Pengakuan Nelayan: Pagar Laut Milik Agung Sedayu Group, Sudah Lapor ke TNI
Warga atau nelayan Tanjung Pasir mengaku dapat intimidasi terkait polemik pagar laut.
REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG -- Salah satu warga Tanjung Pasir Teluknaga, Kabupaten Tangerang, berinisial MN (55) yang terdampak proyek pagar laut di perairan Tangerang mengungkapkan bahwa protes warga tak digubris aparat setempat, bahkan berujung pada intimidasi. MN mengisahkan, salah satu awak kapalnya bernama N sempat mendapat ancaman.
"Lagi proses bangunnya itu kan sampai ribut ribut itu. Kami sempat diancam juga, 'kalau memang berani cabut, kalau memang kamu nggak sayang anak istri boleh' dia bilang kayak gitu, sempat digituin," kata MN saat dihubungi Republika, Kamis (16/1/2025).
"Kalau yang diancam seperti itu, namanya Pak N, kalau saya cuma ditanya ini siapa gitu. Tapi foto-foto saya sudah tersebar juga sama teman-teman pas protes itu," katanya.
Maun mengungkapkan intimidasi tersebut tak sekali dua kali dilontarkan kepada warga. Tak tinggal diam mendapatkan ancaman tersebut pihaknya langsung melaporkan ke pihak yang berwenang. Namun belum mendapatkan respons.
"Kami sempat lapor ke kepala desa, ke anggota TNI. Kami disuruh diam, jadi kayak rakyat ini mau ngomong apa kalau aparat sudah seperti itu," katanya. Sampai berita ini ditayangkan, permintaan tanggapan yang dilayangkan Republika ke pihak TNI belum mendapat jawaban.
Berdasarkan klarifikasi salah satu anggota TNI AL yang bertugas di Tanjung Pasir, Tangerang, audiensi antara nelayan dan aparat desa setempat pernah terjadi pada Juli 2024, namun ia membantah kalau aparat menyuruh diam masyarakat atau para nelayan. Saat itu, kata anggota yang menolak disebut namanya, nelayan memang melaporkan masalah pagar laut ke pihak TNI AL dan meminta untuk dijembatani dengan aparat desa setempat.
"Karena pas nelayan tanya RT, RW jawabanya nggak tahu terus, Pos AL membantu menjembatani warga untuk bertemu kades, karena menurut keterangan warga, kadesnya susah ditemui," kata anggota TNI AL itu.
Kendati demikian, MN mengungkapkan ancaman tersebut sekarang sudah tidak ada lagi. Meskipun kasus pagar laut memang sempat menjadi sorotan masyarakat luas.
"Enggak, di kampung saya enggak ada (lagi ancaman)," katanya.
Di sisi lain, menurutnya pemerintah tak jujur karena mengaku tak tahu menahu pemilik dibalik pagar laut. Ia juga menyebutkan bahwa pemilik pagar laut adalah salah satu perusahaan besar di Indonesia yang berbisnis di bidang properti.
"Masalah pagar laut juga pihak pemerintah bilang nggak tahu punya siapa, itu bohong, itu punya Agung Sedayu Group karena saya bertanya langsung ke yang kerja termasuk mandornya, mandor Samson dari muara dan mandor Memet juga," katanya.
--------------------------------------------------------------------
UPDATE: Berita ini mengalami perbaruan pada Jumat, 17 Januari 2025 pukul 18.55 WIB, dengan menambahkan klarifikasi dari pihak TNI AL setempat terkait keterangan nelayan yang pernah melapor soal pagar laut.
Sebelumnya, pihak pengembang PSN PIK 2 Agung Sedayu Group (ASG) buka suara mengenai pembangunan pagar laut sepanjang 30 kilometer (km) di pesisir Tangerang, Banten, yang mengganggu aktivitas para nelayan. ASG membantah adanya dugaan keterlibatan pihaknya dengan kehadiran pagar laut tersebut.
“Berita terkait adanya pagar laut itu (dikaitkan dengan pengembang PSN PIK 2) tidak benar,” kata Kuasa Hukum Agung Sedayu Group Muannas Alaidid kepada Republika, Sabtu (11/1/2025).
Menurut penuturan Muannas, berdasarkan informasi yang mereka ketahui, pembangunan pagar laut itu justru dibangun oleh masyarakat sekitar. Ia menyebutkan beberapa dugaan kepentingan warga sekitar dalam melakukan pembangunan pagar laut tersebut.
“Karena sebenarnya yang kami tahu itu merupakan tanggul laut yang terbuat dari bambu yang biasanya difungsikan untuk pemecah ombak, dan akan dimanfaatkan masyarakat sekitar sebagai tambak ikan di dekat tanggul laut tersebut, atau digunakan untuk membendung sampah seperti yang ada di Muara Angke. Atau bisa jadi sebagai pembatas lahan warga pesisir yang kebetulan tanahnya terkena abrasi,” ungkapnya.
Muannas menyampaikan itulah beberapa kemungkinan yang terjadi, bahwa pemagaran laut berkaitan dengan kepentingan dari masyarakat sekitar.
“Semua kemungkinan itu ada. Itu adalah tanggul laut biasa yang terbuat dari bambu, yang dibuat dan diinisiatif dan hasil swadaya masyarakat, yang kami tahu. Tidak ada kaitan sama sekali dengan pengembang karena lokasi pagar tidak berada di wilayah PSN maupun PIK 2,” tegasnya.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebelumnya mengatakan, hingga kini belum mengetahui siapa pemilik pagar laut di Tangerang. “Sampai sekarang pemiliknya belum ada yang datang, kita tidak tahu. Jadi kita menerka-nerka saja. Yang ada kan di media semua nih omongannya. Kita sampai sekarang belum ada yang mau datang, ngaku,” kata Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan bidang Hubungan Masyarakat dan Komunikasi Publik Doni Ismanto Darwin, Selasa (14/1/2025).
Disinggung soal pernyataan nelayan yang menyebutkan jika pagar laut sebenarnya untuk pemetaan Doni enggan menanggapi hal itu. “Kalau ke kita belum ada kabar. Jadi kita tahu dari media, kalau katanya-katanya (pagar laut untuk pemetaan) saya tidak mau menanggapi lah,” katanya.
“Kalau memang ada yang merasa pemilik, datang urus izin. Nanti kita cek semuanya, benar atau tidak. Tapi kalau cuma katanya-katanya, saya tidak mau menanggapi,” katanya menambahkan.
Doni juga menyebutkan alasan kenapa pagar laut yang membentang sekitar 30 km di sepanjang pesisir Tangerang tak segera dibongkar. Alasannya, karena pihak KKP enggan menyalahi aturan dengan terburu-buru membongkar pagar yang menjadi sorotan khalayak itu.
“Jadi saya paham kenapa tidak langsung dibongkar? Nggak bisa, langsung dibongkar karena tahapannya sekarang ini kan tahapannya di segel, dicek dulu. Kalau belum ada apa-apa kita langsung bongkar, nanti kita malah menyalahi aturan,” kata
Pihaknya membeberkan jika menurut hasil penyelidikan sementara pagar laut itu terbukti melanggar Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL). Namun, untuk hasil lainnya masih dalam penyelidikan dan tak bisa diungkapkan ke hadapan publik.
“Karena ini proses penyelidikan, kita tidak bisa buka semuanya. Di proses penyelidikan itu ada yang sifatnya yang memang bisa dibuka, tapi karena ini bagian dari tahapan penegakan aturan, jadi ada step-step-nya. Jadi kalau ada step-step-nya kita belum bisa buka. Jadi bersabar dulu sesuai dengan batas waktu yang sudah disebutkan oleh Pak Dirjen Ipung, yaitu 20 hari,” kata Doni.
Berdasarkan analisis ekonom dan pakar kebijakan publik dari UPN Veteran, Jakarta, Achmad Nur Hidayat, kerugian yang ditimbulkan akibat pemasangan pagar laut ilegal mencapai Rp116,91 miliar per tahunnya. Nilai kerugian yang merujuk pada data-data Ombudsman RI ini mencakup dampak terhadap pendapatan nelayan, peningkatan biaya operasional, serta kerusakan ekosistem laut.
“Keberadaan pagar laut di pesisir Tangerang dan Bekasi telah menciptakan kerugian ekonomi, sosial, dan ekologis yang signifikan. Proyek ini tidak hanya merugikan nelayan, tetapi juga gagal memberikan manfaat yang dijanjikan. Fakta-fakta di lapangan menunjukkan bahwa pembangunan pagar ini lebih banyak memberikan dampak negatif daripada positif,” kata Achmad di Jakarta, Kamis (15/1/2025).
Achmad memerinci, kerugian sebesar Rp116,91 miliar tersebut terdiri dari penurunan pendapatan nelayan sebesar Rp93,31 miliar per tahun, peningkatan biaya operasional sebesar Rp18,60 miliar per tahun, dan kerusakan ekosistem laut senilai Rp5 miliar per tahun. Perhitungan ini didasarkan pada data dari Ombudsman RI serta analisis ekologis independen.
Sebagaimana diketahui, telah ditemukan pembangunan pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di pesisir utara Kabupaten Tangerang dan 8 kilometer di Bekasi yang tengah menjadi sorotan. Pagar ini diklaim sebagai upaya mitigasi abrasi dan tsunami, namun data menunjukkan bahwa struktur ini lebih banyak mendatangkan kerugian.
Berdasarkan data Ombudsman RI, sekitar 3.888 nelayan di Tangerang dan Bekasi mengalami kerugian akibat terhambatnya akses ke wilayah tangkapan ikan. Achmad menilai pendapatan nelayan menurun rata-rata Rp100.000 per hari karena waktu melaut yang berkurang dan jarak melaut yang lebih jauh. Dengan asumsi nelayan bekerja 20 hari per bulan, kerugian total mencapai Rp7,776 miliar setiap bulan atau Rp93,31 miliar per tahun.
Selain itu, rute melaut yang lebih panjang meningkatkan konsumsi bahan bakar hingga Rp1,55 miliar per bulan atau Rp18,60 miliar per tahun. Biaya tambahan ini semakin memperburuk kondisi ekonomi nelayan.
"Dengan ekosistem yang terganggu dan akses masyarakat yang terbatas, pagar laut ini justru menjadi penghalang utama dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir," ujarnya.