PPN di RI Jadi 12 Persen, Ekonomi Vietnam Malah 'Meroket' Saat PPN Dikurangi Jadi 8 Persen

Pemerintah Vietnam memperpanjang kebijakan pengurangan PPN hingga 2025.

EPA-EFE/LUONG THAI LINH
Seorang warga Vietnam menggenjot sepedanya di Hanoi, Vietnam, pada April 2024. Ekonomi Vietnam menunjukkan kinerja yang baik pada 2024 di tengah ketidakpastian global.
Rep: Andri, Dian Fath Risalah Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, Majelis Nasional Vietnam baru-baru ini memperpanjang kebijakan pengurangan 2 persen besaran pajak pertambahan nilai (PPN) hingga Juni 2025. Barang dan jasa yang menjadi subjek pajak, besaran PPN-nya akan berkurang dari sebelumnya 10 persen menjadi 8 persen.

Baca Juga


Pada 30 November 2024, Majelis Nasional ke-15 Vietnam mengesahkan sebuah resolusi yang akan melanjutkan pemotongan PPN untuk kelompok spesifik barang dan jasa dari 10 menjadi 8 persen. Resolusi ini, seperti dilansir Vietnam Briefing, bertujuan untuk mendukung Program Pengembangan dan Pemulihan Sosial Ekonomi di negara tersebut.

Sebelumnya pemangkasan PPN dari 10 menjadi 8 persen sudah diberlakukan hingga 31 Desember 2024 merujuk pada resolusi nomor 110/2023/QH15. Lewat resolusi itu, pemerintah Vietnam kemudian menetapkan peraturan pemerintah pada 30 Juni 2024, yang menyediakan panduan untuk implementasi pemotongan PPN yang kemudian diterapkan mulai 1 Juli hingga akhir 2024.

Pengurangan besaran PPN diterapkan ke hampir semua tahapan (impor, produksi, pemrosesan, perdaganan) pengadaan barang dan jasa. Sementara barang dan jasa yang tidak termasuk dalam fasilitas pemotongan PPN yakni di bidang telekomunikasi; teknologi informasi, layanan keuangan dan perbankan; keamanan, asuransi; bisnis real estate; produksi baja; pertambangan (tidak termasuk batu bara); penyulingan minyak, produksi bahan-bahan kimia dan barang dan jasa yang masuk dalam kategori pajak konsumsi spesial.

Ekonomi meningkat

Sejak diimplementasikan pada 1 Januari 2024, pengurangan 2 persen PPN telah terbkti menjadi instrumen penting dalam meningkatkan bisnis di berbagai sektor di Vietnam. Pengurangan PPN juga berhasil menstimuli konsumsi domestik, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mendukung stabilitas makro ekonomi di tengah ketidakpastian global yang terus berlanjut, termasuk pemulihan yang lambat di sektor perdagangan (ekspor-impor) dan disruspsi di rantai pasok global.

Menurut analis, pengurangan PPN secara langsung berkontribusi atas stabilitasi produksi dan aktivitas bisnis, yang berujung pada terciptanya lapangan kerja dan meningkatnya standar hidup di Vietnam. Dengan mengurangi biaya produksi, sektor bisnis di Vietnam menjadi mampu untuk memberikan harga yang kompetitif, yang kemudian memancing masyarakat untuk membelanjakan uangnya. Kebijakan pengurangan PPN, disebut analis utamanya menguntungkan sektor seperti retail, otomotif, dan pabrik.

Bagi sektor bisnis di Vietnam, khususnya industri konsumer, perpanjangan masa pengurangan PPN menghadirkan kesempatan bagi strategi harga dan manajemen biaya produksi. Menjadi krusial bagi sektor bisnis mengulas struktur harga, dinamika rantai pasok, dan strategi perencanaan keuangan untuk memaksimalkan keuntungan.

Menurut Kantor Statistik Umum (GSO), ekonomi Vietnam tumbuh sebesar 6,42 persen dalam enam bulan pertama pada 2024. Menurut GSO, capaian tersebut sedikit lebih rendah dari angka 6,58 persen pada periode yang sama tahun 2022 dalam periode 2020-2024.

GSO menyoroti bahwa dalam sektor jasa, ekspor melonjak, sejalan dengan pemulihan global dalam permintaan konsumen, yang berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Direktur Jenderal GSO Nguyen Thi Huong mengatakan, kebijakan manajemen pemerintah, yang dipimpin oleh Perdana Menteri dan berbagai kementerian dan daerah, secara bertahap terbukti efektif, memastikan kelancaran operasi rantai pasokan dan distribusi barang dan jasa.

"Kemudian mengurangi suku bunga pinjaman, menstabilkan pasar valuta asing, mendorong pencairan investasi publik, dan melaksanakan paket kredit untuk mendukung berbagai sektor."

Adapun, untuk semester kedua pada 2024, menurut perkiraan terbaru dari Bank Dunia, pertumbuhan ekonomi Vietnam diperkirakan mencapai 6,1 persen pada akhir 2024 dan 6,5 persen pada 2025. Prediksi itu menunjukkan, bahwa Vietnam bisa mengalami pertumbuhan yang lebih besar pada 2025 dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya seperti Thailand, Kamboja, Malaysia, Indonesia, dan Filipina.

 

 

Pada saat rakyat Vietnam menikmati fasilitas pengurangan PPN yang berlanjut, Indonesia menyongsong pemberlakuan PPN 12 persen pada 1 Januari 2025. Diketahui, kebijakan kenaikan PPN dari 11 menjadi 12 persen di Indonesia menuai polemik, sampai-sampai Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani Indrawati mengakui harus berhati-hati dalam memberikan keterangan.

"Kami memahami banyak pertanyaan terkait PPN 12 persen, dan kami terus berhati-hati dalam memberikan respons. Kementerian Keuangan berkomitmen untuk menjaga keseimbangan antara kebijakan fiskal dan azas keadilan yang sangat penting," ujarnya dalam Konferensi Pers APBN KITA Edisi Desember 2024, Rabu (11/12/2024).

Sri Mulyani berdalih, meski PPN secara nominal akan naik, barang-barang kebutuhan pokok yang vital bagi masyarakat, seperti beras, daging, ikan, telur, sayuran, susu segar, serta layanan publik seperti pendidikan, kesehatan, angkutan umum, dan listrik akan tetap bebas PPN. Dalam hal ini, kebijakan pemerintah tetap berorientasi pada perlindungan daya beli masyarakat, terutama bagi kelompok menengah ke bawah.

"Sebagai contoh, barang-barang pokok yang sangat dibutuhkan masyarakat seperti beras, daging, dan susu tetap akan dikenakan PPN 0 persen. Kami terus mendengarkan aspirasi masyarakat dan memastikan bahwa kebijakan ini tidak memberatkan mereka," tambah Sri Mulyani.

Pemerintah, lanjut Sri Mulyani berkomitmen untuk mempertahankan pembebasan PPN pada barang-barang kebutuhan pokok. Untuk tahun ini saja, nilai barang dan jasa yang dibebaskan dari PPN diperkirakan mencapai Rp 231 triliun. Pemerintah pun memperkirakan pembebasan PPN pada tahun depan akan meningkat menjadi Rp 265,6 triliun, yang akan membantu menjaga harga barang kebutuhan dasar tetap terjangkau oleh masyarakat.

"Pembebasan PPN ini sangat besar dampaknya terhadap ekonomi, dan kami memastikan bahwa masyarakat tetap mendapat akses terhadap barang dan jasa yang dibutuhkan tanpa terbebani dengan pajak yang tinggi," jelas Sri Mulyani.

Adapun, kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen akan diberlakukan secara selektif, dengan fokus utama pada barang-barang mewah yang dikonsumsi oleh kelompok masyarakat dengan daya beli lebih tinggi. Kebijakan ini bertujuan untuk memastikan pajak tidak membebani masyarakat secara umum, tetapi lebih diarahkan pada konsumerisme barang-barang yang tidak esensial bagi kehidupan sehari-hari.

"Penerapan PPN 12 persen ini hanya untuk barang-barang mewah yang dikonsumsi oleh mereka yang mampu. Dengan kebijakan ini, kami dapat mengumpulkan lebih banyak pendapatan untuk mendanai berbagai program pemerintah yang mendukung kesejahteraan rakyat," kata Sri Mulyani.

Pasalnya, di tengah situasi ekonomi yang penuh tantangan, Sri Mulyani menegaskan pentingnya kebijakan fiskal yang hati-hati dan berkeadilan. Pemerintah, melalui kebijakan ini, berharap dapat menjaga keseimbangan antara penerimaan negara yang dibutuhkan untuk mendukung pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, serta menjaga daya beli masyarakat yang akan mendukung pertumbuhan ekonomi.

"Kami bekerja keras untuk menjaga agar kebijakan fiskal ini tetap sehat dan tidak memberatkan masyarakat. APBN adalah instrumen penting untuk negara dan harus dapat menjaga stabilitas ekonomi serta mendukung keberlanjutan program-program prioritas nasional," ujar Sri Mulyani.

Siap-siap PPN nail jadi 12 persen pada 1 Januari 2025. - (dok Republika)

 

 

Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman, menyoroti dampak kebijakan kenaikan PPN menjadi 12 persen yang diproyeksikan mulai berlaku pada 2025. Ia menyebut, meskipun kebijakan ini berpotensi menambah penerimaan negara hingga Rp75 triliun, efeknya terhadap ekonomi makro tidak dapat diabaikan.

"Kenaikan PPN ini memang akan memberikan tambahan pendapatan negara yang signifikan, tetapi risiko terhadap inflasi dan daya beli masyarakat harus diwaspadai. Sebagai contoh, pada 2022 ketika PPN naik menjadi 11 persen, inflasi meningkat hingga 0,95 persen dalam satu bulan. Dampak serupa bisa terjadi, bahkan lebih besar," ujar Rizal kepada Republika, Kamis (12/12/2024).

Rizal juga memperingatkan potensi efek crowding out pada konsumsi dan investasi. Menurutnya, daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah, kemungkinan besar akan tertekan.

"Hal ini bisa berdampak pada penurunan konsumsi rumah tangga yang merupakan motor utama pertumbuhan ekonomi kita," jelasnya.

Ia juga menekankan pentingnya alokasi yang tepat untuk pendapatan tambahan dari kenaikan PPN. Pendapatan tersebut harus diarahkan untuk mendukung program-program pro-rakyat, seperti subsidi kesehatan, pendidikan, dan pembangunan infrastruktur dasar.

"Ini penting untuk menjaga kepercayaan publik dan memastikan pertumbuhan ekonomi tetap merata," tambah Rizal.

Adapun, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat meminta pemerintah untuk memperjelas definisi barang mewah dalam kebijakan PPN. Menurut Achmad, batasan yang kabur mengenai definisi barang mewah bisa memberikan ruang tekanan bagi kelompok menengah ke bawah.

“Pemerintah harus menetapkan batasan yang jelas mengenai barang apa saja yang termasuk dalam kategori mewah. Hal ini penting untuk menghindari kesalahan pengenaan pajak pada barang yang sebenarnya merupakan kebutuhan bagi masyarakat menengah,” kata Achmad, belum lama ini.

Dia mencontohkan, barang elektronik berkualitas tinggi bisa jadi termasuk dalam kelompok barang mewah. Sementara kelas menengah kemungkinan menggunakan barang elektronik tersebut untuk kebutuhan pekerjaan mereka.

Artinya, bila kelompok barang itu masuk dalam definisi barang mewah pada kebijakan PPN, kelas menengah berpotensi makin kesulitan mengakses barang yang bisa membantu meningkatkan taraf hidup mereka.

“Akibatnya, kebijakan ini justru memperlebar kesenjangan digital dan ekonomi,” ujar Achmad.

Mengingat kondisi kelompok menengah yang rentan terhadap kebijakan fiskal, Achmad mengingatkan pemerintah untuk mengantisipasi tekanan yang diterima kelompok ini dengan membuat kebijakan yang memperhatikan dampak lanjutan. Tak hanya kelas menengah, Achmad berpendapat kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen tetap akan berdampak pada kelompok ekonomi kecil meski hanya menyasar barang mewah. Hal itu terjadi melalui mekanisme ekonomi yang disebut spillover effect.

“Ketika barang-barang yang terkait dengan barang mewah mengalami kenaikan harga, biaya hidup secara keseluruhan juga meningkat. Misalnya, kenaikan tarif PPN pada kendaraan bermotor mewah dapat memengaruhi biaya logistik dan transportasi barang kebutuhan pokok,” jelasnya.

Pada akhirnya, lanjut dia, konsumen dari seluruh lapisan ekonomi harus membayar harga yang lebih tinggi untuk barang kebutuhan sehari-hari. Belum lagi kenaikan harga berisiko menurunkan penjualan pelaku industri hingga pedagang kecil.

 

 

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler