Wacana Prabowo Kembalikan Pilkada ke DPRD Dinilai Ahli Pemilu akan Membawa Masalah Baru

Wacana mengembalikan pilkada ke DPRD juga dinilai sebagai kemunduran demokrasi.

DPR RI
Pilkada serentak 2024 (ilustrasi)
Rep: Bayu Adji P, Bambang Noroyono Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, Presiden Prabowo Subianto mewacanakan pemilihan kepala daerah kembali diserahkan kepada DPRD. Alasannya, pemilihan kepala daerah secara langsung dinilai memakan biaya politik yang sangat mahal. Dosen Pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia Titi Anggraini menilai pemilihan kepala daerah melalui DPRD justru akan membawa masalah baru.

"Apabila pemilihan dikembalikan ke DPRD mungkin saja biayanya menjadi lebih murah, tapi tidak serta-merta menghilangkan praktik politik uang dan juga politik biaya tinggi dalam proses pemilihannya," kata dia saat dihubungi Republika, Jumat (13/12/2024).

Menurut Titi, permasalahan utama dalam pemilihan kepala daerah masih harus mengeluarkan biaya tinggi adalah buruknya penegakan hukum dan demokrasi di internal partai tidak pernah benar-benar dibenahi dan diperbaiki. Mengubah pemilihan kepala daerah dari tangan rakyat menjadi wewenang DPRD disebut hanya memindahkan persoalan dari ruang publik ke dalam ruang-ruang tertutup.

Namun, hal itu akan berdampak sangat besar, lantaran kedaulatan rakyat menjadi tersandera dan masyarakat bisa semakin dijauhkan dari urusan-urusan publik. Di sisi lain, tata kelola bernegara hanya menjadi urusan eksklusif dari politisi partai politik. 

"Hal itu bisa bisa tereskalasi menimbulkan ketidakpuasan dan juga kemarahan politik yang bisa berdampak buruk bagi kepercayaan publik dan dukungan bagi tata kelola pemerintahan di daerah," ujar Titi.

Ia mengingatkan, perubahan sistem pemilihan kepala daerah dari pemilihan oleh DPRD menjadi pemilihan langsung melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dilatarbelakangi oleh praktik politik uang yang tinggi. Ketika itu, yang terjadi adalah jual beli dukungan atau jual beli kursi dan suara dari para anggota DPRD demi keterpilihan kepala daerah oleh para anggota DPRD. 

Selain itu, pada saat itu juga terjadi protes warga akibat keterputusan aspirasi karena calon yang dipilih oleh DPRD tidak sejalan dengan kehendak masyarakat. Bahkan, di sejumlah daerah, kantor DPRD dirusak akibat masyarakat yang tidak puas dengan hasil pemilihan oleh DPRD.

Titi mengakui, pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 perlu dievaluasi. Pasalnya, meskipun rakyat memilih secara langsung wakilnya di eksekutif daerah melalui pilkada, peran partai sangat besar dalam pencalonan pilkada.

Hal itu dinilai berakibat tingginya suara golput dan juga suara tidak sah karena pemilih merasa tidak terwakili dan kecewa dengan calon-calon yang diusung oleh partai. Hal tersebut bisa semakin buruk apabila pemilihan benar-benar sepenuhnya dilakukan tidak langsung melalui wakil-wakil partai di DPRD.

"Kedaulatan rakyat makin tersandera dan masyarakat makin tidak punya posisi tawar sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam bernegara," kata dia.

Ia menilai, pemerintah lebih baik fokus menata konsolidasi demokrasi di Indonesia tanpa harus banyak membuat narasi yang bisa menimbulkan kontroversi. Menurut dia, terlalu banyak kontroversi bisa mengganggu konsentrasi pemerintahan Probowo dalam melaksanakan program pembangunan dan pemenuhan janji-janji politiknya.

"Itu sangat kontradiktif," kata Titi.

Tak hanya itu, Titi menyarankan agar DPR lebih fokus merevisi Undang-Undang Pilkada, sehingga persoalan-persoalan terkait dengan politik uang, lemahnya penegakan hukum, dan problematika integritas partai politik, serta penyelenggara pemilu bisa dibenahi serius. Menurut dia, efisiensi juga bisa dilakukan tanpa harus mengembalikan pemilihan langsung menjadi pemilihan DPRD.

"Caranya antara lain dengan melakukan pengaturan tranparansi dan akuntabilitas dana kampanye secara serius dan efektif sehingga bisa menekan dana-dana ilegal yang dikeluarkan oleh parpol dan calon. Kemudian juga bisa dilakukan dengan mengurangi biaya-biaya seremonial dalam penyelenggaraan pemilu yang mestinya tidak perlu dialokasikan," kata dia.

Ia mencontohkan, salah satu contoh yang perlu dilakukan untuk membuat biaya politik lebih murah adalah menghapus pemborosan yang dilakukan oleh KPU. Seperti diketahui, KPU dilaporkan menggunakan jet pribadi ketika melakukan kunjungan ke daerah serta fasilitasi mobil dinas yang lebih dari satu.

"Apabila hal itu dilakukan, maka juga bisa berkontribusi mengurangi biaya dalam penyelenggaraan pemilu," ujar Titi.

Jadwal Pilkada Serentak 2024 - (Infografis Republika)

 

 

Pengajar Hukum Tata Negara di Universita Gajah Mada (UGM) Yance Arizona juga menilai wacana mengembalikan pilkada ke DPRD sebagai kemunduran demokrasi. Menurut Yance, sistem pemilihan melalui lembaga perwakilan tersebut bakal kembali memutus partisipasi rakyat secara langsung dalam menentukan siapa pemimpin yang diharapkan.

Pemilihan yang dilakukan secara langsung oleh rakyat sebagai pemilih tersebut, menurut Yance, yang selama ini seharusnya dirawat oleh Presiden Prabowo sebagai tolok ukur kualitas tinggi demokrasi di Indonesia. “Saya menilai pandangan Presiden Prabowo yang mengusulkan pemilihan kepala daerah oleh DPRD, bukan lagi pemilihan langsung sebagai komitmen yang lemah terhadap demokrasi,” kata Yance saat dihubungi Republika dari Jakarta, Jumat (13/12/2024).

Namun menurut Yance, penyampaian Presiden Prabowo itu bukan tanpa maksud. Yance menilai, Presiden Prabowo yang melempar usulan agar pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD sebetulnya merupakan anak tangga pertama dalam wacana politik mengembalikan sistem pemilihan presiden dan wakil presiden melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

“Kalau ini (pilkada melalui DPRD) dibiarkan, bisa menjalar. Jangan-jangan Presiden Prabowo, pun sebenarnya juga mau mengembalikan pemilihan presiden oleh MPR, bukan lagi langsung oleh rakyat,” ujar Yance.

Menurut Yance, masyarakat dan pegiat sipil semestinya manaruh sikap curiga, dan mengkritisi wacana tersebut. Karena semestinya, kata Yance pemilihan secara langsung kepala daerah, pun juga kepala negara oleh rakyat yang selama ini sudah dilakukan, merupakan buah dari pohon reformasi yang sudah tertanam seperempat abad.

“Semangat demokratisasi yang sudah diwariskan dari reformasi adalah salah-satunya gagasan tentang kedaulatan rakyat, kedaulatan di tangan rakyat, yang itu diwujudkan dalam pemilihan kepala daerah, pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat,” kata Yance.

Yance juga menilai efisiensi, dan koreksi biaya politik tinggi yang disebut-sebut Presiden Prabowo sebagai alasan untuk mengembalikan pemilihan ke DPRD, sebagai masalah yang tak lagi relevan. Karena menurut dia, produk legislasi tentang pemerintahan daerah, pun perundangan tentang pemilihan kepala daerah sudah mengantisipasi.

“Dari sisi biaya penyelenggaraan pilkada, selama ini sudah dibuat secara serentak yang itu untuk meminimalisir biaya jika dibandingkan dengan pemilihan yang tidak serentak. Sehingga sebenarnya efisiensi anggaran tersebut, sudah dilakukan,” kata Yance.

Akan tetapi, kata Yance, jika efisiensi dan biaya politik tinggi yang dimaksud Presiden Prabowo tersebut menjadikan para pasangan calon (paslon) pilkada, dan partai-partai politik (parpol) sebagai ‘korban’, hal tersebut memang kerap terjadi. Namun begitu, kata Yance, objek koreksinya bukan pada pengubahan sistem lama yang juga sudah terbukti sarat praktik biaya tinggi akibat transaksional elite.

Justru kata Yance, objek koreksinya adalah para internal parpol pengusung, pun para paslonnya. Karena praktik biaya tinggi dalam pemilu, maupun pilkada itu disebabkan karena praktik mahar-mahar.

“Seharusnya parpol dan paslon membangun kultur politik yang sehat dengan menekan, dan meminimalisir beban-beban biaya politik yang tinggi. Mekipun telah dilarang dalam UU Pemilu, dan UU Pilkada, tetap saja biaya praktik mahar politik untuk pencalonan itu masih sering terjadi,” kata Yance.

Presiden Prabowo Subianto, saat berpidato pada HUT Partai Golkar ke-60, Kamis (12/12/2024) melemparkan wacana untuk pemilihan kepala daerah dikembalikan kewenangannya ke DPRD. Menurut Prabowo, model pilkada yang tak langsung itu lebih efisien ketimbang pelaksanaan pilkada langsung yang selama ini menurutnya memakan biaya tinggi.

Presiden Prabowo memberikan beberapa referensi pelaksanaan kepala daerah di negara-negara demokrasi besar lainnya di kawasan Asia, maupun Asia Tenggara.  “Mari kita berpikir, mari kita tanya, apa sistem ini, berapa puluh triliun habis dalam satu dua hari, dari negara, maupun dari tokoh-tokoh politik masing-masing. Saya lihat negara-negara tetangga kita efisien. Malaysia, Singapura, India, sekali milih anggota DPRD, sekali milih, ya sudah, DPRD itulah yang milih gubernur, milih bupati,” kata Presiden Prabowo.

Presiden Prabowo yang juga ketua umum Partai Gerindra itu mengajak ketua-ketua umum partai politik (parpol) lainnya yang hadir di gelaran HUT Golkar untuk setuju. Bahkan, kata Presiden Prabowo, kalau bisa langsung saja disetujui.

“Ini sebetulnya begitu banyak ketua umum partai di sini sebenarnya bisa kita putuskan malam ini juga,” kata Prabowo.

Baca Juga



 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler