Kolonial Prancis, Alawi, dan Tumbangnya Rezim Assad

Konflik di Suriah punya akar pada kekuasaan kolonial Prancis.

AP Photo/Ghaith Alsayed
Pejuang oposisi Suriah memegang peluncur roket di depan kantor pemerintah provinsi setelah pengambilalihan Hama, Suriah, Jumat, 6 Desember oleh oposisi. 2024.
Red: Fitriyan Zamzami

REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS – Setelah berkuasa selama lebih dari setengah abad, rezim al-Assad akhirnya ditumbangkan para pemberontak yang tergabung dari berbagai elemen di Suriah. Perkembangan ini jadi klimaks terkini dari krisis dan perang sipil di Suriah yang sudah menahun. Namun apa yang menyebabkan Suriah bergolak belakangan?

Baca Juga


Di Timur Tengah, jika ada perang dan ramai-ramai, biasanya ada akar yang mengular sampai masa kolonialisme. Yang terjadi di Suriah belakangan bukan pengecualian.

Rezim Assad yang dimulai dari Hafez, ayah Bashar Assad diketahui adalah bagian dari kelompok Alawi di Suriah. Mereka kelompok minoritas sebenarnya, hanya sekitar 12 persen dari total populasi Suriah. 

Penguasaan minoritas itu, merujuk lembaga think tank kawakan Jason Institute for Peace and Security Studies, bermula dari kekalahan Turki Utsmaniyah pada Perang Dunia I. Menyusul kekalahan itu, sejumlah negara Eropa membagi untuk mereka kuasai wilayah Timur Tengah yang sebelumnya dikuasai Uthmaniyah.

Di antara pembagian itu, Inggris memeroleh mandat di Palestina, hal yang akan memunculkan penjajahan berkepanjangan negara Zionis terhadap warga Palestina. Sementara Prancis mendapat mandat di Lebanon dan Suriah yang mulai mereka jalankan pada 1920.

Saat itu, sudah mulai muncul nasionalisme Arab yang menghendaki negara mereka sendiri. Mengetahui hal ini, Prancis menjalankan taktik adu domba. Pada 1921, mereka membentuk Troupes Spéciales du Levant alias Pasukan Khusus di Timur Dekat.

Pasukan Khusus Prancis di Suriah yang terdiri dari minoritas termasuk kelompok Alawi pada 1920-an - (Wikimedia Common)

Mengingat ancaman terbesar atas penjajahan Prancis kala itu datang dari mayoritas Arab-Sunni, pasukan khusus itu banyak merekrut kelompok minoritas, utamanya dari kalangan Druze dan Alawi. 

Alawi adalah nama yang disematkan Prancis untuk sekte sempalan Islam pengikut Ibn Nushair al-Numairi yang sebelumnya disebut Nushairiyah. Sekte ini disebut punya teologi yang berbeda dengan arus utama Islam, baik Sunni maupun Syiah.

Karena lama mendapat tekanan dari kekuasaan Islam, Alawi dinilai Prancis mudah dirayu bergabung dalam pasukan mereka. Benar saja, banyak kalangan Alawi bergabung dengan militer Prancis. Ketegangan sektarian semakin berkembang dengan pembentukan Troupes Spéciales du Levant, mengingat militer yang didominasi minoritas seringkali menekan gerakan Sunni.

Ini berbeda dengan kelompok elit Sunni yang menolak menyekolahkan anak-anak mereka ke militer dengan dalih bahwa hal tersebut sama saja mendukung penjajah. Pada akhirnya, ini membuat kaum Alawi memiliki keuntungan dari segi militer dan pendidikan. 

Pada 1955, misalnya, bahkan sembilan tahun setelah Suriah merdeka dari Prancis, 65 persen militer Suriah diisi kalangan Alawi. Statistik ini kemudian membuat banyak juga posisi perwira akhirnya berasal dari golongan tersebut. Selain direkrut, kelompok Alawi juga mendapat keistimewaan lainnya. Mereka diberi wilayah otonomi di kampung halaman mereka di Latakia. 

Pasukan Khusus Prancis di Suriah yang terdiri dari minoritas termasuk kelompok Alawi pada 1920-an - (Wikimedia Common)

Di antara para tokoh Alawi di Latakia, ada seorang bernama Ali Suleyman al-Assad. Julukan Assad yang berarti “singa” itu bermula dari perlawanannya terhadap Turki Utsmaniyah sebelum datangnya penjajah Prancis. Ali Suleyman kemudian mendekat ke Prancis dan sempat mendapat posisi jabatan publik.

Ali Suleyman memiliki seorang putra bernama Hafez. Ia bersama elite Alawi lainnya berhasil memegang kendali signifikan atas militer dan Partai Ba’ath yang berhaluan sosialis pada dekade 1950-an. Pengaruh itu digunakan Hafez menjalankan sejumlah kudeta yang akhirnya berhasil pada 1970. Ia kemudian dilantik menjadi perdana menteri Suriah.

Dalam kudeta itu, Hafez menyingkirkan saingannya Salah Jadid. Ia kemudian mengembangkan kultus kepribadian di sekelilingnya. Monumen didirikan, demikian juga gambar, patung, simbol dan baliho dari tersebar luas di masyarakat Suriah. 

Hafez pada mulanya merangkul kelompok Sunni untuk mengisi sejumlah jabatan. Ia juga menekankan sekularisme Partai Ba’ath serta mencoba membelokkan sekte itu lebih dekat ke Islam arus utama. Namun, ia juga disebut menggunakan cara-cara yang dingin untuk membungkam oposisi terhadapnya.

Saat ia kemudian meninggal pada 2000, tampuk kepemimpinan presiden diserahkan ke anaknya Bashar al-Assad. Bashar mulanya diharapkan bisa membawa Suriah ke arah yang lebih baik. Ia disebut lebih kalem ketimbang ayahnya dan berhasil membawa sejumlah perubahan di Suriah.

Seorang pejuang oposisi menginjak patung mendiang Presiden Suriah Hafez Assad di Damaskus, Suriah, Minggu 8 Desember 2024. - (AP Photo/Hussein Malla)

Kendati demikian, Musim Semi Arabia bergulir pada 2011, dan tindakan represif rezim Assad muncul kembali. Sentimen adu domba yang ditanamkan Prancis pada masa kolonial juga kembali mencuat. Ditambah campur tangan negara-negara asing yang menjadikan Suriah proksi mereka, perang sipil kemudian meledak dan memporak-porandakan Suriah. Hingga akhirnya pada Ahad kemarin pasukan perlawanan berhasil memasuki Damaskus dan menggulingkan Bashar al-Assad.

Pada akhirnya, revolusi di Suriah adalah kulminasi dari keinginan panjang yang sudah merentang sejak masa kolonialisme soal kemerdekaan dan kehidupan layak bagi warga Suriah. Pengamat politik regional dari Universitas Amerika di Beirut Rami G Khouri menuliskan di Aljazirah bahwa sekarang saatnya rakyat Suriah berperan. “Kita harus dengan rendah hati menyaksikan mereka membawa tatanan baru dan stabil ke negara mereka dan menghentikan kekonyolan Barat dalam menganalisis apa arti janggut panjang atau teori konspirasi yang ada.”

Menurutnya, yang terjadi di Suriah adalah juga pelajaran pahit soal Timur Tengah. “Suriah di bawah pemerintahan al-Assad bukanlah sebuah hal yang unik dan juga bukan hasil karya segelintir tangan besi setempat. Sebaliknya, ini adalah sebuah contoh dari warisan kekuasaan negara Arab yang kejam dan telah menghancurkan wilayah tersebut dan merendahkan rakyatnya selama setengah abad, dengan bantuan negara-negara besar dan regional serta berbagai kelompok nonpemerintah.”

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler