Dipolisikan Usai Hitung Kerugian Korupsi Timah Rp 271 Triliun, Prof IPB Beberkan Fakta Ini
Profesor IPB bertanya-tanya pada bagian mana keterangannya disebut palsu?
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Profesor Bambang Hero Sahardjo, ahli lingkungan hidup dan ekologis tak ambil pusing dengan pihak-pihak yang melaporkannya ke Polda Bangka Belitung terkait tuduhan memberikan keterangan palsu atas penghitungan kerugian kerusakan lingkungan senilai Rp 271 triliun dampak korupsi penambangan timah ilegal di lokasi IUP PT Timah 2015-2022.
Guru Besar dari Institut Pertanian Bogor (IPB) itu justru balik bertanya kepada pihak yang melaporkannya itu tentang keterangannya yang mana dinilai palsu.
“Palsunya itu di mana? Kalau saya yang dikatakan telah memberikan keterangan palsu, tentu sejak dari penyidikan, dan juga pada saat di persidangan, semestinya keterangan saya sudah ditolak. Tetapi nggak kan? Keterangan saya kan nggak ditolak. Justeru keterangan saya diterima oleh majelis (hakim),” kata Hero saat dihubungi, Ahad (12/1/2025).
Profesor mengaku tak mengetahui telah jadi terlapor atas Pasal 242 KUH Pidana di Polda Bangka Belitung. Ia justru mendapat informasi tersebut dari media.
“Saya sampai dengan hari ini sebenarnya belum melihat seperti apa laporan resminya. Karena saya, juga belum menerima surat laporannya itu. Saya tahunya dilaporkan itu justru dari berita teman-teman media,” ujarnya.
Pun sebetulnya, ia malas meladeni pelaporan pidana tersebut. Karena menurutnya pemolisian itu menunjukkan adanya ketidakpahaman dari pihak pelapor atas perannya sebagai ahli dalam proses pengusutan korupsi timah itu. “Sehingga saya mau merespons seperti apa?,” ujar dia.
Mengganggu psikologis
Tetapi kata Bambang, berita-berita tentang pelaporannya itu juga mengganggu psikologis timnya sesama akademisi yang turut-serta membantu dalam penghitungan krugian kerusakan lingkungan dan ekologis akibat penambangan timah ilegal tersebut.
Sehingga, kata Bambang, pengancaman pidana melalui pelaporan polisi itu, serta ragam pendegradasian pribadi terhadapnya dianggap sebagai penyerangan individu yang disengaja. “Itu akhirnya apa, jadinya membuat teror saja itu. Nggak bagus kan. Teman-teman juga banyak yang komplain. Karena itu bisa dianggap pelanggaran terhadap HAM (hak asasi manusia),” kata Bambang.
Di sejumlah pemberitaan, kata Bambang, ia membaca pelaporan terhadapnya terkait statusnya sebagai ahli yang telah memberikan keterangan palsu di persidangan terkait kerugian lingkungan dan ekologis senilai Rp 271 triliun dalam korupsi penambangan timah.
Namun begitu, ia lagi-lagi tak mengerti tentang keterangan mana yang dinilai palsu oleh pelapor. “Saya dibilang memberikan keterangan palsu. Nah ini keterangan palsunya itu seperti apa? Yang palsunya itu yang di mana?,” ujar Bambang.
Ada juga pemberitaan-pemberitaan terkait dirinya yang dinilai tak punya kapasitas sebagai ahli lingkungan dan ekologis. Bambang dicap tak memiliki kompetensi dalam penghitungan kerugian lingkungan dan ekologis dampak dari korupsi penambangan timah.
Ia menegaskan, korupsi penambangan timah, bukan kasus perdana yang melibatkan dirinya sebagai ahli lingkungan dan ekologis untuk menghitung dampak kerusakan dan kerugiannya. “Saya menangani kasus lingkungan itu sudah lebih seribu kasus yang saya tangani sejak tahun 2000 sampai sekarang,” ujar Bambang Hero.
Bambang beberkan fakta
Pun ia mengaku adalah salah-satu akademisi dari bidang lingkungan hidup yang turut-serta terlibat dalam penyusunan Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup 7/2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup. “Dari A sampai Z saya tahu dan mengerti tentang aturan itu,” ujar Bambang.
Latar belakang itu yang membuatnya dipercaya oleh Fakultas Kehutanan dan Lingkungan di IPB, Jawa Barat (Jabar). Yaitu dalam memenuhi permintaan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) di Kejaksaan Agung (Kejagung) yang meminta pendapat dari tim ahli IPB dalam melakukan penghitungan kerugian materil kerusakan lingkungan dan ekologis dampak dari penambangan timah ilegal di lokasi IUP PT Timah di Bangka Belitung sepanjang periode 2015-2022.
“Saya diminta secara resmi oleh penyidik Pidsus (Pidana Khusus) Kejaksaan Agung. Permintaan itu melalui Dekanat Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB. Lalu dekan, menugaskan saya dan tim,” begitu kata Bambang.
Dalam penghitungan kerugian kerusakan lingkungan dan ekologis tersebut, pun Bambang mengacu pada persyaratan yang ditentukan oleh peraturan resmi dalam undang-undang, maupun peraturan menteri.
Bahwa kata dia, penghitungan kerugian kerusakan lingkungan dan ekologis tersebut harus pada area atau kawasan penambangan yang memang benar-benar mengalami kerusakan. “Bahwa area yang dihitung kerugiannya itu harus dipastikan dulu bahwa memang rusak. Dan kami melakukan sampling, ambil sampel pada wilayah-wilayah yang diduga rusak, dan akhirnya diketahui bahwa area itu memang rusak,” ujar Bambang.
Bambang bersama timnya menginventarisir kondisi area kerusakan lingkungan tersebut melalui citra satelit pada periode 2015 sampai 2022, bahkan sampai pada 2023-2024. Wilayah penghitungan kerusakan lingkungan berada di tujuh titik kawasan eksplorasi penambangan timah di lokasi PT Timah.
Dari penghitungannya tercatat 170,36 ribu Hektare (Ha) galian. Cakupan luas penambangan terdiri dari 75,34 ribu Ha galian di kawasan hutan, dan 95,01 ribu Ha galian di kawasan nonhutan. Dari total luas galian tersebut terverifikasi hanya 88,90 ribu Ha yang memiliki izin usaha pertambangan (IUP). “Selebihnya galian seluas 81.462,602 hektare tidak memiliki IUP atau non-IUP,” kata dia.
Bambang melanjutkan, dari pemantauan berdasarkan satelit, dan hasil tinjauan langsung di lapangan, pun diketahui pembukaan kawasan pertambangan timah di wilayah daratan dan laut mencapai 915,85 ribu Ha. Pembukaan kawasan pertambangan itu terbagi seluas 349,65 ribu Ha di wilayah daratan dan 566,20 ribu Ha pembukaan pertambangan di areal laut-perairan.
“Dan dari 349.653,574 hektare pertambangan yang berada di kawasan darat tersebut, 123.012,010 hektare di antaranya berada di dalam kawasan hutan lindung,” begitu terang Bambang.
Dari penghitungan timnya, kata Bambang, kerusakan lingkungan atau ekologi dari dampak eksplorasi timah tersebut, terbagi ke dalam tiga klaster. Pertama terkait dengan kerugian lingkungan atau ekologis sebesar Rp 183,70 triliun.
Klaster kedua dalam kerugian ekonomi lingkungan sebesar Rp 74,47 triliun. Terakhir terkait dengan kerugian dalam kewajiban pemulihan lingkungan senilai Rp 12,15 triliun. “Sehingga total kerugian dari kerusakan lingkungan hidup setotal Rp 271.069.688.018.700 (Rp 271,06 triliun),” kata Bambang.
Ia melanjutkan, penjelasannya tentang angka kerugian Rp 271 triliun akibat kerusakan lingkungan dan ekologis tersebut, digunakan oleh penyidik di Jampidsus untuk menjadi acuan dalam penghitungan kerugian negara terkait korupsi penambangan timah.
Pun angka Rp 271 triliun tersebut dipadukan dengan hasil investigasi oleh auditor negara, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagai bagian dari besaran kerugian negara setotal Rp 300 triliun dalam korupsi penembangan timah.
BPKP menambahi kerugian negara lainnya senilai Rp 2,2 triliun terkait kerjasama ilegal dalam sewa-menyewa alat processing pelogaman timah. Dan Rp 26,6 triliun kerugian negara dalam pembelian bijih timah oleh PT Timah atas hasil penambangan ilegal di lokasi IUP PT Timah.
Di persidangan kata Bambang, majelis hakim PN Tipikor menjadikan penghitungan-penghitungan tersebut sebagai dasar untuk menjatuhkan pidana terhadap para terdakwa korupsi timah. Dalam putusan PN Tipikor, kerugian negara setotal Rp 300 triliun, yang sebagainnya Rp 271 triliun adalah akibat kerusakan lingkungan dan ekologis terbukti.
“Nah majelis hakim juga menerima hasil penghitungan kami, yang itu digunakan saat peyidikan, dan dilengkapi oleh BPKP, sehingga dari (Rp) 271 triliun kerusakan lingkungan itu, menjadi kerugian negara (Rp) 300 triliun itu terbukti. Lalu kok saya yang dipersalahkan? Alasannya apa?,” ujar Bambang.
Pun, kata Bambang, selama ia memberikan keterangan sebagai ahli saat di persidangan, tak ada satupun dalil dari pihak terdakwa, ataupun pihak-pihak terlibat lainnya yang memberikan hasil penghitungan tandingan atas kerugian kerusakan lingkungan senilai Rp 271 triliun itu. Sebab itu, menurut dia, aksi-aksi di luar persidangan yang menjadikan dirinya sebagai objek pelaporan pidana tentunya punya motivasi lain.
“Kalau memang mereka tidak terima, mestinya saat persidangan dong disampaikan. Ini perhitungan kami, perhitungan dari Kejaksaan Agung. Nah mestinya PH (penasehat hukum) itu menunjukkan 'ini perhitungan kami’. Kan seperti itu," katanya menekankan.
Kemudian diadu ke majelis hakim. Majelis hakim memutuskan, yang mana data bisa dipercaya dan dibuktikan kebenarannya. "Kalau misalnya majelis hakim itu belum pasti yang mana, mereka bisa bisa memanggil ahli lain sebagai pembanding. Tetapi yang terjadi kan tidak seperti itu. Mereka ributnya di luar. Kalau mau ribut, ya saat di persidangan jangan di luar. Kalau teriak-teriak begini (pelaporan) buat apa?,” kata Bambang.
Profesor Bambang Hero Sahardjo saat ini dalam target pemidanaan oleh kelompok masyarakat yang mengatasnamakan Putra Putri Tempatan (Perpat) Bangka Belitung. Ketua DPP Perpat Andi Kusuma melaporkan Profesor Bambang Hero ke Polda Bangka Belitung pada Rabu (8/1/2025) lalu. Dalam laporan pidana tersebut, Andi menyebutkan Bambang melakukan tindak pidana telah memberikan informasi yang tak sesuai fakta, atau keterangan palsu di persidangan terkait dengan hasil penghitungan kerugian negara Rp 271 triliun dalam kasus korupsi penambangan timah di Bangka Belitung.
DPP Perpat melaporkan Bambang menggunakan sangkaan Pasal 242 KUH Pidana. Rektor IPB Profesor Arif Satria, atas nama institusinya meminta negara memberikan perlindungan terhadap akademisinya yang terancam pidana atas perannya sebagai ahli dalam membantu pengusutan korupsi terbesar di Tanah Air itu.
“Kami meminta agar negara melindungi semua dosen yang menjadi saksi ahli. Terlebih lagi yang dilakukan oleh Profesor Bambang Hero yang ditunjuk sebagai saksi ahli untuk membela negara melawan perusahaan yang melakukan perusakan lingkungan,” ujar Profesor Arif.
Profesor Arif menilai pelaporan pidana terhadap Profesor Bambang Hero sebagai ahli dalam perkara korupsi timah tersebut mengancam tata hukum di Indonesia. “Kami melihat, bahwa gugatan (laporan pidana) terhadap saksi ahli atas keterangannya merusak tatanan hukum di Indonesia,” tegas Profesor Arif.