidak terlupakan bagi penulis.
Semoga penulis mendapatkan kesempatan lagi diundang berkunjung ke China suatu hari nanti. Pun, hubungan antara Indonesia dan China bisa semakin erat dan saling menguntungkan ke depannya...
*Wartawan Republika