Indonesia Resmi Gabung BRICS, Siap Tantang Hegemoni Barat?
BRICS dibentuk sebagai penantang
REPUBLIKA.CO.ID, BRASILIA – Kementerian Luar Negeri Brasil mengumumkan bahwa Indonesia telah masuk secara penuh dalam keanggotaan BRICS. Bagaimana awal kelompok itu terbentuk, apa dampaknya di masa datang?
Didirikan pada 2009, BRICS mulanya beranggotakan Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan. Belakangan, kelompok itu mulai meluaskan keanggotaan meliputi Mesir, Uni Emirat Arab, Ethiopia, Iran, dan yang terkini Indonesia.
Kelompok itu didirikan dengan premis bahwa lembaga-lembaga internasional terlalu didominasi oleh negara-negara Barat dan tidak lagi menguntungkan bagi negara-negara berkembang. Blok tersebut berupaya mengoordinasikan kebijakan ekonomi dan diplomatik para anggotanya, mendirikan lembaga keuangan baru, dan mengurangi ketergantungan pada dolar AS.
Merujuk lembaga think tank Amerika Serikat Council on Foreign Relation, koalisi ini bukanlah sebuah organisasi formal, melainkan sebuah blok ekonomi non-Barat yang mengkoordinasikan upaya ekonomi dan diplomatik untuk mencapai tujuan bersama. Negara-negara BRICS berupaya membangun alternatif terhadap apa yang mereka lihat sebagai dominasi sudut pandang Barat dalam kelompok multilateral besar, seperti Bank Dunia, Kelompok Tujuh (G7), dan Dewan Keamanan PBB.
Ekspansi kelompok ini pada tahun 2024 mempunyai berbagai implikasi geopolitik. Hal ini mencerminkan pertumbuhan ekonomi dan demografi yang semakin besar: sepuluh negara BRICS mencakup lebih dari seperempat perekonomian global dan hampir separuh populasi dunia. Ditambah Indonesia, kekuatannya kian besar.
BRICS belakangan menyatakan siap memberikan pengaruh terhadap agresi di Jalur Gaza dan Ukraina, bentuk sistem ekonomi global, persaingan antara Cina dan Barat, dan upaya transisi ke energi ramah lingkungan.
Istilah BRICS awalnya diciptakan oleh ekonom Goldman Sachs, Jim O'Neill dalam makalah penelitiannya pada 2001. Ia menyatakan bahwa pertumbuhan negara-negara yang saat itu disebut “BRIC” (Brasil, Rusia, India, dan Cina) siap untuk menantang negara-negara dominan dan negara-negara kaya di G7.
Rusia adalah negara pertama yang menyerukan diadakannya pertemuan keempat negara tersebut, sebuah keputusan yang menurut para analis didorong oleh semakin besarnya keinginan Presiden Rusia Vladimir Putin untuk menciptakan penyeimbang terhadap Barat. Rusia menjadi tuan rumah KTT BRIC resmi pertama pada 2009, dan Afrika Selatan bergabung setahun kemudian atas undangan Cina, membentuk kelompok lima negara yang akan bertahan selama lebih dari satu dekade.
Gelombang ekspansi berikutnya terjadi pada KTT BRICS 2023, dengan undangan diberikan kepada enam pendatang baru: Argentina, Mesir, Etiopia, Iran, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab (UEA). Semua menerima kecuali Argentina, setelah Presiden baru terpilih Javier Milei berjanji untuk mengubah negaranya ke arah yang pro-Barat, dengan mengatakan bahwa negara tersebut tidak akan “bersekutu dengan komunis.” Arab Saudi dilaporkan telah menerima keanggotaan tersebut, namun menunda bergabung secara resmi tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut secara rinci.
Para kepala negara BRICS bersidang setiap tahun, dan masing-masing negara mengambil masa jabatan ketua selama satu tahun untuk menetapkan prioritas dan menjadi tuan rumah KTT. Blok ini bergantung pada pengambilan keputusan berdasarkan konsensus dan sebagian besar bersifat informal: tidak memiliki piagam, sekretariat, atau dana bersama yang jelas.
Perlawanan BRICS
Sejak awal, negara-negara BRICS memiliki sejumlah agenda. Utamanya adalah advokasi untuk keterwakilan yang lebih besar dalam organisasi global. BRICS berupaya untuk membentuk front persatuan perspektif ekonomi berkembang di lembaga-lembaga multilateral.
Kelompok ini bertujuan untuk mendorong reformasi lembaga-lembaga yang ada, seperti perluasan Dewan Keamanan PBB, dan untuk membentuk blok negosiasi di dalam lembaga-lembaga tersebut. Misalnya, banyak negara BRICS yang menentang kecaman PBB atas perang Rusia di Ukraina dan mencari posisi yang sama mengenai program nuklir Iran dan konflik di Afghanistan, Gaza, Libya, dan Suriah.
BRICS juga ingin mengkoordinasikan kebijakan ekonomi. Resesi global tahun 2008 memberikan pukulan berat bagi negara-negara BRICS, yang menyebabkan kelompok tersebut menekankan koordinasi ekonomi pada isu-isu seperti kebijakan tarif, pembatasan ekspor sumber daya penting, dan investasi. Arus masuk investasi asing langsung (FDI) tahunan di blok tersebut meningkat lebih dari empat kali lipat dari tahun 2001 hingga 2021, meskipun aliran tersebut telah melambat dalam beberapa tahun terakhir.
Agenda selanjutnya adalah mengurangi ketergantungan pada dolar AS. Semakin tidak puas atas dominasi dolar dalam transaksi global, yang membuat mereka terkena sanksi Barat, para pemimpin BRICS telah lama menganjurkan dedolarisasi demi peningkatan perdagangan mata uang lokal atau bahkan potensi mata uang BRICS.
BRICS juga mencoba melawan sistem keuangan global lama dengan membentuk New Development Bank (NDB) dan Contingent Reserve Arrangement (CRA). Lembaga-lembaga itu dibentuk untuk berhadap-hadapan dengan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF). Anggota BRICS berharap bahwa lembaga pemberi pinjaman alternatif dapat memperkuat kerja sama Selatan-Selatan dan mengurangi ketergantungan pada sumber pendanaan tradisional.
NDB dan CRA dirancang sebagai alternatif terhadap apa yang disebut pengaturan Bretton Woods, yaitu sistem keuangan global arus utama yang didirikan oleh negara-negara industri terkemuka setelah Perang Dunia II. Banyak negara di Dunia Selatan percaya bahwa lembaga-lembaga tersebut, khususnya Bank Dunia dan IMF, gagal memenuhi kebutuhan negara-negara miskin, terutama di bidang-bidang seperti pendanaan iklim.
“Sistem ini diciptakan oleh negara-negara kaya untuk memberi manfaat bagi negara-negara kaya,” tegas Sekretaris Jenderal PBB António Guterres. “Praktis tidak ada negara Afrika yang duduk di meja Perjanjian Bretton Woods.”
Negara-negara BRICS telah berupaya untuk mengurangi keunggulan dolar AS dalam perdagangan internasional selama lebih dari satu dekade, terutama dengan meningkatkan penggunaan mata uang mereka sendiri untuk perdagangan, khususnya renminbi atau yuan Cina. Terdapat juga dorongan untuk memperkenalkan mata uang baru yang digunanan negara-negara BRICS. Presiden Brazil Luiz Inácio Lula da Silva adalah salah satu pendukung utamanya. Proposal moneter lainnya yang diajukan pada KTT 2023 termasuk pendirian mata uang kripto baru atau penggunaan gabungan mata uang BRICS.
Namun, pihak yang skeptis mengatakan ambisi tersebut masih jauh dari tercapai. Mata uang BRICS memerlukan kompromi politik yang besar, termasuk kesatuan perbankan, kesatuan fiskal, dan konvergensi makroekonomi secara umum. Dolar AS, yang selama ini merupakan mata uang cadangan utama dunia, masih digunakan di lebih dari 80 persen perdagangan global, dan banyak ahli meragukan bahwa mata uang cadangan BRICS yang baru akan cukup stabil atau dapat diandalkan untuk dipercaya secara luas dalam transaksi global.
Tanggapan Barat
Menurut Council on Foreign Relations, negara-negara Barat umumnya meremehkan pertumbuhan kelompok ini. Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih Jake Sullivan mengatakan bahwa Washington tidak melihat BRICS sebagai saingan geopolitik, sementara Menteri Keuangan Janet Yellen sebagian besar menolak upaya untuk menjauh dari dolar.
Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock juga meremehkan peningkatan hubungan antara anggota BRICS. Analisa politik lainnya menyatakan bahwa ambisi negara-negara BRICS terlalu dibesar-besarkan, dan hambatan dalam negeri negara-negara anggotanya cukup meresahkan sehingga mampu menghambat ancaman nyata terhadap kesehatan ekonomi negara-negara Barat.
Namun, beberapa pembuat kebijakan di Eropa telah memperingatkan bahwa sentimen anti-Barat semakin konfrontatif. Mereka melihat ekspansi ini sebagai akibat dari lemahnya respons negara-negara Barat terhadap kebutuhan negara-negara berpendapatan rendah. Mereka mengatakan negara-negara Barat perlu mulai melakukan reformasi lembaga keuangan dengan sungguh-sungguh.
“Tuduhan bahwa negara-negara Barat arogan terhadap kebutuhan negara-negara Selatan adalah hal yang serius. Hal ini tidak dapat dijawab dengan menawarkan 'kemitraan berbasis nilai' dan multilateralisme 'berbasis aturan' ketika kepentingan BRICS terfokus pada perubahan aturan-aturan tersebut dalam keuangan global, perdagangan, dan prosedur penetapan standar lainnya,” tulis Günther Maihold rekan senior di Institut Urusan Internasional dan Keamanan Jerman.
Sementara Donald Trump yang terpilih pada Pilpres AS 2024 bersikap agresif. Pada awal Desember lalu ia mengancam akan mengenakan tarif 100 persen pada negara-negara yang tergabung dalam kelompok BRICS jika mereka menciptakan mata uang baru untuk menyaingi dolar AS.
Menulis di platform media sosialnya, Truth Social, Trump menyatakan bahwa dia juga akan bertindak jika mereka mendukung mata uang lain untuk menggantikan dolar. “Kami memerlukan komitmen dari negara-negara ini bahwa mereka tidak akan menciptakan mata uang Brics baru atau mendukung mata uang lain untuk menggantikan dolar AS yang perkasa, atau mereka akan menghadapi tarif 100 persen dan harus mengucapkan selamat tinggal pada penjualan ke perekonomian AS yang luar biasa,” kata Trump.
“Mereka bisa mencari pecundang lain. Tidak ada kemungkinan BRICS akan menggantikan dolar AS dalam perdagangan internasional, dan negara mana pun yang mencoba harus mengucapkan selamat tinggal kepada Amerika,” tambahnya.