Mengapa Iran dan Rusia Tinggalkan Assad?

Proses kejatuhan Assad begitu cepat sampai musuh-musuhnya terkejut.

AP Photo/Omar Sanadiki
Spanduk raksasa Presiden Suriah Bashar Assad tergantung di fasad sebuah bangunan, saat pejalan kaki melewati jalan-jalan kosong di Damaskus, Suriah, Sabtu, 7 Desember 2024.
Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID,  DINASTI Al-Assad yang telah memerintah Suriah selama lebih dari setengah abad akhirnya runtuh, saat pasukan koalisi oposisi berhasil memasuki ibu kota Damaskus. Presiden Bashar al Assad menyatakan mundur dan terbang bersama keluarga, menerima tawaran suaka dari Moskow.

Baca Juga


Dinasi Assad mulai berkuasa pada 1971 ketika ayah Bashar, Hafez al Assad, menjadi presiden lewat kudeta, yang sudah biasa terjadi di Suriah sejak merdeka dari Prancis.

Proses kejatuhan Bashar al Assad berlangsung demikian cepat sampai musuh-musuhnya pun terkejut.

Tapi yang menarik adalah sikap Rusia dan Iran, yang membiarkan sekutunya tumbang. Padahal merekalah yang menghindarkan Assad tidak tanggal dari kekuasaan pada periode awal perang saudara Suriah yang pecah sejak 2011.

Rusia yang teralihkan perhatiannya ke Ukraina, ekspedisi Iran di negara asing yang menurun, disorientasi Hizbullah akibat perang melawan Israel dan tewasnya pemimpin mereka, Hassan Nasrullah, membuat tiang kekuasaan Assad roboh.

Pasukan Assad mengalami demoralisasi. Bukan saja akibat perang di segala front, tapi juga oleh korupsi yang membuat alat-alat perang tak berfungsi optimal kala menghadapi musuh.

Rusia dan Iran yang menggelarkan kontingen militernya secara terbatas di Suriah, memutuskan tak membantu pasukan Assad yang sudah kehilangan semangat bertempur.

 

Apalagi, menurut sejumlah laporan, Rusia telah mendapatkan jaminan dari pasukan oposisi bahwa kepentingannya di Suriah, yakni pangkalan angkatan laut di Tartus dan pangkalan udara Khmeimim di Latakia, tidak akan dijamah pasukan oposisi.

Laporan lain menyebutkan Iran dan Rusia diam-diam tak puas atas manuver rezim Assad belakangan tahun ini. Ada perbedaan dalam lingkaran terdalam Assad mengenai posisi kedua negara itu. Ada yang menginginkan dekat ke Iran, ada yang memilih Rusia.

Assad juga ditengarai tengah mendekati Barat untuk rekonstruksi Suriah. Salah satu langkah untuk menarik perhatian Barat adalah memberikan otonomi kepada minoritas Kurdi di Suriah timur.

Iran dan Rusia membaca tendensi ini sebagai ketidakseriusan Assad terhadap mereka sehingga kedua negara menjadi tidak antusias melindungi Assad, apalagi perhatian Rusia sudah teralihkan ke Ukraina.

Manuver Assad untuk minoritas Kurdi itu ditengarai juga membuat Turki tidak nyaman. Negara yang pernah menganggap solusi untuk Suriah adalah mundurnya rezim Bashar al Assad dari kekuasaan, berusaha mendekati Assad dengan meminta pertemuan empat mata bersama Presiden Recep Erdogan. Tapi Assad tak menggubris.

Lampu hijau Turki

Turki juga membaca momentum mengendurnya dukungan Hizbullah kepada Assad akibat harus berperang melawan Israel di Lebanon. Mereka juga tahu pasti Rusia dan Iran mulai pasif di Suriah.

Kecenderungan itu juga sudah lama dibaca oleh kelompok-kelompok oposisi Suriah. Mereka bersatu guna melumpuhkan Assad, padahal mereka juga acap berperang satu sama lain.

Koalisi oposisi ingin bergerak menggulingkan Assad, tapi sadar tak bisa melakukannya tanpa sepengetahuan kekuatan-kekuatan lebih besar, khususnya Turki.

 

Laporan investigatif Reuters setelah kejatuhan Assad pada 9 Desember, membeberkan semua hal itu.

Turki adalah penyokong utama gerakan perlawanan Assad, yang sudah terjadi sejak perang saudara Suriah meletus pertama kali pada 2011.

Ketika ISIS ambruk yang disusul serangan milisi Kurdi-Suriah dukungan AS di daerah-daerah Suriah yang dekat dengan perbatasan Turki, negara yang dipimpin Presiden Recep Tayyip Erdogan itu memutuskan masuk wilayah Suriah pada Agustus 2016. Sampai sekarang Turki mempertahankan kehadiran militernya di Suriah.

Turki juga penyokong utama Tentara Nasional Suriah (SNA), yang bersama Hayat Tahrir al-Sham (HTS) dan Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang merupakan milisi Kurdi, adalah kelompok-kelompok perlawanan terkuat di Suriah.

HTS sebelumnya bernama Front Nusra, yang pernah memiliki kaitan dengan Alqaeda. Tapi beberapa tahun terakhir HTS berusaha memupus citra itu. Meski begitu, Barat, masih melihat HTS sebagai organisasi teror.

Sebaliknya Turki terlihat berusaha mengesampingkan cacat HTS, paling tidak untuk sementara, apalagi kelompok pimpinan Abu Mohammad al Julani ini efektif mengelola pemerintahan di daerah-daerah kekuasaannya, khususnya Provinsi Idlib, dan merupakan milisi yang sangat terlatih.

Menurut sejumlah diplomat di kawasan itu kepada Reuters, koalisi oposisi pimpinan HTS mengontak Turki, untuk memastikan tidak ikut campur menurunkan pasukan ketika koalisi HTS bergerak guna menduduki Damaskus.

Notifikasi serupa agaknya juga diberikan kepada Rusia, terbukti ada laporan yang menyebutkan pasukan oposisi menjamin tak akan mengutak-atik Tartus dan Latakia yang menjadi tempat pangkalan militer Rusia berada, selain basis bani Alawiyah, yang beraliran Syiah, dan merupakan pendukung utama rezim Assad.

Tak hanya Turki dan Rusia, AS pun diyakini mengetahui rencana pasukan koalisi perlawanan Assad itu. Indikasinya terlihat dari langkah AS melancarkan serangan udara ke posisi kaum militan sisa-sisa ISIS, karena khawatir memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan serangan yang dipimpin HTS.

Uniknya Turki juga kabarnya menyerang pasukan Kurdi SDF, yang ironisnya adalah sekutu AS. Baik AS maupun Turki berusaha memukul pihak-pihak yang hendak memanfaatkan situasi krisis akibat serangan HTS.

Realitas baru

Akhirnya pada Ahad, 8 Desember 2024, Bashar al Assad tumbang. "Realitas baru", seperti disebut Presiden Erdogan, pun tercipta di Suriah.

Tapi kini muncul pertanyaan, apakah "realitas baru" itu membuat Suriah bersatu? Atau menciptakan krisis baru yang sama brutalnya dengan yang lebih dahulu?

Apalagi beberapa laporan menyebutkan sudah terjadi bentrokan antara pasukan-pasukan oposisi, khususnya antara SDF dengan SNA. Sementara itu, tetangga-tetangga Suriah yang lain berhati-hati menanggapi perkembangan di Suriah.

Israel lain lagi. Panglima militer mereka, Letjen Herzi Halevi, malah menyatakan Israel kini membuka front tempur keempat di Dataran Tinggi Golan (wilayah Suriah yang diduduki Israel sejak Perang 1967), setelah Jalur Gaza, Tepi Barat dan Lebanon.

Israel memiliki alasan untuk khawatir situasi di Suriah menghasilkan rezim baru yang lebih ekstrem ketimbang Assad sehingga membahayakan posisi Israel di Golan.

Sementara di timur, Irak yang acap membantu Assad, menutup perbatasan dengan Suriah. Sedangkan, negara-negara Arab yang lain berusaha hati-hati.

Arab sebenarnya tidak benar-benar percaya kepada Turki, apalagi Erdogan memiliki ambisi menjadi pemimpin kawasan dan dunia Islam.

Akan halnya Rusia, negara ini juga tidak akan cepat-cepat meninggalkan Suriah. Fasilitas militernya di Tartus terlalu berharga untuk ditinggalkan.

Selain menjadi simbol kehadiran Rusia di Timur Tengah, pangkalan militer itu juga berfungsi sebagai aspek penggentar untuk AS yang memiliki Armada Keenam dengan jangkauan operasi sampai Laut Tengah dan Laut Hitam.

Turki pun begitu. Negara ini tak akan meninggalkan Suriah, sampai mereka melihat Kurdi tidak mendapatkan peran luas di Suriah, yang mungkin juga berimplikasi kepada Irak karena negara itu memiliki minoritas Kurdi yang signifikan dan belum sembuh benar dari konflik sektarian.

Sebaliknya, AS tak akan begitu saja meninggalkan Kurdi, yang berjasa besar dalam membantu AS menghancurkan ISIS.

Alhasil, situasi Suriah terlalu sulit untuk ditebak, walau kejatuhan Bashar al Assad menjadi momentum bagus untuk membangun kembali Suriah.

Syaratnya, semua pihak di Suriah harus menurunkan ego demi adanya pemerintahan persatuan yang merangkul semua kalangan dan mengakomodasi kepentingan kekuatan-kekuatan besar tanpa menggadaikan kedaulatan negara itu. Sungguh misi yang sulit, tapi bukan hal yang mustahil.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler