Benarkah ‘Pagar Laut 30 Kilometer’ Terkait PSN di PIK 2?
Pagar-pagar laut ditemukan di perairan wilayah-wilayah lokasi PSN PIK 2.
Oleh: Fitriyan Zamzami, M Noor Afilan Choir, Eva Rianti, M Nursyamsi
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keberadaan yang disebut “pagar laut” sepanjang 30 kilometer di perairan Tangerang memantik rasa penasaran masyarakat Indonesia. Benarkah konstruksi itu terkait dengan Proyek Strategi Nasional (PSN) yang diintegrasikan dalam megaproyek Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 yang dibangun Agung Sedayu Group? Tim Republik pekan lalu menelusuri pesisir Kabupaten Tangerang untuk mencari tahu. Berikut laporannya.
Keluar dari kompleks raksasa PIK 2 laiknya turun dari langit ke bumi. Di balik tembok utara wilayah yang serba megah itu, segala macam kontras tampak jelas. Jalan-jalan raya yang jembar di dalam PIK 2 tiba-tiba hanya bisa dilalui dua mobil saling berimpitan begitu keluar portal utara di wilayah Tanjung Pasir, Teluk Naga, Kabupaten Tangerang. Rumah-rumah mewah dan apartemen menjulang berubah jadi petak sempit dengan tembok-tembok dan atap yang keropos.
Banjir menggenangi sejumlah jalan kampung yang sebagian tak beraspal, sebagian akibat rob, lainnya akibat hujan yang mengguyur sejak Rabu (8/1/2025) malam. Di tepian pantai, makin rusak bangunan-bangunannya. Kapal dan perahu nelayan kebanyakan ditambatkan. Sebagian sudah tak mungkin lagi dipakai berlayar karena rusak parah.
Dari Tanjung Pasir itu, tim Republika mencoba mencari tahu pasal kehebohan terkait yang disebut di media sosial sebagai “pagar laut 30 kilometer” di perairan Kabupaten Tangerang. Meski ramainya belakangan di sebelah barat Tangerang, dari lokasi tersebut sedianya sengkarut ini bermula.
Menuju ke laut lepas dari labuhan perahu di wilayah perkampungan Tanjung Pasir bukan perkara mudah. Reklamasi di Teluk Jakarta sudah sedemikian mendangkalkan jalur keluar, nyaris tak bisa dilalui ketika laut surut seperti pada Jumat sore ketika Republika bertolak dari sana. Sang kapten perahu bolak-balik harus turun ke air berjalan kaki mendorong perahu.
Lebih setengah jam baru bisa sampai ke muara menuju laut. Dari tepi laut, perahu bergerak ke arah mentari tenggelam, memutari tanjung kecil dan akhirnya tiba di deretan bambu-bambu. Bentuknya bangunan pagar itu di Tanjung Pasir, persis sama dengan yang dibuat sampai jauh ke barat.
Ada susunan bambu dilapisi paranet dan bagian atas dari anyaman bambu mengular mulai dari tepian pantai membentuk pagar seluar kira-kira dua kali lapangan sepak bola. Didalamnya, patok-patok bambu disusun seperti kapling-kapling perumahan. Gedung-gedung apartemen dan pohon-pohon kelapa yang disusun rapi di PIK 2 masih terlihat jelas dari pagar bambu di laut tersebut.
Jika sebagian pagar bambu di bagian barat Tangerang masih bisa dinaiki, di Tanjung Pasir tak bisa lagi. Anyaman bambu sudah berantakan dengan paranet yang lepas di sana-sini. Di pokok bambu, saat air surut di sore hari, terlihat kerang-kerang yang sudah menempel.
“Misterius apanya? Kita mah udah tahu itu buat PIK,” kata Adi, seorang nelayan di Tanjung Pasir kepada Republika. Ia meminta disamarkan namanya dengan dalih khawatir diburu aparat. Ia menuturkan, sudah sejak tiga bulan lalu warga Tanjung Pasir mengadukan keberadaan pagar laut tersebut ke aparat keamanan setempat. Tak ada tindakan yang diambil.
Ia kemudian menyampaikan betapa merepotkannya keberadaan pagar laut tersebut. “Biasanya kita berlayar beli lima liter sekarang bisa sampai 15 liter,” ujar dia. Hal ini karena sekarang para nelayan harus memutar jauh jika hendak memancing ke laut lepas.
Walhasil, ini membuat para nelayan tak bisa juga lebih lama di laut. “Dulu bisa bawa pulang sekitar dua kuintal (200 kilogram) ikan. Sekarang paling 20 kilo,” kata dia. Uang yang bisa dihasilkan para nelayan sebelum ada pagar laut mencapai Rp 150 ribu per hari. Sekarang Rp 25 ribu saja.
Nelayan penjaring ikan juga tak bisa lagi menebar jala di tepian karena dihalangi pagar laut. Tak hanya karena dipagari, menurutnya pengerjaan juga meninggalkan limbah yang membuat ikan kian ogah main di pinggiran. Di Tanjung Pasir, ada sekitar 370 perahu nelayan. Belakangan, tak sedikit nelayan yang kemudian menambatkan perahu mereka, hanya digunakan mengantar wisatawan ke Kepulauan Seribu atau lokasi pemancingan.
Warga Kampung Pasir, kata Adi, sudah lelah melawan. Mereka juga ketakutan. Ia menuturkan, tak sedikit warga yang berunjuk rasa di masa lalu ditangkap. “Yang terakhir ditangkap karena bela nelayan baru keluar bulan delapan tahun lalu,” ujarnya.
Sementara itu, menurut warga Tanjung Pasir lainnya, Yani, pagar laut itu sedianya lebih tepat disebut tanggul. Tanggul tersebut kedepannya akan diuruk. “Bukan pemagaran, nggak ada cerita laut di pagar, sejak kapan laut dipagar? Beda nggak nyambung. Sebenarnya itu pembuatan tanggul dimana tanggul itu adalah batas rehabilitasi yang akan dipekerjakan oleh pengembang,” katanya.
“Makanya ada relokasi itu jelas bahwa ini tanggul menjulur ke permukaan sekian meter ke sekian meter nah nanti direhab pengerukan dan sebagainya itu area pengusaha, pengembang,” ia menambahkan.
Kendati demikian, menurutnya dampak dari adanya pagar laut bagi nelayan tersebut sebenarnya bisa diperbaiki seperti beralih dari profesi nelayan hingga pembuatan kolam labuh. “Dampak itu bukannya tidak bisa diperbaiki atau direalisasikan karena pengembang dan pemerintah tidak fokus salah satu persoalan satu titik…,” katanya.
Beda pandangan kedua warga itu jamak di Tanjung Pasir. Sebagian masih memandang dengan sinis pengembangan PIK, lainnya membela. “Jadi percuma kami melawan. Yang dilawan ini tetangga-tetangga sendiri,” ujar salah seorang warga. Bagaimanapun, semua warga dan nelayan sepakat bahwa pagar laut yang muncul belakangan terkait dengan pengurugan untuk perluasan PIK 2 dan PSN.
Mengular di perairan PSN...
Pemagaran di laut memang tak lama setelah pemerintah Presiden Joko Widodo menetapkan 14 PSN baru melalui Rapat Internal dengan menteri terkait di Istana Negara pada 18 Maret 2024 lalu. Salah satu PSN baru yang ditetapkan adalah wilayah berbasis hijau seluas 1.756 hektare yang dinamakan “Tropical Coastland”. Ia disebut pemerintah akan terintegrasi dengan proyek raksasa PIK 2 seluas 30 ribu hektare yang dikembangkan Agung Sedayu Group.
Panjang proyek PSN itu merentang sejauh 42 kilometer di pesisir utara Tangerang. Dalam keterangan resmi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada 24 Maret 2024, PSN di PIK 2 bernilai investasi Rp 65 triliun. Kawasan PSN Tropical Coastland juga akan terdiri dari lima zona. Lima zona itu akan dihubungkan jalan utama sejauh 47 kilometer di Kabupaten Tangerang.
Pada Zona A akan dibangun Taman Bhinneka di 54 hektare hutan produksi di Kelurahan Salembaran Jaya, Kosambi. Lokasi wisata religi, taman komunitas dan zona tematik lainnya akan dibangun di sana. Sedangkan di Zona B akan dibangun taman safari dan lapangan golf dan hotel di 261 hektare hutan produksi. Wilayahnya yang terdampak proyek ini adalah Desa Kohod, Kramat, Sukawali, dan Surya Bahari di Kecamatan Pakuhaji.
Zona C, di Desa Muara dan Tanjung Pasir di Kecamatan Teluknaga; akan disulap menjadi Mangrove Center seluas 77 hektare, Safari Mangrove 218,6 hektare, Sarana Olahraga Polo 40 hektare, dan Mangrove Broadwalk 62,2 hektare. Sedangkan Desa Lemo dan Tanjung Burung, Kecamatan Teluknaga masuk dalam Zona D. Di sana akan dibangun sirkuit internasional dan 263 hektare hutan produksi.
Di ujung barat Kabupaten Tangerang, ada Zona E yang paling luas. Wilayah proyek di Zona E mencapai 687 hektare, utamanya untuk lokasi agro wisata dan olahraga ekstrem. Wilayah yang terdampak ada di Desa Ketapang dan Mauk Barat di Kecamatan Mauk; Desa Pagedangan Ilir, Kronjo, dan Muncung di Kecamatan Kronjo; serta di Desa Patra, Manggala, Karang Anyar, dan Lontar di Kecamatan Kemiri.
Pemerintah belakangan berdalih bahwa tak ada pagar laut yang dibangun di wilayah PSN. Meskipun demikian, faktanya pagar-pagar laut ditemukan di perairan sepanjang wilayah yang nantinya jadi lokasi proyek tersebut. Merujuk temuan pemerintah pusat daerah, pagar-pagar laut ditemukan di perairan tiga desa di Kecamatan Kronjo (lokasi Zona E), tiga desa di Kecamatan Kemiri (lokasi Zona E), empat desa di Kecamatan Mauk (lokasi Zona E), satu desa di Kecamatan Sukadiri (diapit lokasi Zona E dan Zona B), tiga desa di Kecamatan Pakuhaji (lokasi Zona B), dan dua desa di Kecamatan Teluknaga (lokasi Zona B).
Di lokasi Zona E, Republika melanjutkan penelusuran pagar laut. Tim Republika tiba di Kronjo pada Kamis (9/1/2025) malam. Jalan menyusuri tepian utara Kabupaten Tangerang itu banyak yang belum diterangi lampu jalan. Gelap dengan jalan sempit dan pohon-pohon lebat di kiri kanan.
Di ujung Kecamatan Kronjo, ada Kampung Pulau Cangkir. Ia salah satu kampung yang paling terbuka ke laut. Jarak rumah ke rumah di kampung itu terkadang mencapai lebih seratus meter. Kampung itu biasanya hanya ramai saat banyak peziarah datang ke Pulau Cangkir di sebelah barat yang jadi lokasi makam Syekh Waliyudin. Pada hari-hari tertentu, ramai orang mendatangi makam cucu Sunan Gunung Jati tersebut.
Namun, ada keramaian lain di Kampung Pulau Cangkir, pada pertengahan 2024 lalu. Kala itu, tiba-tiba saja datang sejumlah mobil bak membawa puluhan pekerja. Tak ada di antara wajah-wajah para pekerja tersebut yang dikenali warga kampung. Mobil-mobil bak itu, terkadang sehari enam unit datangnya. Mereka membawa juga bambu-bambu dengan jumlah besar, diturunkan di kampung tersebut.
Bambu-bambu tersebut lalu dilarung di salah satu sudut kampung. Dibentuk seperti rakit-rakit, kemudian ditarik dengan perahu sekitar satu kilometer ke tengah lautan. Di lautan, para kuli dengan sigap menancapkan bambu-bambu tersebut ke dasar laut.
Saat Republika menyambangi Pulau Cangkir pada Kamis (9/1/2025), masih ada sisa-sisa bambu yang tak terpakai. Beberapa tergeletak begitu saja tak ada yang menyentuh. “Jangan ditulis nama saya, takut dilaporin,” ujar seorang warga setempat kepada Republika. “Iya di sini bambunya (diletakkan). Terus bawanya pakai perahu di sini dibuat seperti rakit, dua tiga rakit dibawa ke sono ditancep-tancepin. Jadi kayak gerbong kereta dipanjangin,” kata warga lainnya.
Ketakutan untuk dikutip namanya dibagi merata warga kampung. Mereka sepemahaman soal bahayanya memberikan keterangan secara terbuka bagi awak media selepas viral keberadaan pagar laut tersebut.
Sejumlah warga yang ditemui Republika menuturkan tak ada warga kampung yang kala itu paham untuk apa pengerjaan pagar laut tersebut. “Ya tanya ke yang kerja, nggak tahu buat apa katanya. Warga juga nggak tahu, nggak ada yang tahu, ya udah mentok,” ,” tutur warga lainnya. Para pekerja, menurut mereka, datang dari berbagai wilayah di Tangerang, namun tak ada yang dari kampung setempat. Mereka mengaku dibayar sekitar Rp 60 ribu sampai Rp 65 ribu untuk mengerjakan per meter pagar laut.
Para pekerja di Pulau Cangkir kala itu mengerjakan pagar laut yang merentang di wilayah laut tiga desa di sekitarnya. Karena posisi Pulau Cangkir tergolong strategis, para pekerja memilih berangkat dari sana. “Mereka biasa datang pagi, ngopi-ngopi, makan mie, kemudian bekerja ke laut. Malamnya ke darat, makan lagi dan minum es atau ngopi, terus pulang lagi,” tutur warga tersebut.
Setelah bambu-bambu tersebut tiba, ia menceritakan warga sempat diperingatkan agar tidak mengambil. “Jangan macem-macem itu disitu, jangankan ngambil banyak ngambil sebatang aja bisa kena kasus,” katanya sambil menirukan imbauan dari petugas Polairud (Kepolisian Perairan dan Udara).
Pengerjaan pagar laut, menurutnya dilakukan secara borongan mulai dari pagi hingga sore. Para pekerjanya dibagi per tim dan digaji berdasarkan jumlah pengerjaannya. Ia juga mengatakan bahwa pengerjaannya itu dilakukan secara manual tanpa menggunakan alat. “Yang kerjanya banyak, setim ada yang pakai 10 orang, ada yang pakai enam orang, sekali jalan kadang lebih dari 10 tim. Ada yang bilang upahnya Rp 60 ribu per meter, ada yang Rp 65 ribu per meter,” katanya.
Sejumlah warga lainnya menuturkan bahwa sejak awal pembangunan, pagar laut itu sudah bikin kesal nelayan setempat. Pasalnya, mereka yang biasanya langsung berlayar harus memutari pagar yang didirikan. “Biasa beli solar tiga liter ini bisa jadi delapan liter,” tutur mereka. Selain itu, menurut Dulrasid, seorang nelayan senior di Kronjo, keberadaan pagar laut sangat membahayakan para nelayan. Utamanya saat air pasang dan cuaca buruk. Ia menuturkan tak sekali-dua kali nelayan menabrak pagar laut tersebut.
Pada September, para nelayan kemudian mengadu ke Polairud setempat. Laporan itu agaknya sampai ke markas Polairud di Karangantu, di Serang, Banten. Petugas kepolisian tersebut kemudian datang dengan kapal besar di laut Pulau Cangkir. Pengerjaan sempat terhenti setengah bulan sejak kedatangan petugas polisi tersebut. Kendati demikian, berlanjut lagi hingga akhirnya pungkas pada akhir Oktober. “Katanya harus selesai sebelum Natal,” ujar seorang warga.
Meski tak ada jawaban pasti soal alasan keberadaan pagar laut itu, sas-sus telanjur beredar di masyarakat. Desas-desus pun beredar di tengah masyarakat jika akan ada pengurukan. “Katanya mau diurug, tau bener nggak. Katanya kayak di Ancol, ceritanya gitu. Kampungnya nanti nggak kelihatan rumahnya tinggi-tinggi,” katanya.
Peta laut?
Dari Pulau Cangkir, tim Republika kembali berlayar untuk menyambangi lokasi pagar laut tersebut. Ia tak jauh dari daratan. Dengan perahu nelayan kecil, sekitar sepuluh menit sampai. Bambu-bambu mulai ditancapkan di laut sekitar 500 meter hingga satu kilometer dari muara kali. Di laut, bentuk “pagar bambu” itu beragam. Ada yang ditancapkan satu satu. Ada juga yang dibuat semacam koridor dengan jaring di sampingnya dan anyaman bambu yang bisa dilangkahi.
Bentuknya tak sepenuhnya memanjang menyusuri kontur tepian pantai. Ia juga tak sepenuhnya mengular sepanjang 30 kilometer. Pagar-pagar itu merupakan segmen-segmen terpisah yang merentang dari ujung ke ujung perairan utara Kabupaten Tangerang.
Bagaimanapun, kebanyakan pagar-pagar itu memadat di sekitar kampung nelayan. Ini yang membuat maraknya keluhan karena menghalangi pergerakan nelayan di laut serta menyempitkan area penjaringan.
Pagar yang bisa dinaiki biasanya mengular melingkupi bidang luas tertentu. Didalamnya, kebanyakan pagar bambu membentuk semacam persegi panjang dengan bukaan di salah satu sisinya. Dilihat dengan drone yang dioperasikan fotografer Republika, ia mirip dengan kapling-kapling pertanahan.
Hal itu diiyakan nelayan setempat yang ditemui Republika. Nurdin, salah satu ketua kelompok usaha bersama nelayan di Kronjo, mengatakan mereka sudah memertanyakan tujuan pagar itu sedari mulai berdiri sekitar tiga bulan lalu. Saat itu tak ada penjelasan serta permisi kepada para nelayan terkait pembangunan pagar. “Nggak ada koordinasi dengan nelayan, nelayan nggak tahu,” katanya ditemui di Kronjo, Jumat (10/1/2025).
Setelah didesak, sejumlah pihak akhirnya membeberkan maksud pembangunan pagar tersebut. “Kata orang dinas itu buat peta doang. Kalau udah buat peta udah selesai terserah nelayan mau diapain mereka mau buat peta doang,” katanya. Ia juga mengetahui bahwa “pagar-pagar” itu tak dimaksudkan berdiri secara permanen. Selepas pemetaan, pagar-pagar itu akan dibiarkan hancur.
Dulrasid, nelayan lainnya mengiyakan , pemasangan patok-patok di lautan itu hampir bersamaan dengan pembebasan lahan yang marak setahun belakangan. Saat sawah-sawah yang dibeli dari warga mulai diurug lima bulan lalu, saat itu juga patok di laut mulai ditancapkan.
Patok bambu ditanam di Tanjung Kait, Ketapang, Penyawakan, Pulau Cangkir, sampai Tanara. Sementara sawah-sawah yang diurug mulai dari Kampung Gaga, Pagedangan Ilir, sampai Muncung. “Kalau malam kita dengar gruduk-gruduk,” ujarnya menggambarkan pengurugan.
Saat ini, menurutnya pengurugan sedang berhenti. Ini terkait dengan unjuk rasa nun di timur Kabupaten Tangerang, di Tanjung Pasir. Beberapa waktu lalu, di wilayah itu salah satu truk yang membawa pasir untuk mengurug tanah menabrak anak kecil dan memicu kemarahan warga.
Warga lainnya yang merupakan tokoh masyarakat setempat mengungkapkan bahwa sepengetahuannya pagar laut tersebut memang dikerjakan oleh pihak pengembang. Ia menyangkal bahwa pagar-pagar itu bikinan para nelayan dan warga. “Warga biasa mana bisa bikin begitu. “Dananya miliaran itu berapa juta batang bambu itu. Satu malam itu bisa delapan truk yang datang,” katanya.
Ia mengungkapkan, setahun sebelum ada pagar laut sudah ada kabar pembebasan tanah warga untuk keperluan PSN PIK 2. Baru kemudian pagar laut dibangun bersamaan dengan penyelesaian pembebasan lahan. Ia mengungkapkan hampir 90 persen tanah milik warga di kampung pulau cangkir sudah dibebaskan. “Banyak di sini, sudah 90 persen (pembebasan lahannya),” katanya.
Pihaknya mengungkapkan terkesan ada intimidasi kepada masyarakat untuk melepas tanah. Ia menyesal tak menjual tanahnya ketika ada yang menawar 130 ribu rupiah/meter. Bahkan sebelum ramai-ramai soal pagar laut, soal pembebasan lahan ini yang membuat heboh lebih dulu.
“Jadi yang dipermasalahkan itu harga tanah itu sebenarnya. Yang saya kaget yang survei itu dari Rp 300 ribu (per meter) jadi 50 ribu, sekarang jadi Rp 48 ribu per meter,” katanya. “Sebetulnya kalau saya pribadi nggak mau, karena keterpaksaan ya daripada tanah diurug uang nggak dapet,” katanya tertunduk.
Ia juga bercerita pernah ada saudagar setempat yang menolak menjual lahan namun kemudian jadi incaran aparat. “Karena masyarakat mau berontak juga kan ada fakta seperti itu.Orang paling kaya di sini aja kalah apalagi kita yang nggak punya apa apa,” katanya.
Ia mengeklaim bahwa pembebasan lahan dilakukan oleh PT Kukuh Mandiri Lestari (PIK 2). Perusahaan itu dinaungi Agung Sedayu Group. “Semua rata cuma melalui ibaratnya bukan melalui PT Agung Sedayu ya, tapi kan ada anak perusahaannya, PT Kukuh Mandiri,” katanya.
Apa bukti peran PT Kukuh Mandiri tersebut?. “Itu dipasang plank di sawah ibu saya karena proyek mirip PIK,” katanya menambahkan. Lokasi tanahnya tersebut, kata sang tokoh masyarakat, masuk Zona 5 PSN di Pagedangan Ilir.
Dari itu, menurut sang tokoh masyarakat, pemasangan pagar laut punya kaitan erat dengan pembebasan lahan tersebut. “Saya pikir oh berarti ini di lokasi yang ada pemagaran ini berarti laut nanti digusur jadi daratan jadi rata dengan tanah bukan lautan perasaan saya,” kata dia.
Agung Sedayu: Fitnah!
Pengembang PSN PIK 2 Agung Sedayu Group (ASG) membantah banyaknya tuduhan mengenai pembangunan pagar laut sepanjang 30 kilometer (km) di pesisir Tangerang, Banten. Termasuk juga mengenai informasi dugaan kehadiran pagar laut itu dilakukan untuk pemetaan lahan.
Kuasa Hukum Agung Sedayu Group Muannas Alaidid menyampaikan bantahannya atas sejumlah informasi yang diperoleh Republika atas kesaksian dari warga di kawasan pesisir Tangerang, Banten.
Mulai dari mengenai adanya informasi dari warga Pulau Cangkir bahwa sudah ada pembebasan lahan sejak setahun belakangan, yang diduga terkait dengan pembangunan PIK 2 yang dilakukan pengembang. Muannas menilai Pulau Cangkir tidak masuk dalam kawasan pengembangan, karena dinilai bukan daratan.
“Kalau tadi saya konfirmasi (manajemen ASG), nggak ada, itu fitnah semua. Gak ada pembelian (untuk pembebasan lahan) di situ,” Muannas kepada Republika, Sabtu (11/1/2025).
Kemudian mengenai kesaksian warga dari Tanjung Pasir sampai Kronjo yang menyampaikan bahwa pagar laut nantinya akan menjadi pembatas reklamasi PIK 2. Muannas pun membantah adanya perluasan PIK sampai ke kawasan tersebut.
“Nggak betul. Fitnah,” tegasnya.
Lalu, termasuk juga informasi dari warga yang menyampaikan bahwa pagar laut yang terbuat dari bambu itu dibangun untuk pemetaan lahan.
“Fitnah!” tegasnya kembali.
Muannas menegaskan bahwa tidak ada keterlibatan klien-nya, ASG, dengan kehadiran pagar laut ‘misterius’ tersebut, seperti yang dituduhkan.
“Saya tegaskan, berita terkait adanya pagar laut itu (dikaitkan dengan pengembang PSN PIK 2) tidak benar,” kata dia.
Menurut penuturan Muannas, berdasarkan informasi yang mereka ketahui, pembangunan pagar laut itu justru dibangun oleh masyarakat sekitar. Ia menyebutkan beberapa dugaan kepentingan warga sekitar dalam melakukan pembangunan pagar laut tersebut.
“Karena sebenarnya yang kami tahu itu merupakan tanggul laut yang terbuat dari bambu yang biasanya difungsikan untuk pemecah ombak, dan akan dimanfaatkan masyarakat sekitar sebagai tambak ikan di dekat tanggul laut tersebut, atau digunakan untuk membendung sampah seperti yang ada di Muara Angke. Atau bisa jadi sebagai pembatas lahan warga pesisir yang kebetulan tanahnya terkena abrasi,” ungkapnya.
Muannas menyampaikan itulah beberapa kemungkinan yang terjadi, bahwa pemagaran laut berkaitan dengan kepentingan dari masyarakat sekitar. “Itu adalah tanggul laut biasa yang terbuat dari bambu, yang dibuat dan diinisiatif dan hasil swadaya masyarakat, yang kami tahu. Tidak ada kaitan sama sekali dengan pengembang karena lokasi pagar tidak berada di wilayah PSN maupun PIK 2,” ia menegaskan.
Dalih dari Agung Sedayu itu disangkal semua nelayan dan warga yang ditemui Republika di Tanjung Pasir dan Kronjo. “Ya dipikir saja, Mas. Masak nelayan mau bikin susah diri sendiri,” kata Adi, nelayan di Tanjung Pasir.
Di wilayah pemagaran yang dikunjungi Republika di Tanjung Pasir maupun di Kronjo, terlihat jelas perbedaan konstruksi pagar-pagar itu dengan bagan-bagan pemancingan maupun pembiakan kerang yang dibangun nelayan-nelayan.
Sementara konstruksi pagar laut, seragam dari Tanjung Pasir sampai ke Kronjo. Bagian luar pagar dibuat dengan susunan bambu, paranet, dan anyaman bambu. Karung-karung berwarna putih juga diletakkan di pagar utama di semua wilayah. Bahan-bahan dan konstruksi yang seragam itu mengindikasikan pagar laut dibangun pihak yang sama berpuluh-puluh kilometer.
Sedangkan di Pulau Cangkir, Kronjo, Kabupaten Tangerang, jangan kata berinisiatif membuat pagar bambu, warga setempat bahkan tak boleh ikut mengerjakan. Seorang warga tempatan menuturkan, sempat ada sebagian anak muda yang ingin ikut membangun karena tergiur bayaran yang diceritakan para pekerja dari luar. “Tapi nggak boleh. Katanya harus punya truk dan perahu sama minimal sepuluh orang. Ya jadi warga di sini gigit jari saja,” kata warga yang berjualan di dekat lokasi pekerja pagar bambu berangkat.
Pencatutan PSN...
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) angkat bicara mengenai isu pagar laut di perairan Tangerang yang disebut berada dalam kawasan proyek strategis nasional (PSN). Staf Khusus Menteri bidang Hubungan Masyarakat dan Komunikasi Publik Doni Ismanto Darwin mengatakan KKP telah mendalami dengan saksama area tersebut untuk mendapat informasi valid terkait keberadaan pagar laut tersebut.
"Lokasi pagar 30 km itu bukan cakupan PSN," ujar Doni saat dihubungi Republika di Jakarta, Jumat (10/1/2025).
Doni menyampaikan pemagaran ruang laut merupakan tindakan melanggar aturan, terlebih dilakukan tanpa izin karena mengganggu akses publik, privatisasi, merusak keanekaragaman hayati, dan terjadinya perubahan fungsi ruang laut. Doni mengatakan larangan pemagaran laut ini tidak hanya berlaku di Indonesia, tetapi juga di internasional, karena tidak sesuai dengan praktik United Nations Convention on the Law of the Sea atau UNCLOS 1982, yaitu perjanjian internasional yang mengatur hukum laut.
KKP, lanjut Doni, telah mengambil sejumlah langkah dalam kasus pagar laut tersebut. Doni menyampaikan sudah melaksanakan pengumpulan bahan dan keterangan terkait aduan masyarakat atas pemagaran di perairan Kecamatan Mauk, Kabupaten Tangerang pada September lalu.
"Kemudian, pada 7 Januari lalu, KKP menggelar diskusi publik yang dihadiri 16 kepala desa terkait dengan isu pemagaran laut ini. Ada juga perwakilan dari Pemda Tangerang, Ombudsman, ahli pengelolaan pesisir dan analis pertanahan, hingga asosiasi nelayan," ucap Doni dalam akun Instagram, Kementerian Kelautan dan Perikanan, @kkpgoid, Kamis (9/1/2025).
Doni menyebut diskusi ini menjadi langkah kolaboratif KKP bersama semua pihak untuk secepatnya menyelesaikan persoalan pemagaran laut di Tangerang. Doni mengatakan ada indikasi melanggar peraturan, karena berdasarkan hasil analisis peta citra satelit dan rekaman geotagging selama 30 tahun terakhir, menunjukkan area sepanjang 30 km yang dipagar tersebut pernah berbentuk daratan dan didominasi sedimentasi, bukan abrasi.
"Sehingga pemanfaatan area tersebut harus sesuai prosedur yang sudah ditetapkan pemerintah, diantaranya harus memiliki kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut atau KKPRL yang dikeluarkan oleh KKP," sambung Doni.
Doni menyampaikan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono berkomitmen menjadikan ekologi sebagai panglima dalam tata kelola sektor kelautan dan perikanan. Doni menyebut Trenggono menaruh perhatian penuh terhadap kegiatan-kegiatan yang diindikasi ilegal dan merugikan masyarakat serta mengancam keberlanjutan ekosistem mendapat.
"Secara khusus untuk kasus pemagaran laut di perairan Tangerang ini, Bapak Menteri sudah memerintahkan kepada Dirjen PSDKP untuk segera melakukan penertiban dan investigasi secara mendalam," kata Doni.
Doni berharap dukungan dan sinergi yang kuat bersama pemerintah daerah, kepala desa, hingga masyarakat di sekitar lokasi pemagaran untuk ikut membantu mengusut kasus ini sampai tuntas, termasuk mengungkap siapa dalang di balik pemagaran laut di perairan Tangerang tersebut.
Pekan lalu, sedianya Ombudsman RI sudah mengungkap dugaan pencatutan wilayah PSN akibat pemagaran laut sejauh satu kilometer dari bibir pantai di Kecamatan Kronjo. Anggota Ombudsman RI, Yeka Fatika Hendra dalam keterangannya di Serang, Jumat, mengatakan pemagaran laut itu menghambat aktivitas masyarakat nelayan di sekitarnya dalam mencari nafkah.
“Ini jelas bukan kawasan PSN! Kok ada pemasangan pagar bambu di laut hingga 1 kilometer dari pinggir laut? Ini jelas merugikan nelayan ! Tidak kurang dari Rp 8 miliar nelayan rugi gara-gara pagar bambu ini,” ujar dia dilansir Antara.
Pihaknya meragukan apabila aparat penegak hukum tidak mengetahui hal ini. Ia meminta agar bambu berlapis-lapis segera dicabut, demi pelayanan terhadap nelayan. “Kami melihat ada kebutuhan untuk mengklarifikasi hal ini dengan pihak-pihak yang terkait, agar tidak terjadi kesalahpahaman lebih lanjut,” ujar Yeka.
Selanjutnya, langkah-langkah koordinasi dengan pemerintah daerah dan instansi terkait pun akan dilakukan untuk mencari solusi terbaik. Yeka juga menyoroti potensi dampak lingkungan dari aktivitas penimbunan tambak dan sungai yang dilakukan tanpa izin.
Ia menilai bahwa tindakan tersebut tidak hanya merugikan masyarakat tetapi juga mengancam kelestarian ekosistem setempat. “Kami akan terus mendorong pihak-pihak terkait untuk mencari solusi terbaik yang adil dan berpihak pada kepentingan masyarakat,” kata Yeka.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada satupun pihak yang secara pasti mengeklaim soal pemagaran laut dan kaitannya dengan PSN PIK 2. Pihak KKP menyatakan sudah melakukan penyegelan terhadap pagar-pagar laut di perairan Tangerang. Presiden Prabowo Subianto secara langsung yang disebut memerintahkan penyegelan.
Pihak kementerian mengancam akan melakukan pembongkaran jika pihak yang mengerjakan tak melucuti sendiri. Langkah ini ditertawakan para nelayan. “Katanya disegel (pemerintah). Lah udah selesai kok sekarang. Kok baru disegel sih? Kan udah selesai,” ujar salah satu yang ditemui Republika di pelelangan di Kronjo.
Buat para nelayan dan warga pesisir, ini bukan semata persoalan pemagaran laut. Ini juga soal penghidupan mereka kedepannya. Bayang-bayang kehilangan kampung halaman dan penghidupan yang sudah mereka geluti bergenerasi di depan mata. Pemerintah menyatakan puluhan ribu ribu lapangan pekerjaan akan tersedia dengan dibangunnya PSN. "Iya, tapi kita cuma jadi satpam, tukang sapu, pelayan, yang jagain mesin sama portal," ujar seorang nelayan di Tanjung Pasir.