Ketika Syekh Usamah Azhary Pertanyakan Kompetensi Syekh Utsaimin, Lalu Dihujat
Syekh Usamah mengkritik penggunaan Syekh Utsaimin rujukan soal ilhad
Oleh : KH Yendri Junaidi Lc MA. Ketum MUI Tanah Datar, alumni Al-Azhar Mesir
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Komentar Syekh Usamah Sayyid al-Azhari ketika mendiskusikan tesis untuk memperoleh gelar master seorang mahasiswa di Al-Azhar Mesir beredar viral ramai dikomentari.
Meskipun munaqasyah itu terjadi tahun lalu (Agustus 2023), artinya jauh sebelum beliau diangkat menjadi Menteri Wakaf, namun potongan video itu mendapat tanggapan luas beberapa hari ini.
Hal ini karena dalam komentar itu, Syekh Usamah mempertanyakan referensi yang dirujuk sang mahasiswa ketika mendefenisikan al-ilhad (ateisme). Sang mahasiswa merujuk pada risalah Syekh Ibnu Utsaimin. Dengan tegas Syekh Usamah mengatakan bahwa Syekh Ibnu Utsaimin bukanlah rujukan dalam hal ini.
Akibat komentar itu berbagai kritikan, bantahan, bulliyan, bahkan cacian dilancarkan bertubi-tubi terhadap Syekh Usamah. Tentu wajar, karena ini menyangkut seorang tokoh yang sangat diagungkan oleh kalangan Wahabi.
Apalagi dalam video itu, Syekh Usamah menyatakan bahwa Syekh Ibnu Utsaimin mengkafirkan Azhariyyin, istilah untuk keluarga besar alumni Al-Azhar Mesir. Poin ini yang banyak ditanggapi kalangan Wahabi. Mereka mempertanyakan dan menantang, kapan dan dimana Syekh Ibnu Utsaimin mengkafirkan Azhariyyin.
Secara eksplisit mungkin tidak. Tapi karena al-Azhar bermanhaj Asy’ariy, bermazhab dengan mazahib mu’tamad dan bersuluk dengan Sadah Sufiyyah terutama Imam al-Junaid, sementara dalam beberapa karyanya Syekh Ibnu Utsaimin mengkafirkan al-Mu’athilah yang maksudnya adalah Asya’irah maka secara implisit Syekh Ibnu Utsaimin telah mengkafirkan Azhariyyin. Demikian dijelaskan Dr Abdul Qadir Husein dalam video terbarunya menanggapi masalah ini.
Terlepas dari ‘tuduhan’ Syekh Usamah terhadap Ibnu Utsaimin dan pro-kontra yang terjadi seputar itu, ada satu poin penting yang perlu mendapat perhatian serius, yaitu masalah referensi dan rujukan.
Lokasi Makam Nabi Hud dan Jumlah Orang yang Tersisa dengannya Setelah Topan Besar
http://republika.co.id/berita//spc42v320/lokasi-makam-nabi-hud-dan-jumlah-orang-yang-tersisa-dengannya-setelah-topan-besar
Mahasiswa yang sedang mempertahankan tesis masternya itu mendefinisikan al-ilhad (ateisme) dan rujukannya adalah Syekh Ibnu Utsaimin. Ini yang dipertanyakan oleh Syekh Usamah. Apakah Syekh Ibnu Utsaimin bisa menjadi rujukan dalam mendefinisikan al-ilhad?
Berapa kajian yang dilakukannya tentang masalah ilhad? Kenapa sang mahasiswa tidak merujuk pada sumber-sumber primer yang terpercaya, sekalipun dari pakar non-muslim (ini juga yang menjadi kritikan sebagian kalangan Wahabi: “Ia (Syekh Usamah) lebih memilih merujuk pada orang kafir ketimbang seorang Muslim apalagi Muslim ini alim”).
Mereka lupa (atau memang sengaja mengabaikan) bahwa yang jadi fokus dalam hal ini adalah definisi al-ilhad. Maka yang menjadi patokan dalam mendefinisikannya bukan lagi agama seseorang, apalagi kelompoknya, melainkan sejauh mana kepakarannya dalam bidang tersebut sehingga definisi yang dikemukakannya kredibel dan dapat diterima dalam ranah ilmiah.
Dalam bidang hadits misalnya, seorang peneliti (bahits) ketika mendefinisikan hadits hasan, ia tidak akan merujuk ke buku Taysir Musthalah Hadits karya Dr Mahmud Thahan. Ia akan merujuk kepada sumber-sumber primer seperti Ma’rifatu Ulumil Hadits karya Imam al-Hakim, Muqaddimah Ibnu Shalah dan sebagainya. Ini tidak berarti merendahkan Dr Mahmud Thahan. Tapi dalam sebuah penelitian, rujukan itu mesti pada sumber-sumber yang primer.
Bahkan meskipun alim itu seorang Azhariy. Ketika menyebutkan definisi ilmu tafsir, misalnya, seorang bahits azhariy tidak diterima kalau merujuk pada Syekh Dr Yusuf al-Qardhawi. Walaupun dalam beberapa karyanya beliau ada menyebutkan definisi ilmu tafsir, tapi seorang bahits mesti merujuk ke sumber primer, bukan sumber sekunder.
Poin utama tentang marji’iyyah ini yang terabaikan dalam pro-kontra tentang komentar Syekh Usamah. Serangan-serangan yang diarahkan pada Syekh Usamah sangat kental nuansa fanatik pada sosok Syekh Ibnu Utsaimin.
Tidak tertutup kemungkinan juga, serangan-serangan tersebut dilancarkan sekarang, meskipun munaqasyah-nya terjadi setahun yang lalu karena rasa antipati terhadap al-Azhar yang sudah mendarah-daging pada sebagian orang, atau karena posisi Syekh Usamah sebagai Menteri Wakaf. Ibarat kata orang:
أخطاء الكبار عزء التافهين (هذا إذا سلمنا أن ما قال به الشيخ أسامة يعتبر خطأ)
Yang menarik, menurut Dr Abdul Qadir Husein, hal yang jauh lebih ‘parah’ terjadi di salah satu Perguruan Tinggi di Madinah. Ketika seorang mahasiswa sedang mempertahankan disertasinya di depan para penguji.
BACA JUGA: Sektor Penerbangan Israel Terpukul Hebat Akibat Ulah Sendiri Genosida Gaza
Wacana Pasukan Arab dan Internasional Hadir di Jalur Gaza, Sudah Sejauh Mana?
http://republika.co.id/berita//spc9jv320/wacana-pasukan-arab-dan-internasional-hadir-di-jalur-gaza-sudah-sejauh-mana
Ternyata dalam penelitiannya, mahasiswa ini merujuk -salah satunya- kepada Imam as-Subki. Rujukan ini dipermasalahkan oleh tim penguji. Bahkan salah seorang sampai mengusulkan untuk menolak hasil penelitian tersebut.
Syukurnya setelah diadakan perundingan yang cukup alot, penelitiannya tetap diterima secara mayoritas (aghlabiyyah), bukan disepakati (ijma’). Padahal mahasiswa ini orang Saudi asli dan sudah bertugas di Perguruan Tinggi tersebut sebagai asisten dosen.
Adapun mahasiswa yang di-munaqasyah oleh Syekh Usamah secara ketat dan ‘keras’ tersebut (yang ternyata mahasiswa ini berkebangsaan India), pada akhirnya tetap mendapatkan nilai terbaik yaitu Mumtaz. Jadi, silakan nilai sendirilah...