LPSK: 1.673 Korban Kekerasan Seksual Anak Minta Perlindungan
LPSK mencatat permohonan perlindungan korban kekerasan seksual alami kenaikan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengungkapkan permohonan perlindungan korban kekerasan seksual mengalami kenaikan.
Hal itu disampaikan LPSK saat merilis Kajian Implementasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Kajian tersebut tak hanya mengevaluasi penerapan UU TPKS sejak diberlakukan pada 9 Mei 2022, tetapi juga mengulas tantangan yang menghambat perlindungan dan pemulihan korban.
"Kajian ini menjadi bagian dari upaya strategis memperkuat perlindungan bagi saksi dan korban kekerasan seksual," kata Wakil Ketua LPSK, Sri Nurherwati dalam keterangannya pada Rabu (11/12/2024).
Berdasarkan data permohonan perlindungan ke LPSK, permohonan perlindungan korban kekerasan seksual meningkat signifikan dari 672 permohonan pada 2022 menjadi 1.063 pada 2024. "Peningkatan ini menunjukkan tingginya kebutuhan akan perlindungan dan pemulihan, sekaligus tingginya angka kekerasan seksual yang terjadi," ujar Nurherwati.
Nurherwati menjelaskan permohonan perlindungan terkait tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak mencapai empat kali lipat dibandingkan kasus pada orang dewasa. Selama kurun waktu tiga tahun, 81 persen dari jumlah keseluruhan permohonan terkait kekerasan seksual diajukan untuk korban anak-anak.
"Selanjutnya, terlindung LPSK dalam Tindak Pidana Kekerasan Seksual selama periode 2022-2024 mencapai 2.518 terlindung," ujar Nurherwati.
LPSK juga mencatatkan jumlah terlindung tertinggi adalah korban kekerasan seksual anak sebanyak 1.673 terlindung dan kekerasan seksual 845. LPSK melaksanakan pemberian perlindungan kepada terlindung dalam program perlindungan yang mencakup pemenuhan hak dan/atau pemberian bantuan.
"Setiap terlindung dapat mengakses beberapa jenis program perlindungan. Dalam kurun waktu tiga tahun (2022-2024), jumlah total program yang diakses sebanyak 4.034 program perlindungan," ujar Nurherwati.
Adapun jenis program bantuan yang paling banyak diakses adalah fasilitasi restitusi, dengan 1.505 terlindung. Program tertinggi kedua adalah program pemenuhan hak prosedural, yang diakses oleh 1.157 telindung.
Hak Prosedural meliputi pemberian keterangan tanpa tekanan, fasilitasi penerjemah, bebas dari pertanyaan yang menjerat, pemberian nasihat hukum, dan/atau pendampingan. "Program ketiga tertinggi adalah bantuan rehabilitasi psikologis, yang diakses oleh 763 terlindung," ujar Nurherwati.
Selain itu, Nurherwati menegaskan kehadiran UU TPKS adalah tonggak penting dalam memastikan hak-hak korban kekerasan seksual terlindungi. Namun, Nurherwati menyoroti berbagai tantangan dalam implementasinya seperti terbatasnya layanan yang sesuai kebutuhan korban, lemahnya koordinasi antar-lembaga, dan keberlanjutan perlindungan serta pemulihan korban.
“Kajian ini diharapkan bermanfaat dalam mendorong strategi penguatan dan optimalisasi penyelenggaraan Pelayanan Terpadu bagi Korban TPKS, sehingga mendukung Terlindung LPSK memperoleh pemenuhan hak dan bantuan dalam proses peradilan," ujar dia.