Pakai Kafiyeh, Presiden Kuba Gabung Afrika Selatan Bawa Israel ke Pengadilan Internasional

Mengenakan kafiyeh, Presiden Kuba berempati terhadap yang dialami warga Gaza.

tangkapan layar
Tangkapan layar Presiden Kuba Miguel Diaz Canel mengenakan kafiyeh
Rep: Kamran Dikarma Red: Erdy Nasrul

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Tak sekadar mengenakan jas, presiden Kuba Miguel Diaz Canel mengenakan Kafiyeh menghiasi tubuhnya sebagai bentuk negaranya mendukung Palestina yang kini menjadi sasaran pembantaian Israel. Negara tersebut bergabung bersama Afrika Selatan dan lainnya untuk menyeret Israel ke mahkamah internasional karena melakukan genosida di Gaza Palestina.

Baca Juga


 

Mahkamah internasional (ICC) menyatakan, bahwa “Kuba, berdasarkan Pasal 63 Statuta Pengadilan, telah mengeluarkan, dalam daftar pengadilan, sebuah pernyataan mengenai intervensi dalam kasus yang berkaitan dengan penerapan Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Anak. Kejahatan Genosida di Jalur Gaza.”

Kementerian Luar Negeri Kuba menyebutkan, dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh mereka, bahwa “Havana mempunyai keprihatinan yang sama dengan yang diungkapkan oleh Republik Afrika Selatan terhadap Israel, akibat genosida di Palestina,” sebagaimana diberitakan al Mayadeen.

Pernyataan tersebut berbunyi, “Pengadilan sedang melalui titik balik sejarah yang kompleks, dimana kredibilitas sistem hukum, yang dibangun setelah Perang Dunia II, terancam runtuh selamanya.”

Kuba menekankan bahwa, sebagai pihak dalam Konvensi 1948 tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida, dan berdasarkan kewajiban yang ditetapkan di dalamnya, Kuba “berkewajiban untuk menerapkan semua tindakan yang mungkin bertujuan untuk mencegah dan menghukum kejahatan genosida terhadap siapa pun yang melakukan tindakan tersebut. upaya untuk menghancurkan suatu bangsa, etnis atau ras atau agama, secara keseluruhan atau sebagian.”

Pada akhir tahun 2023, Afrika Selatan mengajukan gugatan terhadap “Israel” atas tuduhan genosida, dan beberapa negara bergabung dalam kasus tersebut, termasuk Nikaragua, Kolombia, Libya, Meksiko, Palestina, Spanyol, dan Turki.

 

Arti Kafiyeh

Kafiyeh merupakan dikenal sebagai “kufiya”, “shemagh” atau “hattah”, adalah syal katun berbentuk persegi. Namun, kita semua tahu bahwa ini lebih dari itu.

Kafiyeh memiliki sejarah yang panjang dan kompleks. Akarnya berasal dari Mesopotamia pada tahun 3.100 SM dan dipakai oleh bangsa Babilonia dan Sumeria. Kata "Kafiyeh" berasal dari daerah Kufah di Irak yang berarti “dari kota Kufah”.

Syal yang biasanya terbuat dari bahan katun itu merupakan pakaian penting bagi suku Badui di gurun pasir dan masyarakat Fellahi, yang menggunakannya sebagai pelindung dari panas dan badai pasir. Sekarang Kafiyeh dikenal dengan banyak nama dan dapat ditemukan di banyak negara Arab seperti Palestina, Yordania, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Irak.

Warna, gaya, dan makna simbolis Kafiyeh bergantung pada negaranya. Warna merah dan putih biasanya diasosiasikan dengan Yordania, sedangkan di Palestina, keffiyeh berwarna hitam putih terutama dipakai untuk tujuan perlawanan dan solidaritas.

Hal ini menjadi populer pada 1900-an, ketika pejuang Palestina mengenakan keffiyeh untuk menyembunyikan identitas mereka dan menghindari penangkapan. Hal ini juga diperkuat oleh Yasser Arafat, pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina, karena ia hampir selalu mengenakan keffiyeh di kepala saat berperang melawan pendudukan. 

Indonesia dukung penangkapan Netanyahu

Pemerintah Indonesia menyambut langkah Mahkamah Pidana Internasional (ICC) menerbitkan surat penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan menteri pertahanan Israel Yoav Gallant atas keterlibatan mereka dalam dugaan kejahatan perang di Jalur Gaza. Indonesia menilai, penerbitan surat penangkapan itu merupakan langkah mewujudkan keadilan.

 

 

"Penerbitan surat perintah penangkapan oleh ICC terhadap Benjamin Netanyahu dan Yoav Gallant merupakan langkah signifikan untuk mewujudkan keadilan bagi kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang di Palestina," kata Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI lewat akun X resminya, beberapa waktu lalu.

Kemlu RI menekankan, surat perintah penangkapan yang dirilis ICC harus dilaksanakan sepenuhnya sesuai dengan hukum internasional. "Selanjutnya, Indonesia berpandangan bahwa langkah tersebut sangat krusial untuk mengakhiri pendudukan ilegal Israel di wilayah Palestina dan memajukan pembentukan Negara Palestina yang merdeka, sesuai dengan prinsip-prinsip solusi dua-negara," ungkap Kemlu RI.

"Indonesia menegaskan kembali dukungan sepenuhnya terhadap semua inisiatif yang bertujuan untuk memastikan akuntabilitas atas kejahatan yang dilakukan oleh Israel di Palestina, termasuk yang ditempuh melalui International Criminal Court (ICC)," tambah Kemlu RI.

Pada Kamis (21/11/2024) lalu, ICC menerbitkan surat perintah penangkapan terhadap Benjamjn Netanyahu dan Yoav Gallant atas keterlibatan mereka dalam dugaan kejahatan perang di Jalue Gaza. "ICC dengan ini mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap dua individu, Benjamin Netanyahu dan Yoav Gallant, atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang yang dilakukan setidaknya dari 8 Oktober 2023 hingga 20 Mei 2024," demikian pernyataan ICC.

Tanggal 20 Mei 2024 yang disinggung dalam pernyataan itu merujuk pada waktu jaksa ICC mengajukan permohonan surat perintah penangkapan terhadap mereka. Dengan demikian, ICC menolak argumen Israel yang menyatakan bahwa pengadilan tersebut tak memiliki yurisdiksi untuk memerintahkan penangkapan Netanyahu dan Gallant.

 

ICC menemukan dasar yang wajar untuk meyakini bahwa Netanyahu dan Gallant bertanggung jawab atas tindak kejahatan perang dalam bentuk "memanfaatkan kelaparan sebagai metode peperangan dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang meliputi pembunuhan, penyiksaan, dan tindakan tak manusiawi lainnya".

Netanyahu telah mengecam keras keputusan ICC menerbitkan surat perintah penangkapan terhadapnya dan Gallant. Netanyahu menuding ICC hendak mengisolasi dan mendukung terorisme terhadap Israel.

Klaim kebal hukum

Sebelumnya Pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Palestina Francesca Albanese menegaskan bahwa klaim adanya pemimpin negara yang bisa "kebal" terhadap perintah penangkapan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) adalah tak berdasar sama sekali.

Pernyataan itu ia sampaikan untuk menanggapi pernyataan Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Noel Barrot bahwa sejumlah pemimpin negara, dalam hal ini kepala otoritas Israel Benjamin Netanyahu dan mantan pejabat pertahanannya Yoav Gallant, "bisa memiliki kekebalan" di bawah Statuta Roma.

Argumen tersebut, kata Albanese, "tidak berdasar karena isu tersebut telah dijawab oleh Mahkamah dalam kasus Omar Al-Bashir yang lalu".

 

Omar Al-Bashir adalah mantan pemimpin Sudan yang didakwa oleh ICC pada tahun 2009 dan 2010 atas tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang terhadap rakyat sipil di daerah Darfur.

"Argumen akan adanya kekebalan negara tertentu tidak sah. Mahkamah sendiri yang menegaskannya," kata pelapor khusus PBB itu beberapa waktu lalu.

Ia mengingatkan bahwa upaya menghalang-halangi penegakan surat perintah penangkapan ICC adalah pelanggaran Pasal 77 Statuta Roma. "Perintangan terhadap upaya pelaksanaan peradilan sendirinya adalah sebuah tindak kriminal," ucap Albanese.

Mahkamah internasional memasukkan Benjamin Netanyahu dan mantan menteri pertahanan Yoav Gallant dalam daftar pencarian orang yang harus segera ditangkap. Keduanya merupakan orang yang paling bertanggung jawab terhadap pembantaian dan kelaparan yang mengakibatkan kematian orang-orang di Gaza Palestina.


sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler