Beda Nasib Koruptor RI dengan China dan Vietnam, Jianping Dieksekusi, Truong Divonis Mati
Mahfud MD menilai vonis terhada Harvey Moeis menyentak rasa keadilan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Vonis 6,5 tahun yang dijatuhkan terhadap terdakwa kasus korupsi timah, Harvey Moeis, menggugah rasa keadilan. Padahal, potensi kerugian negara dalam kasus tersebut mencapai Rp 300 triliun, termasuk nilai kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.
Mantan Menko Polhukam Mahfud MD menilai putusan itu tak logis. Bahkan tuntutan yang disampaikan jaksa juga hanya 12 tahun penjara.
"Tak logis, menyentak rasa keadilan. Harvey Moeis didakwa melakukan korupsi dan TPPU Rp 300T. Oleh jaksa hny dituntut 12 thn penjara dgn denda 1 M dan uang pengganti hny dgn Rp 210 M. Vonis hakim hny 6,5 thn plus denda dan pengganti dgn total Rp 212 M," tulis Mahfud MD lewat unggahan di akun X, Kamis (26/12/2024).
Di sejumlah negara berkembang lain, kasus korupsi juga menjadi perhatian. Sebut saja Vietnam yang menyoroti masalah korupsi tersebut.
Pengadilan Vietnam pada awal Desember 2024 lalu menolak upaya banding yang dilakukan oleh Taipan properti Vietnam Truong My Lan. Truong diketahui telah dijatuhkan vonis mati karena mendalangi penipuan bank terbesar di dunia.
Wanita berusia 68 tahun itu terus berjuang untuk hidupnya karena hukum di Vietnam menyatakan bahwa jika dia dapat membayar kembali 75 persen dari apa yang telah diambilnya, maka hukumannya akan diringankan menjadi penjara seumur hidup.
Seperti dilaporkan BBC, pada April, pengadilan tingkat pertama menemukan bahwa Truong My Lan diam-diam telah mengendalikan Saigon Commercial Bank, pemberi pinjaman terbesar kelima di negara itu.
Ia mengambil pinjaman dan uang tunai selama lebih dari 10 tahun melalui jaringan perusahaan cangkang, yang jumlahnya mencapai total 44 miliar dolar AS (34,5 miliar poundsterling).
Dari jumlah tersebut, jaksa penuntut mengatakan 27 miliar dolar AS telah disalahgunakan (Rp 438,56 triliun), dan 12 miliar dolar AS (Rp 195,9 triliun) dinilai telah digelapkan. Hal itu menjadi kejahatan keuangan paling serius yang menyebabkan dia dijatuhi hukuman mati.
"Truong masih bisa terhindar dari hukuman mati jika ia mengembalikan 9 miliar dolar AS, tiga perempat dari 12 miliar dolar AS yang digelapkannya. Ini bukan banding terakhirnya dan ia masih bisa mengajukan petisi kepada presiden untuk amnesti," kata Pengadilan.
Memang kasus Harvey Moeis berbeda dengan Truong. Karena nilai kerugian dalam kasus Harvey sudah memasukkan semua potensi yang hilang, termasuk kerusakan lingkungan. Sementara Truong mengacu pada nilai penggelapan dan uang yang disalahgunakan.
Di China, Tiongkok baru-baru ini juga mengeksekusi mantan pejabat dari Mongolia atas tuduhan korupsi senilai total sekitar 3 miliar yuan (412 juta dolar AS).
Penggunaan hukuman mati yang jarang terjadi untuk kasus korupsi muncul seiring dengan meningkatnya kampanye besar-besaran Presiden Xi Jinping untuk membersihkan Partai Komunis.
Li Jianping diketahui merupakan mantan kepala partai di zona pengembangan ekonomi di kota Hohhot. Ia pertama kali dijatuhi hukuman mati pada September 2022 karena menerima suap, menyalahgunakan dana publik, dan berkolusi dengan sindikat kriminal.
Ia kalah dalam banding pada bulan Agustus dan hukumannya kemudian disetujui oleh Mahkamah Agung Rakyat. "Li yang berusia 64 tahun diizinkan untuk menghabiskan waktu bersama anggota keluarganya sebelum dieksekusi," demikian menurut Kantor Berita resmi Xinhua dilansir Bloomberg, 17 Desember 2024. .
Menurut Bloomberg, vonis bagi pejabat Tiongkok untuk menerima hukuman mati atas tuduhan korupsi terbilang jarang. Lebih sering mereka mendapat penangguhan hukuman dua tahun dari eksekusi, dengan hukuman mereka diringankan menjadi penjara seumur hidup karena berperilaku baik.
Kampanye antikorupsi Xi telah menjerat sejumlah besar pejabat senior selama dua tahun berturut-turut. Hal itu terjadi di samping pembersihan yang meluas di militer yang telah melibatkan sejumlah perwira tinggi dan jenderal, termasuk target terbaru, Miao Hua, seorang loyalis lama Xi dan anggota Komisi Militer Pusat.
Tak cerminkan keadilan
Mantan Penyidik KPK, Yudi Purnomo tak menampik bahwa putusan terhadap Harvey Moeis yang hanya diketok hukuman 6,5 tahun penjara oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusattak sesuai dengan rasa keadilan yang hidup di tengah masyarakat.
Harvey awalnya dituntut hukuman 12 tahun penjara oleh jaksa dari Kejaksaan Agung. Namun majelis hakim memvonis Harvey jauh di bawah tuntutan.
"Tentu kasus ini vonisnya jauh dari rasa keadilan publik karena sangat rendah hanya 6,5 tahun jauh dari tuntutan jaksa yang 12 tahun," kata Yudi dalam keterangan pers pada Selasa (24/12/2024).
Oleh karena Yudi mendorong supaya jaksa segera mengajukan banding atas vonis itu. Yudi berharap keadilan dapat diraih di tingkat banding. "Kita berharap jaksa bisa banding setidaknya bahwa apa yang dituntut oleh kejaksaan bisa diamini oleh hakim di tingkat selanjutnya," ujar Yudi.
Selain itu, Yudi tetap mengapresiasi hakim pada sisi pengakuan adanya kerugian negara dari kasus ini hingga Rp 300 triliun. Selanjutnya Harvey Moeis pun wajib mengembalikan uang ke negara.
Sekadar gambaran, hingga kini Indonesia belum pernah menjatuhkan vonis mati terhadap korupsi. Mantan Ketua MK Akil Mochtar menjadi pejabat negara dengan vonis terberat yakni seumur hidup. Selain itu ada Adrian Waworuntu (pemilik PT Gramarindo Mega Indonesia) yang juga divonis seumur hidup. Banyak di antara hanya dihukum di bawah 10 tahun.
Belum ditambah potongan masa hukum karena remisi serta pembebasan karena telah menjalani dua pertiga dari masa tahanan.
Mahfud MD saat menjadi cawapres pada Pilpres 2024 pernah mengatakan bahwa ia setuju dengan gagasan vonis hukum mati untuk para koruptor.
Mahfud menjelaskan ada 2 permasalahan untuk memberlakukan hukuman mati bagi para koruptor di Indonesia. Salah satunya, kata dia, adanya syarat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa hukuman mati baru dapat diberikan dalam keadaan krisis.
"Sekarang pun bunyi undang-undangnya itu korupsi yang dilakukan dalam keadaan krisis bisa dijatuhi hukuman mati. Ini undang-undang yang berlaku sekarang, ya jadi bisa," katanya.
Namun dalam UU Tipikor itu menurut Mahfud, syarat hukuman mati itu harus dilakukan dalam keadaan krisis. "Nah, krisisnya itu tidak dijelaskan. Ukuran krisis apa? Kalau krisis ekonomi, apa iya ukurannya apa gitu, sehingga jaksa tidak ada yang berani menuntut," ujarnya dilansir Antara.
Sementara itu, terdakwa Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT) mempertanyakan perhitungan kerugian lingkungan atas kasus timah yang mencapai Rp 271 triliun.
Pasalnya, dari informasi yang didapatnya, ahli lingkungan tersebut menghitung kerugian negara hingga menghasilkan kerugian lingkungan senilai Rp271 triliun dengan hanya melakukan kunjungan ke lapangan sebanyak dua kali untuk mengambil 40 sampel dari luas tanah 400.000 hektare.
"Dari sisi teknologi, juga hanya memakai software gratisan dengan ketepatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Namun, hasilnya keluar angka kerugian negara terbesar sepanjang Republik Indonesia ini berdiri," kata Harvey saat membacakan nota pembelaan (pleidoi) dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.