Ahli Merujuk KUHAP, Profesor Penghitung Kerugian Rp 271 T Kasus Timah tak Bisa Dipolisikan
Prof Bambang Hero dilaporkan oleh Ketum DPP Perpat ke Polda Bangka Belitung.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bambang Noroyono
Pelaporan pidana yang dilakukan sekelompok pihak terhadap Profesor Bambang Hero Sahardjo terkait keahliannya dalam persidangan korupsi penambangan timah tak bisa dibenarkan. Praktisi hukum Boris Tampubolon menegaskan, pemolisian dengan tuduhan keterangan palsu terhadap guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB) itu, bertentangan dengan peran seorang ahli dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
“Seorang ahli yang memberikan keterangan di pengadilan tidak bisa dilaporkan,” kata Boris kepada Republika, di Jakarta, Senin (13/1/2025).
Menurut Boris, Pasal 242 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang dijadikan dasar pelaporan terhadap Profesor Bambang Hero bertentangan dengan peran seorang ahli yang diatur dalam Pasal 187 KUHAP. Boris menjelaskan kedukan seorang ahli dalam persidangan adalah pemberi keterangan atau pendapat yang sesuai dengan keahliannya atas satu pokok perkara yang disidangkan.
Pemberian keterangan dan pendapat dari seorang ahli tersebut, pun dilakukan berdasarkan kebutuhan hukum dan persidangan. Karena itu menurut Boris, pendapat ataupun keterangan dari ahli-ahli dapat berbeda-beda sesuai dengan keilmuannya.
“Nantinya hakim yang akan menilai berdasarkan fakta-fakta persidangan, apakah pendapat-pendapat dari ahli itu bisa digunakan sebagai dasar atau tidak dalam pertimbangan putusan,” kata Boris.
“Karena pada dasarnya, hakim lah yang menilai dan menentukan apakah pendapat ahli itu bisa diterima ataupun bisa ditolak,” sambung Boris.
Karena keterangan maupun pendapat dari ahli-ahli tersebut bisa saja berbeda-beda, menurut Boris, hal tersebut yang membuat kedudukan para ahli tak bisa berkonsekuensi pidana. “Jadi sangat tidak tepat bila keterangan seorang Profesor Bambang Hero sebagai ahli yang mengutarakan pendapatnya sesuai dengan keahliannya dalam kasus (korupsi) timah itu dituduh memberikan keterangan palsu,” ujar Boris.
Apalagi pendapat dan keterangan Profesor Bambang Hero tersebut diterima oleh majelis hakim dalam mengambil putusan hukum. Namun begitu, Boris mengakui pelaporan terhadap Profesor Bambang Hero tersebut, menyangkut perdebatan tentang hasil penghitungan kerugian negara senilai Rp 271 triliun dalam korupsi timah.
Nilai kerugian negara yang fantastis tersebut, merupakan hasil dari penghitungan Bambang Hero sebagai ahli lingkungan hidup dan ekologis yang diajukan ke persidangan sebagai pakar atau ahli. Sebagai ahli, Bambang Hero dalam pendapatnya menjelaskan kerugian negara Rp 271 triliun hasil penghitungannya tersebut merupakan angka kerugian materil yang ditimbulkan akibat kerusakan lingkungan dampak dari penambangan timah ilegal.
“Saya sendiri tidak mempermasalahkan pendapat dari Profesor Bambang Hero yang menyatakan kerugian dalam kasus timah itu mencapai Rp 271 triliun akibat kerusakan lingkungan,” kata Boris.
Namun menurut Boris, yang menjadi perdebatan di lingkungan ahli-ahli, maupun para praktisi hukum adalah tentang bagaimana sifat tentatif, bisa berubah-ubah dalam kerugian akibat kerusakan lingkungan dapat masuk ke dalam, bahkan menjadi bagian dari kerugian negara dalam korupsi yang sifatnya harus actual loss, atau kerugian yang nyata.
“Kerugian akibat kerusakan lingkungan itu punya mekanisme sendiri dan secara aturan kerugian lingkungan itu sifatnya masih bisa mengalami perubahan karena dipengaruhi faktor teknis dan non teknis di bidang lingkungan seperti dalam Pasal 6 Peraturan Menteri LH Nomor 7/2014. Sementara kerugian keuangan negara dalam korupsi itu harus pasti atau actual lost,” kata Boris.
Atas dasar itulah, menurut Boris, yang memicu reaksi sejumlah pihak untuk melaporkan Bambang Hero atas dugaan memberikan keterangan palsu.
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung) Harli Siregar mengingatkan agar semua pihak taat asas atas peran seorang ahli dalam proses penyidikan, maupun persidangan. Pernyataannya ini merespons pelaporan terhadap Profesor Bambang Hero Saharjo.
“Kami minta semua pihak harus taat dengan asas-asas hukum,” kata Harli saat dihubungi Republika dari Jakarta, Ahad (12/1/2025).
“Pelaporan (pidana) tersebut seharusnya tidak dilakukan terhadap seorang ahli dalam tugasnya membantu proses-proses penyidikan, dan saat di persidangan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sangat merugikan negara,” sambung Harli.
Menurut Harli, seorang ahli dalam memberikan keterangan saat penyelidikan, penyidikan, maupun ketika di pengadilan tentunya atas dasar pengetahuan dan kepakarannya yang sudah teruji. Keahlian dan pengetahuannya tersebut dilakukan untuk kepentingan penegakan hukum.
Dalam kasus korupsi timah, Profesor Bambang Hero sebagai ahli ekologis dan lingkungan hidup, resmi diminta oleh tim penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) untuk melakukan penghitungan kerugian atas dampak kerusakan lingkungan hidup akibat penambangan timah di lokasi izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah di Bangka Belitung sepanjang 2015-2022.
Hasil penghitungan Profesor Bambang Hero bersama timnya menghitung kerugian materil akibat kerusakan lingkungan dan ekosistem dampak dari penambangan timah ilegal mencapai Rp 271 triliun. Angka tersebut, menjadi panduan bagi penyidikan di Jampidsus dalam memformulasikan besaran kerugian negara yang ditimbulkan dari kerusakan lingkungan akibat korupsi penambangan timah ilegal.
Hasil penghitungan oleh Profesor Bambang Hero tersebut, pun juga dirumuskan ke dalam hasil audit investigasi oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam penghitungan besaran kerugian negara terkait korupsi penambangan timah. BPKP mengumumkan kerugian negara totalnya mencapai Rp 300 triliun.
“Dan perhitungan kerugian negara kepada ahli, dan auditor negara (BPKP) tersebut, didasarkan atas permintaan oleh jaksa penyidik,” kata Harli.
Selanjutnya, Harli menegaskan, seluruh penghitungan kerusakan lingkungan hidup dan ekologis yang dilakukan Profesor Bambang Hero sebagai ahli, dan kerugian negara hasil penghitungan BPKP, pun sudah dinyatakan terbukti dalam putusan Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) yang telah memvonis bersalah terhadap 15 terdakwa dari total 23 tersangka korupsi timah.
Dalam putusan majelis hakim terhadap belasan terdakwa tersebut terang dinyatakan, kerugian negara akibat korupsi penambangan timah di lokasi IUP PT Timah setotal Rp 300 triliun. Dengan rincian Rp 271 triliun kerugian negara yang dimunculkan akibat kerusakan lingkungan hidup. Rp 2,2 triliun kerugian negara atas kerja sama ilegal dalam sewa-menyewa alat pemroses pelogaman timah. Dan, Rp 26,6 triliun kerugian negara dalam pembelian bijih timah oleh PT Timah atas hasil penambangan ilegal di lokasi IUP PT Timah.
Menurut Harli, putusan majelis hakim PN Tipikor tersebut, sesuai dengan dakwaan, dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menebalkan angka kerugian negara dari hasil penghitungan ahli Profesor Bambang Hero, dan BPKP. Karena itu menurut Harli, kentara janggalnya adanya pihak-pihak yang bakal memperkarakan Profesor Bambang Hero atas hasil penghitungannya senilai Rp 271 triliun terkait dengan kerugian negara yang dimunculkan akibat penambangan timah tersebut.
“Karena pengadilan dalam putusannya juga menyatakan, kerugian negara dalam perkara korupsi penambangan timah itu, (Rp) 300 triliun yang sebagiannya itu (Rp) 271 triliun berdasarkan hasil perhitungan ahli lingkungan (Profesor Bambang Hero). Artinya, pegadilan juga sependapat dengan keterangan ahli dari penyidik, yang dihadirkan oleh JPU tersebut,” kata Harli.
“Lalu dengan adanya putusan pengadilan itu, apa yang menjadi dasar pelaporan (pidana) terhadap ahli tersebut?,” ujar Harli.
Diketahui, Ketua Umum DPP Putra Putri Tempatan (Perpat) Bangka Belitung Andi Kusuma melaporkan Prof Bambang Hero Saharjo ke Kepolisian Daerah Bangka Belitung pada hari Rabu, 8 Januari 2025. Dalam laporan tersebut, Andi menuduh Prof Bambang memberikan informasi yang tidak sesuai dengan fakta atau keterangan palsu, sebagaimana diatur dalam Pasal 242 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pasal ini menyatakan bahwa siapa pun yang dalam keadaan di mana undang-undang menentukan agar memberikan keterangan di atas sumpah, baik secara lisan maupun tertulis, namun justru memberikan keterangan palsu di atas sumpah, dapat dipidana dengan penjara selama-lamanya tujuh tahun.
Jika keterangan palsu tersebut diberikan dalam perkara pidana yang tersangkanya diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, pelaku dapat dipidana dengan penjara selama-lamanya sembilan tahun. Menurut Andi, langkah hukum ini diambil karena adanya dugaan bahwa keterangan yang disampaikan oleh Prof Bambang tidak sepenuhnya akurat atau dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga dinilai berpotensi merugikan pihak-pihak terkait.
Merespons laporan polisi terhadap dirinya, Profesor Bambang Hero justru balik bertanya kepada pihak yang melaporkannya itu tentang keterangannya yang mana dinilai palsu. “Palsunya itu di mana? Kalau saya yang dikatakan telah memberikan keterangan palsu, tentu sejak dari penyidikan, dan juga pada saat di persidangan, semestinya keterangan saya sudah ditolak. Tetapi nggak kan? Keterangan saya kan nggak ditolak. Justru keterangan saya diterima oleh majelis (hakim),” kata Hero saat dihubungi, Ahad (12/1/2025).
Ia mengaku sebetulnya tak mengetahui dirinya sebagai terlapor atas Pasal 242 KUH Pidana di Polda Bangka Belitung. “Saya sampai dengan hari ini sebenarnya belum melihat seperti apa laporan resminya. Karena saya, juga belum menerima surat laporannya itu. Saya tahunya dilaporkan itu justeru dari berita teman-teman media,” ujarnya.